Fiqh, sebagai manifestasi praktikal dari ajaran Al-Quran dan hadis, merupakan dasar normatif berperilaku bagi individu maupun masyarakat. Dengan demikian, posisi fiqh dipandang sangat mapan sebagai rujukan suatu hukum ubudiyah dan muamalah dengan pokoknya, ushul fiqh, yang dibakukan oleh Imam Syafi’i. Hingga pada perkembangannya, muncul madzhab-madzhab dalam fiqh. Kemapanan fiqh ini menjadi terpelihara, misalnya di Indonesia melalui tradisi pesantren dan organisasi (baca: NU).

Sudut pandang terhadap fiqh kemudian bergeser semakin kompleks, yaitu pada aspek sosial. Muncul kemudian pemikiran fiqh yang kembali disegarkan dari pembahasan hukum “halal-haram” atas suatu perkara. Pemikiran fiqh dimaksud diinisiasi oleh Kiai Sahal Mahfudh. Pembahasan fiqh oleh Kiai Sahal, dikembalikan pada esensinya yang semula, yaitu berorientasi pada kemaslahatan umat, sebagai bentuk representasi dari Islam Rahmatan lil ‘alamin, yang kemudian disebut dengan Fiqh Sosial. Fiqh sosial sendiri memiliki 5 (lima) ciri pemikiran.

Lima (5) ciri yang menonjol sebagai blue print dari “fiqh bernuansa sosial” itu meliputi (1), interpretasi ulang dalam kajian teks-teks fiqh (kajian kontekstual), (2), bermadzhab secara metodologis (manhaji), bukan lagi secara tekstual (qouli), (3), verifikasi secara mendasar antara ajaran pokok (ushul) dan cabang (furu’), (4), fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan (5), pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[i]

Fiqh dari sudut pandang Kiai Sahal, sangat dekat dengan konsep dan kerja-kerja pengembangan masyarakat. Bagi Kiai Sahal, kepentingan umum merupakan pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga stake holder harus memiliki kepekaan sosial. Utamanya bagi para kyai-fuqoha. Mengapa, karena permasalahan sosial sudah barang tentu bersinggungan dengan masalah agama. Jika fiqh masih diberlakukan secara hitam-putih dalam memutuskan hukum, maka pemutusan terhadap suatu perkara tidak akan efektif dan mengabaikan kepentingan umum.

Kerja-kerja pembangunan masyarakat sendiri bertumpu pada 2 (dua) aspek besar, yaitu pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia. Kedua aspek tersebut pun saling berkaitan sehingga kesejahteraan secara ekonomi sebagai tujuan pemberdayaan masyarakat dapat tercapai. Setelah kesejahteraan ekonomi tercapai, harapannya peran manusia sebagai pemimpin dapat dilakukan dengan baik. Manifestasinya antara lain memiliki representasi kehidupan spiritual dan sosial yang baik kepada sesama manusia, lingkungan, dan alam secara umum.

Kembali kepada pemikiran fiqh sosial Kiai Sahal, salah satu gerakan pemberdayaan masyarakat sebagai manifestasi fiqh sosial adalah gerakan ekonomi kerakyatan.[ii] Gerakan pemberdayaan masyarakat ini pada mulanya diinisiasi oleh Kiai Sahal untuk membangun ekonomi masyarakat Kajen.

Gerakan ekonomi kerakyatan yang digagas oleh Kiai Sahal sama dengan konsep pemberdayaan masyarakat secara umum. Akan tetapi oleh Kiai Sahal, gerakan ini menjadi lebih komprehensif karena diorientasikan pada kesempurnaan ibadah. Kiai Sahal meyakini bahwa kesempurnaan ibadah dapat dicapai melalui bekerja. Dengan demikian kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi yang diberikan kepada masyarakat, selalu diorientasikan pada tujuan peningkatan kualitas ibadah. Seperti contoh pemikiran Kiai Sahal bahwa untuk bisa shalat yang sempurna, kebutuhan ekonomi dan kesehatan seseorang harus tercukupi terlebih dahulu. Misalnya agar dia mampu menutupi auratnya secara sempurna ketika solat.[iii]

Pada umumnya di masyarakat, pemenuhan kebutuhan “menutup aurat” ketika solat menempati urutan kesekian setelah kebutuhan pangan. Maka pemikiran Kiai Sahal sangat tepat dan strategis. Kiai Sahal mampu memperkirakan respon masyarakat terhadap dakwah Islam kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi yang dimiliki. Kiai Sahal mengajak masyarakat membereskan kebutuhan pokok mereka terlebih dahulu dengan cara yang baik dan benar, dengan diorientasikan pada motivasi ibadah. Pada kesimpulannya, pemikiran fiqh sosial Kiai Sahal sangatlah dekat dengan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi menjadi lebih komprehensif karena Kiai Sahal sangat menekankan motivasi ibadah di dalamnya. Wallahu a’lam.

 

[i]K. H. M. A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 2004, hal. vii-viii.

[ii]Tutik Nurul Jannah, Inspirasi Gerakan Ekonomi Kiai Sahal Mahfudh, dalam Epistemologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, Pati: STAIMAFA press-Fiqh Sosial Institute, 2014, hal. 88.

[iii]Tutik Nurul Jannah, Inspirasi Gerakan Ekonomi Kiai Sahal Mahfudh, dalam Epistemologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, Pati: STAIMAFA press-Fiqh Sosial Institute, 2014, hal. 101.