Fiqh keseharian gusmus (1)


Judul Buku                  : Fikih Keseharian Gus Mus


Penulis                        : KH. A. Mustofa Bisri


Penerbit                       : Khalista Surabaya


Tahun Terbit                : 2012


Jumlah Halaman          : xv+488


FIKIHNYA GUS MUS


Fikih selama ini dianggap dan dipahami sebagai hukum-hukum syar’i yang kaku, rigid, dan hanya berlaku hitam putih. Dengan demikian, dimensi fikih menjadi sangat sempit. Bahkan semakin sempit ketika pemahaman dan aktualisasi fikih datang dari orang yang kaku dan cenderung beraliran kanan. Sementara, sebagai argumentasi tandingan hingga hari ini, fikih yang moderat adalah fikihnya orang-orang NU.


Gus Mus, sapaan KH. A. Mustofa Bisri, memiliki sikap dan aktualisasi fikih keseharian yang sederhana dan aplikatif. Sebagai figur Kiai besar NU, Gus Mus dapat menggiring pola pikir masyarakat NU bahwa fikih itu sederhana, fikih itu aplikatif, dan tidak kaku. Tidak hanya bisa berbicara halal haram. Gus Mus selalu menyapaikan alasan-alasan logis beserta dalil-dalil secara sangat sederhana. Inilah fikih masyarakat NU. Fikih yang sederhana, mudah, dan aplikatif.


Fikih keseharian Gus Mus adalah kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan para pembaca koran Wawasan di rubrik tanya jawab dengan Gus Mus. Dengan demikian buku ini berisi berbagai dimensi pertanyaan dan persoalan mendasar di masyarakat sehari-hari. Tidak hanya persoalan fikih, tapi juga tentang aqidah, doa, dan takdir-takdir Allah, semuanya dijelaskan secara lugas oleh Gus Mus dengan bahasa masyarakat. Tanpa mengesampingkan penjelasan dalil-dalil agama yang relevan.


Misalnya terkait menyikapi bencana alam. Gus Mus menggiring opini masyarakat agar memahami hikmah bencana secara benar dan tidak mengaitkannya dengan hal-hal mistik. Bahwa bencana dapat saja merupakan musibah sebagai peringatan dari Allah. Bahkan hukum dari halyang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seperti menutup telinga ketika mendengar guntur juga dibahas.


Pesan yang ingin disampaikan oleh Gus Mus antara lain adalah bahwa fikih harus mampu menjawab pertanyaan pertanyaan masyarakat dengan bijak dan sederhana. Persoalan-persoalan aktual dan kontemporer seperti halnya ekonomi modern, moralitas, toleransi umat beragama, dan budaya kontemporer, harus segera disikapi dengan fikih secara bijak. Dengan demikian, sikap masyarakat terhadap agama, syari’at, aqidah, dan implementasi fikih itu sendiri dapat lebih positif dan lebih besar.