NiamOleh: Muhammad Niam Sutaman

Sampai sekarang masih sering muncul pertanyaan di kalangan pemerhati Fiqh kontemporer,  masih relevankah bermazhab pada zaman sekarang ini? Haruskah mengikuti mazhab tertentu dalam menentukan hukum suatu masalah? Bolehkah kita mengambil beberapa mazhab dalam satu permasalahan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa para fuqoha Indonesia cenderung mengikuti mazhab tertentu. Mereka terutama kalangan pesantren sangat disiplin dalam mengikuti mazhab tertentu khususnya mazhab Syafii. Namun pertanyaan tersebut sejatinya juga menyimpan gugatan terhadap bermazhab dan ekspresi kebosanan terhadap belenggu mazhab dalam mengimplementasikan fiqh ke dalam kehidupan nyata.

Mazhab artinya jalan. Sejak masa Sahabat dan munculnya perbedaan pendapat dalam masalah cabang agama, setiap pendapat disebut dengan istilah mazhab, maka di sana terkenal  mazhab Aisyah, mazhab Adbullah bin Umar, mazhab Abdullah bin Masud dll. Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sekitar 13 mazhab terkenal yang terkodifikasi secara baik oleh para pendukungnya, termasuk di dalamnya mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Selanjutnya mazhab empat tersebut yang  yang paling populer di kalangan umat Islam sunni serta mendapatkan perhatian intelektual yang sangat besar dari para pengikutnya. Mazhab selain mazhab empat yang juga cukup populer dan banyak pengikutnya adalah Dawud al-Zahiri, Zainul Abidin (dari syiah), Ja'far Shadiq dan Jabir bin Zaid (Ibadliyah).

Apakah wajib bermazhab sekarang ini? Jawabannya dikembalikan kepada pertanyaan apakah semua orang pada zaman ini termasuk awam atau bisa masuk kategori ulama? Mereka yang menganggap bahwa semua orang pada zaman ini masuk dalam kategori awam mengatakan bahwa bermazhab atau taqlid hukumnya wajib.

Kelompok kedua menganggap bahwa bagi mereka yang mempunyai kemampuan membaca dan memaknai Quran dan hadist serta memahami literatur agama berbahasa Arab dengan baik tidak ada keharusan bagi mereka untuk bermazhab, demikian juga tidak ada keharusan mengikuti mazhab empat. Yang menjadi kewajiban adalah mengikuti al-Qur'an dan Sunnah dan dalil-dalil lainnya atau berijtihad secara benar.

Sedangkan bagi orang awam bermazhab adalah semata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dll., namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Alasannya adalah bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.

Menjawab Permasalahan Baru

Sejalan dengan perkembangan zaman, permasalahan Fiqh menjadi semakin komplek dan beragam. Terkadang permasalahan baru tersebut tidak bisa dijawab menggunakan fererensi mazhab secara langsung karena memang belum ada kajian sebelumnya dan tidak bisa dicarikan kemiripannya pada zaman dahulu. Atau terkadang permasalahan baru tersebut  sudah pernah dikaji oleh para ulama terdahulu tetapi hanya sebagian dari hukumnya yang dibahas, lalu ulama mazhab yang lain membahas hukum dari aspek yang lain lagi. Ini menyebabkan satu permasalahan harus dikaji dan dicarikan hukumnya dari berbagai mazhab. Metode ini dikenal dengan pendekatan bermazhab secara manhaji, yaitu menggunakan kaidah-kaidah mazhab dalam menjawab hukum suatu permasalahan.

Kenyataan ini mengantarkan kepada keniscayaan bahwa bermazhab zaman sekarang ini haruslah fleksibel dan tidak kaku. Bermazhab tidak harus terbatas kepada mazhab empat. Bermazhab tidak harus komitmen dengan satu mazhab tertentu, tidak harus taat kepada kaidah-kiadah Ushul Fiqh mazhab tersebut, tetapi yang terpenting adalah sesuai dengan semangat mazhab dan tidak bertentangan dengan kaidah umum semua mazhab.

Minal Qawaid ilal Maqashid

Lahirnya ilmu Maqashid dalam dunia Ushul Fiqh telah mengantarkan kepada revolusi Fiqh yang luar biasa. Fiqh mengalami transformasi signifikan menjadi lebih fleksibel dan akomodatif dalam menjawab berbagai permasahan hukum modern. Fenomena ini nampak kasat mata di dunia Muamalah modern atau labih tepatnya di dunia perbankan syariah. Banyak hukum-hukum syariah baru yang diimplementasikan dalam dunia perbankan Syariah yang cenderung adaptif terhadap tuntutan pasar. Kaidah-kaidah Fiqh dan Ushul Fiqh tidak lagi dianggap cukup untuk menjawab tuntutan hukum perniagaan modern sehingga diperlukan lompatan ke arah penggunaan Maqashid Syariah secara lebih leluasa dan luas.

Maka inilah sejatinya realitas Fiqh kita, telah mengalami tranformasi dari Qauli menuju Manhaji dan selanjutnya mulai menerapkan pendekatan Maqashidi. Fiqh maqashid diharapkan salah satu solusi Fiqh manakala pendekatan Qauli dan Manhaji dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Wallahu a’lam.

Muhammad Niam Sutaman

Mudir Ma’had Ushul Fiqh Maslakul Huda dan Dosen Ushul Fiqh Staimafa