Oleh: M. Sofyan al-Nashr

 

Awalnya pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan pribumi yang menampung semua lapisan masyarakat yang tidak diterima dalam lembaga pendidikan keraton (Wahid, 2010). Oleh karena itu, dulunya pesantren merupakan lembaga pendidikan umum yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu umum dan keterampilan hidup. Seiring perkembangan zaman, pesantren justru menjadi lembaga pendidikan yang lebih banyak fokus pada pengajaran agama Islam.

Pesantren yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub kultur dalam kehidupan masyarakat Indonesia tumbuh dan berkembang bersama perkembangan zaman. Meski mempunyai sistem nilai sosial yang menyimpang dari tatanan kehidupan masyarakat umum, namun lulusan pesantren selalu dinantikan kehadirannya oleh masyarakat. Lulusan pesantren dianggap mempunyai kelebihan dalam hal pengetahuan agama dan berkarakter. Penulis bahkan sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah representasi model pendidikan karakter yang berbasis pada kearifan lokal. Pembentukan karakter santri disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat sehingga kearifan lokal (local wisdom) masyarakat terus dijaga dan dikembangkan.

Pesantren menilai keberhasilan lulusannya dari penerapan ilmu yang di dapat ketika nyantri dalam realitas kehidupan masyarakat. Tak jarang seorang santri yang mengalami kendala di masyarakat akan kembali ke pesantrennya untuk sowan dan meminta nasehat dari sang kyai. Hal ini adalah bentuk pendidikan karakter yang belum ditemukan dalam lembaga pendidikan lainnya. Para santri dibekali dengan pengetahuan agama yang cukup beserta penjelasan dari sang kiai (mengaji dan mengkaji) yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Lingkungan pesantren telah terbukti mampu membentuk karakter santrinya sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan-an, kemasyarakatan, dan kekinian terutama karakter manusia yang religius, plural dan toleran.

Para lulusan pesantren dianggap lebih berkarakter dan mempunyai akhlak mulia daripada lulusan pendidikan umum yang lebih mementingkan aspek kognitif saja. Sementara aspek moralitas (dalam sikap dan perilaku) tidak menjadi tolok ukur utama dalam pendidikan umum. Intinya terdapat dalam tata nilai yang berlaku di lingkungan pesantren yang berusaha membentuk karakter para santrinya agar siap terjun di masyarakat. Nilai dan karakter mandiri, bertanggung jawab, dan toleran merupakan beberapa karakter yang menjadikan santri sangat siap terjun di masyarakat.

Pendidikan pesantren sangat unik, di satu sisi pengajaran agama serta literatur klasik (kitab kuning) mendapatkan porsi lebih, di sisi lain konteks sosial budaya masyarakat, perkembangan iptek, dan isu-isu kontemporer juga menjadi bahan kajian. Maksudnya adalah mengaji “teks-teks keagamaan” sekaligus mengkaji “teks-teks kemasyarakatan” dengan landasaan agama sehingga akan melahirkan santri-santri yang taat beragama sekaligus peduli dengan fakta-fakta sosial yang berkembang di masyarakat. Di sinilah adanya daya tarik keluar sehingga memungkinkan masyarakat menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup dalam masyarakat itu sendiri.

Berkembangnya suatu proses saling mempengaruhi antara pesantren dengan masyarakat di luarnya, pada akhirnya akan berkulminasi hingga terjadinya pembentukan nilai-nilai baru yang diterima kedua belah pihak (Wahid: 2010). Hal ini membuat pesantren tak lekang oleh waktu karena selalu mengikuti dan mengawal perkembangan zaman serta tetap mempertahankan tradisi yang mengakar di tubuh pesantren. Dalam bahasa Bourdieu hal ini dinamakan sebagai proses reproduksi budaya dalam pendidikan, yakni proses pendidikan yang hanya melahirkan budaya yang sama secara terus menerus untuk menjaga dominasi suatu kelompok atas kelompok lain. Akan tetapi, reproduksi budaya pesantren membantah teori reproduksi budayanya Bourdieu.

Reproduksi budaya di pesantren merupakan proses melahirkan budaya-budaya dan sistem nilai baru hasil kulminasi antara nilai tradisional pesantren dengan perkembangan sosial di masyarakat. Proses ini akan melahirkan budaya dan sistem nilai yang akan terus baru mengikuti perkembangan zaman sehingga hubungan pesantren dengan masyarakat semakin erat. Reproduksi budaya tersebut terus terjadi selama pesantren masih memegang kuat tradisinya sekaligus responsif terhadap perubahan sosial kontemporer.

Pesantren dengan sistem pendidikannya yang khas, mengaji dan mengkaji, semakin menunjukkan eksistensinya walaupun zaman berkembang sangat pesat. Reproduksi budaya pesantren bahkan telah mampu melahirkan santri dan ulama sesuai zamannya. Ini juga sangat sesuai dengan pesan KH. Sahal Mahfudz bahwa pesantren harus tetap modern dan responsif terhadap isu-isu sosial masyarakat, tetapi juga tidak kehilangan nilai-nilai tradisionalnya.

*********