Oleh : Ahmad Khoirun Niam

Abstrak

Membincangkan Fiqh sosial tak lepas dari sepak terjang dan Kiprah Kiai Sahal dalam bidang agama dan sosial, memperjuangkan kesejahteran ummat dan tidak berlebihan jika disebut memperjuangkan Islam yang rahmatan li al-alamin. Fiqh sosial menjadi kajian yang sangat menarik yang mana didalamnya membahas komentar dan respon para ulama’ khususnya kiai Sahal sendiri, terhadap perkembangan agama Islam yang aturan-aturannya atau yang biasa disebut syari’at islam. Perkembangan peradaban Islam terutama pada bidang fiqh yang sampai detik ini banyak disalah artikan -yaitu terlalu dianggap sakral dan kaku atau berwatak formalistik- menjadi pembahasan yang paling penting dalam fiqh sosial. Fiqh seharusnya menjadi pegangan ummat untuk mempermudah jalannya beribadah sekaligus beraktifitas sosial seperti bertransaksi, berkeluarga atau menegakkan hukum.

Upaya pengembangan madzhab qauli dan manhaji yang akan dibahas dalam tulisan ini, menjadi urgen dibahas terkait dengan bagaimana menyikapi teks klasik yang dipandang tidak cukup mampu menjawab problem-problem masa kini. Dan ketika membicarakan fiqh sosial dalam menjawab tantangan tersebut, lima prinsip utama fiqh sosial menjadi nafas yang mendasari pergerakan-pergerakannya. Dan tidak berlebihan juga ketika fiqh sosial menjadi pusat studi yang mengembangan nilai-nilai pesantren dan fiqh sosial sebagai model beragama untuk kemaslahatan ummat.

Fiqh sosial berusaha mengubah stigma masyarakat akan fiqh yang dipandang hanya membahas masalah ibadah dan kepentingan fiqh adalah kepentingan tuhan, bukan manusia. Padahal syariat islam, seperti yang tertulis dalam buku “Nuansa Fiqh Sosial”, diturunkan untuk merumuskan bahwa kehidupan adalah amanah yang harus digunakan untuk pencapaaiaan kesejahteraan dunia dan akhirat (li sa’adah ad-daroin).

Kajian-kajian mengenai fiqh sosial dan upayanya dalam merespon berbagai isu dan persoalan di masyarakat menjadi penting untuk digerakkan dan disosialsasikan oleh, dan kepada kita khususnya santri Kiai Sahal dan sebagai agen perubahan yang mana tidak hanya menebarkan nilai-nilai keislaman yang khas ala fiqh sosial dan juga sebagai motor penggerak agar kesejahteraan itu dapat dicapai secepat-cepatnya.

Pendahuluan

Membicarakan fiqh di dunia akademik terutama perguruan tinggi berbsis Islam tidak akan ada habisnya dan semakin hari semakin banyak ditemukan problem-problem yang memaksa para cendekiawan lebih responsif untuk menangani hal tersebut. Mengutip dari buku Nuansa Fiqh Sosial, salah satunya ialah pandangan yang menempatkan fiqh sebagai sebagai kodifikasi hukum yang sama derajatnya dengan Al-qur’an dan Hadits. Pandangan ini dianggap tidak proporsional karena akan menimbulkan corak yang statis, tekstual dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman.[1]

Di sisi lain terdapat pandangan yang menyatakan fiqh adalah produk ijtihad ulama’, dimana konteks pemikiran itu terbentuk dari tempat dan masa dimana ulama itu hidup. Namun perlu digaris bawahi, fiqh tidak sama dengan cabang ilmu-ilmu lain sebab fiqh mulai dari masa pembentukan hingga masa perkembangannya sekaraang tidak lepas dari intervensi samawi. Paduan antara unsur samawi dan kondisi aktual “bumi” inilah yang membuat fiqh itu menjadi unik.[2] Dalam tulisan ini kami lebih setuju pada pemikiran kedua ini. Sebab terlepas dari pembahasan yang telah dikaji dibanyak buku mengenai fiqh sosial, pemikiran ini dipandang lebih obyektif dan bersahabat dengan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat.

Fiqh sosial hadir sebagai bentuk gerakan mengubah sudut pandang masyarakat yang cenderung menganggap fiqh sebagai aturan agama, bercorak hitam-putih dan diberlakukan untuk “kepentingan tuhan”. Padahal jika melihat definisi fiqh, yaitu “pengetahuan mengenai hukum-hukum syari’at yang bersifat pengaamalan yang digali dari dalil-dalil yang terperinci”[3] jelas bahwa fiqh dapat berjalan mengikuti perkembangan zaman.[4] Ciri fiqh yang formalistik hanya akan menjauhkan fiqh itu sendiri dari “spirit tasyri’” yang telah lama dibangun. Maka fiqh sosial dituntut mampu menampakkan watak fiqh yang dinamis sebagai counter discourse terhadap fiqh yang berwatak hitam putih dan membuka peluang demokratisasi dalam menafsirkan teks-teks fiqh.[5]

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa Islam tidak akan repot-repot merumuskan aturan jika bukan untuk kepentingan umat manusia. Dari segala urusan yang dilakukan umat manusia memang semua kembali untuk dalam rangka beribadah kepada Allah, tetapi upaya-upaya yang dilakukan didunia tidaklah bertolak belakang dengan urusan akhirat. Makanya penting untuk dilakukan pertama yaitu pengembangan fiqh terutama mengubah wawasan masyarakaat tentang fiqh secara utuh dan menyeluruh. Selain berupaya mensosialisasikan lima prinsip utama yang mendasari segala pergerakan kajian fiqh sosial ini.

Upaya Mengembagkan Madzhab Qauli dan Manhaji

Dalam perkembangannya, fiqh sosial gencar melakukan sosialisasi dan mengajak kita untuk lebih memahami maqashid asy-syari’ah yang menjadi inspirasi upaya mengembagkan madzhab qauli dan manhaji. Rumusan dari pada maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) telah diditetapkan pada zaman Rasulallah saw. terdiri dari lima bagian. Menjaga agama, melindungi jiwa, melindungi keturunan, melindungi akal, dan melindungi harta benda. Rumusan ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek penyembahan Allah[6] tetapi kepentingan lima hal fundamental inilah yang menjaid indikator kemaslahatan umum, baik yang bersifat dharuriyyat (primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (komplementer)[7]. Dari rumusan inilah pengembangan madzhab qauli dan manhaji diupayakan.

Seperti penjelasan Kiai Sahal dalam bukunya Nuansa Fiqh Sosial “Secara qauli pengembangan fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah ushul fiqh maupun qawid fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji pengembaangan fiqh bisa dilakukan dengan cara pengembangan teori masalikul illat agar fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahat al-aammah”.[8]Namun pengembangan contoh-contoh kaedah ushuliyah maupun fiqhiyah -menurut buku Fiqh Sosial Masa Depan Fiqh Indonesia- kurang begitu populer dikalangan ulama’ NU. [9] padahal pengembangan ini sangat relevan untuk merespon persoalan kontemporer baik dalam bidang politik, ekonomi, kesehatan dan lainnya seperti yang dipaparkan oleh Jamal Ma’mur dalam bukunya.[10]

Misalnya kaidah al-daf’u aula min al-raaf’i, mencegah lebih utama daripada mengobati. Dalam kitab al-asybah wa an-nadlair imam Suyuthi mencontohkan penggunaan air musta’mal. Kaidah ini bisa dikembangkan dalam masalah kesehatan, yaitu menolak penyakit dengan daya kebal, daya tangkal, lebih utama dari pada mengobati yang sudah menempel pada tubuh.[11]

Sementara pengembangan madzhab manhaji dilakukan ketika metode qauli tidak lagi dapat menjawab persoalan. Artinya tidak ditemukan literatur fiqh yang memadai. Maka pengembangan teori masalikul illat dilakukan agar fiqh yang dihasilkan dapat menjawab persoalan.[12] Misalnya dalam masalah qashr yang diperbolehkan dengan illat safar (bepergian) yang lebih kongkret dari pada masyaqah (kesulitan) yang terjadi dalam bepergian. Masyaqqah sangat relatif karena berkaitan dengan banyak hal. Dalam situasi tertentu illat ni dianggap tidak adil, seperti orang yang sehat melakukan perjalanan jauh menggunakan pesawat tanpa ada kesulitan namun diperbolehkan qashr. Sedangkan orang jompo yang susah payah menempuh beberapa kilometer saja tidak boleh melakukannya.[13]Hal inilah yang mendorong Kiai Sahal untuk mengembangkan teori masalikul illah yang menggabungkan antara qiyasi murni dengan maqashidud asy-syari’ah.[14]

Masalikul illah adalah jalan menemukan alasan (illat) yang digunakan dalam penetapan hukum. Secara metodologis, hal ini bisa dilakukan dengan memasukkan hikmah hukum terhadap illat hukum. Dalam kajian ushul fiqih, masalikul illat dibagi menjadi sepuluh. Yaitu : ijma’ (konsensus ulama’), nash (teks)yang jelas (sharih), ima’ (pertanda samar), As-Sabru (Eksperimen) dan At Taqsim ( diversivikasi, menampakkan satu hal pada banyak masalah yang berbeda beda), munasabah (keserasian antara illat khusus dengan hukum), Syibh (penyerupaan), ad-dauron, at-thordu, tanqihul manath (membuktikan tempat pijakan hukum), dan ilghoul fariq (menganggurkan perbedaan).

Dalam beberapa tulisan menyebutkan bahwa hal ini menyiratkan beberapa hal penting. Pertama, adanya pengakuan yang mutlak terhadap ijtihad sebagai upaya pengembangan masalikul illat. Kedua, menggabungkan antara kebutuhan ijtihad dengan kewajiban merealisasikan kemaslahatan.[15]

Inilah yang menjadi pengembangan rumusan maqashid asy-syari’ah yang memberikan pemahaman bahwa keseimbangan kepedulian dapat dirasakan bila kita memandang hifduddin sebagai unsur maqashid yang bersifat ewajiban bagi umat manusia, sementara keempat lainnyaa kita terima sebagai wujud perindungan hak yang selayaknya diterima setiap manusia. Dalam kerangka pandangan ini, maka kehidupan manusia, kecuali yang bersifat ubudiyah murni, harus dilengkapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan, karena hanya dengan menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dapat dilaksaknakan dengan baik, meskipun tidak berarti bahwa tanpa hak kemaslahatan beribadah dengan sendirinya menajdi gugur.[16]

Penutup dan tambahan

Upaya mengembangkan madzhab qauli dan manhaji adalah salah satu upaya dan gerakan fiqh sosial utamanya dalam membangun paradigma masyarakat Islam, yaitu sebagai realisasi manusia sebagai khalifah fil ardl. Mengutip dari makalah kami yang berjudul “fiqh sosial dan kemandirian masyarakat”, kami mencoba menyimpulkan bahwa terdapat strategi dan proses fiqih sosial dalam membangun paradigma kemandirian masyarakat islam.

Pertama, untuk mengawali proses membangun paradigma kemandirian masyarakat islam, fiqih sosial memiliki 5 prinsip dasar yang dijadikan sebagai manhajul fikr. Yaitu hasil rumusan dari serangkaian halaqah NU bekerjasama dengan RMI dan P3M, dan diresmikan dalam Munas Lampung 1992.[17]Dari kelima prinsip dasar ini, fiqih sosial berusaha merubah paradigma fiqih sebagai paradigma kebenaran “ortodoksi” menjadi paradigma “pemaknaan sosial”.

kedua,menjadikan pesantren sebagai garda depan dalam usaha membangun paradigma kemandirian. Sebab pesantren mempunyai tanggung jawab yang besar dan andil dalam mengembangkan khasanah keislaman, khususnya pesantren memiliki keunggulan-keunggulan yang khas dibanding lembaaga pendidikan lain. Merubah sigma yang menempatkan pesantren sebagai “pendidikan kelas bawah” harus dilakukan secara masiv.[18]

Ketiga, penggabungan dari langkah satu dan kedua, fiqih sosial mempunyai gagasan transformatif dengan adanya proses kerja sama antara pesantren dan lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Terkait dengan paradigma pembacaan teks yang harus diinterpretasi secara kontekstual, Seharusnya antara pesantren dan lembaga pemerintah justru malah harus saling bekerja sama dalam membangun paradigma kemandirian masyarakat islam. Misalnya dalam masalah fundraising, pengorganisasian masyarakat, proses advokasi, fasilitasi, pemberian pelatihan,dan lain sebagainya.

Seperti paradigma fiqh yang cenderung formalistik, banyak wacana-wacana yang diangkat terkait dengan pembacaan teks klasik, seperti Fazlul Rahman, Nasr Hamid, dan lain sebagainya yang sama-sama ingin merubah mindset masyarakat dalam menyikapi teks. Bahkan dalam agama-agama lain gap atau sekt antara agama dan ilmu pengetahuan penjadi pembahasan yang tidak ada habisnya. Seperti novel Dan Brown yang booming yang mencoba mencoba menjelaskan fenomena yang telah lama menjangkit masyarakat. Ilmu pengetahuna tidak ada hubungannya sama sekali dengan Agama agama tidak memerlukan legitimasi dari ilmu pengetahuan untuk mempertahankan eksistensinya, tetapi ilmu dan agama dapat berjalan beriringan. Ketika ilmu itu bebas nilai –seperti pembahasan dalam filsafat ilmu- ilmu itu akan kehilangan “jiwa”nya sebagai anugerah yang diberikan oleh tuhan untuk manusia. Dan nilai-nilai religius dapat memotivasi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena dari nilai-nilai keagamaan, budaya dan kemanusiaan secara umum dapat memompa semangat manusia sebagai “wakil tuhan” di dunia.

 

Daftar pustaka

Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012

Tutik Nurul Janah (ed), Metodologi Fiqh Sosial, Dari Qouli Menuju Manhaji, Pati, PusatFisi, 2015

Jamal Ma’mur Asmani, Mengembngkan Fikih Sosial KH.MA. Sahal Mahfudh, Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2015

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul janah, Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia, Pati, PUSATFISI, 2016,

Makmur, Jamal, Fiqih Sosial Kyai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi, Surabaya, Khalista, 2007

[1] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm: xxix

[2] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm: xxiv

[3] Diterjemahkan dari kitab Fathul Qarib, hlm: 3

[4] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm: xxx

[5] Tutik Nurul Janah (ed), Metodologi Fiqh Sosial, Dari Qouli Menuju Manhaji, Pati, PusatFisi, 2015, hlm: 111

[6] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm: xlvi

[7] Jamal Ma’mur Asmani, Mengembngkan Fikih Sosial KH.MA. Sahal Mahfudh, Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2015, hlm: 27

[8] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm: xxvi

[9] Umdah el Baroroh, Tutik Nurul janah, Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia, Pati, PUSATFISI, 2016, hlm: 72

[10] Jamal Ma’mur Asmani, Mengembngkan Fikih Sosial KH.MA. Sahal Mahfudh, Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2015, hlm:24

[11]Jamal Ma’mur Asmani, Mengembngkan Fikih Sosial KH.MA. Sahal Mahfudh, Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2015, hlm:24

[12]Tutik Nurul Janah (ed), Metodologi Fiqh Sosial, Dari Qouli Menuju Manhaji, Pati, PusatFisi, 2015, hlm: 98

[13]Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm:xlix

[14]Jamal Ma’mur Asmani, Mengembngkan Fikih Sosial KH.MA. Sahal Mahfudh, Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2015, hlm: 27

[15]Umdah el Baroroh, Tutik Nurul janah, Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia, Pati, PUSATFISI, 2016, hlm: 74

[16]Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm:xlvi

[17]Makmur, Jamal, Fiqih Sosial Kyai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi(Pegantar Penulis), (Surabaya, Khalista, 2007) hlm. XIII

[18]Makmur, Jamal, Fiqih Sosial Kyai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi(Pegantar Penulis), (Surabaya, Khalista, 2007) hlm: 177