Oleh : Muhammad Labib (Peneliti Magang di PUSAT FISI IPMAFA)

Abstrak

Islam adalah agama final yang diwahyukan kepada Nabi terakhir Muhammad SAW, agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya yang diwahyukan kepada para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Agama islam memiliki tiga elemen yang menjadi esensi inti dari islam itu sendiri, yaitu akidah, syariat dan akhlak. Jika akidah memiliki produk jadi berupa keilmuan tauhid, maka syariah dan akhlak juga memiliki produk jadi berupa keilmuan fiqh dan tashawuf. Ketiga elemen diatas yang melahirkan tiga disiplin keilmuan inti, haruslah dipahami secara komprehensif dengan tiga alat bantu, yaitu dalil islam, kepercayaan, dan rasio. Semua hal diatas dalam rangka memahami islam secara komprehensif, haruslah selamanya saling berinterkoneksi, saling bekerja sama, dan saling gotong royong. Jangan sampai salah satu dari ketiganya hilang, tidak diakui atau diabaikan. Jika hal itu terjadi, maka ekses yang timbul adalah pemahaman yang dangkal, radikal, rigid dan ektrim tentang islam. Maka selanjutnya ruh islam sebagai agama yang “rahmatan lil ‘alamin” akan terlupakan.

Fiqh sebagai produk jadi syari’ah - salah satu dari ketiga elemen islam - merupakan seperangkat aturan dan teknis kehidupan sosial beragama. Fiqh dihadirkan untuk mewujudkan keseimbangan antara dua tugas dan alasan manusia hidup di bumi sebagai khalifatullah , dua tugas itu adalah beribadah kepada Allah dan mengelola isi bumi. Selanjutnya ia akan bekerjasama dengan ketiga keilmuan dan elemen diatas. Fiqh dalam merealisasikan tujuan itu, selalu berpegang teguh pada maqosidus syari’ah ; hifdzun nafs, hifdzud diin, hifdzul maal, hifdzunl ‘aql, hifdzun nasl, dan hifdzul ‘irdh.

Seiring dengan berkembangnya zaman, tentu saja para mukallaf, pola pikir, dan kebudayaan mereka mengalami perubahan dan pergeseran sesuai konteksnya masing-masing. Maka dari itu, fiqh yang merupakan seperangkat teknis kehidupan sosial-beragama sangat tidak mungkin untuk diseragamkan. Teknis selalu berimprovisasi dengan konteks. Sedangkan konteks bersifat dinamis tidak statis, berubah dan bergeser dimana dan kapan dia berada. Maka, pemehaman kontekstual fiqh dan islam haruslah selalu dilakukan. Namun, tidak mungkin juga terwujud pemahaman yang kontekstual tanpa ada pemahaman tekstual. Fiqh dan islam memiliki masterpiece, khazanah kekayaan yang sangat luar biasa yaitu dengan adanya kitab kuning. Setidaknya kitab kuning inilah yang menjadi ciri dan indikator utama tekstual fiqh dan islam. Eksistensi dan sustainabilitas kitab kuning harus selalu dijaga, dilestarikan sampai tiba waktunya dimana sudah tidak diperlukan lagi fiqh.

Kata kunci : Islam, fiqh, teknis, konteks, tekstual, kontekstual, kitab kuning.

Pendahuluan

Fiqh memiliki 4 dalil – Al qur’an, hadist, ijma’, qiyasAl Mujma’ ‘alaiha yang digunakan sebagai rujukan dalil untuk menentukan hukum. Dan masih ada beberapa dalil – istihsan, maslahah mursalah, istishab, dll – yang masih khilafiyah. Setidaknya itulah beberapa dalil yang selama ini digunakan oleh para fuqoha’ dan mujtahid untuk mengeluarkan satu fatwa atau hukum menyikapi problematika yang sedang dihadapi.

Sementara itu, semua teks fiqh tersebut, dan islam secara keseluruhan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa formal. Kita tidak perlu membahas tentang latar belakang kenapa bahasa Arab yang digunakan bukan bahasa Inggris, bahasa Indonesia, atau bahasa Jawa. Terlepas dari itu, bahasa Arab memang bahasa yang memiliki kekayaan sastra tinggi yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Mulai dari gramatika, keindahan bahasa dan kandungan maknanya sangatlah kaya. Maka dari itu, tidaklah merupakan suatu kesalahan apabila bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa formal islam.

Yang menjadi masalah selanjutnya adalah bahwa islam itu bukan hanya untuk orang Arab atau orang yang berbahasa Arab saja. Islam adalah agama semua umat manusia, bahkan para jin. Dengan adanya segala perbedaan yang ada, kerap terjadi kesalahan dalam memahami teks teks fiqh yang menimpa orang Arab sendiri, apalagi bagi kaum ‘ajam (non Arab). Hal itu memang hal yang maklum, disamping memang luasnya samudra makna dari teks fiqh itu sendiri, juga dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh setiap individu.

Sudah menjadi catatan sejarah bahwa sejak abad 4 H telah bermunculan berbagai kodifikasi literatur teks fiqh praktis dan metodologis. Dari gerakan literasi inilah, fiqh mulai menyebar keseluruh penjuru dunia hingga akhirnya masuk dan berkembang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang, dan dilanjutkan oleh Walisongo yang melahirkan para Kyai dan ulama’ sampai sekarang. Berbagai macam kodifikasi fiqh itu selanjutnya sampai sekarang di Indonesai dikenal dengan “kitab kuning” – karena memang kertas yang digunakan berwarna kuning – dengan ciri khas sistematika penulisannya yang tidak memakai tanda baca, tidak ada alenia, satu halaman penuh dikanan kiri tanpa ada yang kosong penuh dengan tulisan arab. Maka, untuk memahami kitab kuning diperlukan kemampuan yang jeli. Perpaduan antara pemahaman terhadap ilmu nahwu, shorof, balaghah, dan fiqh itu sendiri harus dikuasai oleh setiap pembacanya.

Dengan adanya tantangan itu, tidak sedikit dari umat muslim yang kurang memiliki semangat dalam memahami kitab kuning. Untuk membacanya saja susah apalagi memahaminya, itulah diantara keluhan mereka. Hanya di pesantrenlah yang sampai sekarang senantiasa melestarikan tafaqquh fiddin dengan media pembelajaran kitab kuning secara mendalam. Masyarakat muslim yang mempelajari fiqh lewat buku terjemahan, apalagi lewat internet, sangatlah rawan mengalami kerancuan pemahaman. Perlu disadari dan dipahami bahwa munculnya para fuqoha’ dan ulama’ yang benar-benar paham akan fiqh takkan terpisahkan dengan kemampuan mereka dalam menguasai kitab kuning. Mereka takkan mampu mencapai pemahaman kontekstual, jika mereka belum menguasai pemahaman tekstual. Maka dari itu, semangat menguasai kitab kuning, dan melestarikan budaya literasinya harus selalu dijaga. Budaya mengarang matan, mensyarahi, dan memberi khasyiyah harus selalu dilestarikan, seperti halnya budaya memunculkan tesis, memicu anti tesis dan akhirnya munculah kesempurnaan sintesa yang dikenal mahasiswa pada umumnya di bangku perkuliahan.

  1. Kitab Kuning dan Pesantren.


Kitab kuning dan pesantren adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam usaha untuk bertafaqquh fiddin. Jika yang pertama adalah litertaurnya yang kedua adalah lembaga institusinya. Kitab kuning merupakan khazanah kekayaan islam yang sangat luar biasa. Sebenanrya tidak hanya disiplin ilmu fiqh, kitab kuning juga mengandung ushul fiqh, sastra arab (nahwu, sharaf, balaghah, arrudh) mantiq, kahlak tashawuf, akidah tauhid, dan lain-lain. sementara itu, hanya di pesantrenlah secara dalam kitab kuning ini, di elaborasi dan dikupas sampai ke akar-akarnya.

Istilah kitab kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan (pejorative). Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan zaman, dan mejadi salah satu penyebab terjadinya satgnansi berfikir umat. Pada mulanya sangat menyakitkan memang, tapi kemudian nama KK diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.

Dalam tradisi intelektual islam, khususnya di Timur tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan dua istilah untuk menyebut kategori karya –karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama, disebut al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik). Sedangkan kategori kedua disebut, al-kutub al-‘asyriyyah (kitab-kitab modern). Perbedaan yang pertama dari yang kedua, antara lain, dicirikan oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik dan tanpa syakl (baca : sandangan ; fathah, kasrah, dlammah, kasrah [dalam bahasa Cirebon]). Apa yang disebut KK pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama , al kutub al-qadimah.

Selain nama itu, karena tidak dilengkapi dengan sandangan, KK juga kerap disebut olehh kalangan pesantren sebagai “kitab gundul”, dan karna rentang waktu sejarah yang amat jauh dari kemunculannya sekarang, KK itu pun tidak luput dari sebutan “kitab kuno”.

Spesifikasi KK secara umum terletak pada formatnya (lay-out) yang terdiri dari dua bagian : matan, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matan). Dan dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin, baik sebelah kanan maupun kiri), sementara syarh – karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibanding matn -, ia diletakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan KK pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto).

Ciri lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total – artinya tidak dijilid, seperti buku. Ia hanya dilipat setiap kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman), yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan . Jadi, dalam satu KK terdiri dari beberapa korasan itu dibawa secara terpisah.

Selain itu, yang membedakan KK dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal, bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari KK ; metode sorogan dan bandungan. Cara pertama, santri membacakan KK dihadapan Kyai, dan sang Kyai langsnung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Cara kedua, yaitu sekelompok murid (antara 5-500 murid) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa Arab.[1]

Selain dua metode diatas, dewasa ini – sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian KK – dilingkungan pesantren telah berkembang metode jalsah (diskusi [kelompok] partisipasionary) dan halqah (seminar). [2] Selain itu juga ada forum musyawarah, dan bahtsul masa’il.

Lebih rinci lagi bahwa ketiga model sistem pembelajaran KK diatas yang ada di pesantren, tidak akan perenah terlepas pada metode klasik “utawi iki iku” dan penulisan makna dengan tulisan “Arab pegon”. Membaca kitab kuning dengan metode "utawi, iki-iku" adalah hasil ijtihad dari segolongan ulama nusantara untuk memecahkan kebuntuan terhadap persoalan sulitnya menterjemahkan bahasa arab kedalam bahasa jawa dengan derajat kesalahan seminimal mungkin. Konon, yang pertama kali mengenalkan pembacaaan kitab kuning dengan metode utawi iki iku adalah Sunan Ampel. Kemudian, metode ini dikenalkan secara luas oleh para santri dan anak didiknya, diantaranya adalah Sunan Giri, santri sekaligus anaknya, dengan memusatkan pembelajaran di Giri Kedaton.

Metode "utawi, iki-iku" dirasa sangat efektif dalam pendalaman kajian keagamaan yang tidak boleh tidak harus mengacu kepada literatur berbahasa arab. Setelah terjadi pembenahan disana-sini dan masukan dari berbagai ketidak singkronan dalam pemaknaan akhirnya para ulama jawa bersepakat bahwa metode "utawi, iki-iku" adalah metode satu-satunya yang diterapkan oleh setiap ulama pemangku pesantren dalam menggembleng anak didiknya. Pengembangan metode ini beriringan dengan penggunaan tulisan jawa pegon sebagai perangkatnya. Penulisan dengan menggunakan metode jawa pegon menyebar sampai ke negri tetangga, bukan tidak mungkin, metode ini juga ikut terbawa sampai ke sana.

Penyempurnaan metode ini berlangsung sampai hadirnya hadratus syeikh Kholil Bangkalan. Kedalaman beliau dalam ilmu alat dan penguasaan beliau terhadap penggunaan setiap kata dalam bahasa arab mengantarkan metode "utawi, iki-iku" mencapai klimaksnya. Gubahan dan ijtihad beliau bertahan sampai detik  ini. Para ulama yang datang seteah era KH. Kholil tak ubahnya ingin melestarikan saja, tanpa merasa perlu untuk berbenah. Mereka meyakini bahwa metode yang disampaikan oleh hadratusy Syeikh sudah final, tidak ada alasan untuk merevisi atau bahkan merubahnya.[3]

Sedangkan berkenaan dengan tulisan “Arab Pegon”, khazanah metode belajar dalam pesantren, penulis mengutip potongan cerpen karya mas Sahal Mahfudz ;

“Tulisan arab pegon itu bentuknya arab, tapi isinya jawa. Ini merupakan salah satu produk islam nusantara yang sampai sekarang masih dilestarikan Pesantren Nushan Tara. Dulu, tulisan pegon ini adalah media dakwah ulama nusantara untuk mengelabuhi para penjajah yang gemar merampas tulisan-tulisan latin atau jawa yang berbau ajaran agama, agar apa yang mereka dakwahkan sampai kepada kepada mereka yang membutuhkan. Makanya dinamakan pegon atau pego yang berarti plin-plan atau berwajah dua, untuk mengelabuhi para penjajah yang suka menipu. Sikap semacam ini dinamakan musyakalah atau menandingi. Menghadapi penjajah yang suka menipu, harus dengan tulisan arab pegon agar mereka tertipu Kang. Orang yang pemahaman agamanya mendalam tak pernah takut mati, dan hal inilah yang ditakutkan para penjajah, karena orang yang tak takut mati akan sulit dikalahkan. Makanya para penjajah itu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan ajaran agama islam dari para pemeluknya.”[4]

 

  1. Mengupas Teks klasik Fiqh


Teks klasik fiqh adalah berbagai macam kodifkiasi litertaur “ kitab kuning “ yang merupakan produk praktis, produk jadi atau “buku pintar” hasil buah pemikiran para mujtahid dan fuqoha’ setelah sebelumnya melalui proses pengolahan teori teori ushul fiqh (metodologi fiqh) menyikapi deskripsi problematika terkait.

Jadi, isi dari teks klasik fiqh adalah justifikasi hukum dan teknis rinci dari suatu pembahasan masalah. Umumnya, teks klasik fiqh atau kitab fiqh itu mengandung 4 bahasan pokok. Yaitu ibadah mahdhah (thaharah, salat, zakat, puasa, haji), mu’amalah (transaksi dan hubungan kemanusiaan), munakahah (pernikahan dan perceraian), jinayat (keadilan hukum, sanksi kriminalitas, perang, dll).

Kemudian, jenis-jenis dari teks klasik fiqh atau kitab fiqh, berdasarkan banyak kandungan isinya adalah :

  1. Kitab Matn


Kitab fiqh paling ringkas, paling kecil, berisi pokok-pokok inti fiqh hasil karangan salah satu fuqoha’ (biasa disebut Mushannif atau Muallif). Kitab matn merupakan kitab paling konkrit, tanpa ada uraian panjang, langsung justifikasi hukum halal, haram, wajib, sunnah, makruh, mubah beserta teknis ala kadarnya.

  1. Kitab Syarh


Kitab yang memberikan komentar dan penjelasan lebih rinci bagi apa yang ditulis oleh mushannif atau muallif dalam kitab matn. Kadang bisa sang Mushannif sendiri yang men-syarahi, atau yang lebih umum ada fuqoha’ lain yang memberi syarh atau komentar. Biasanya dalam lay-out kitab kuning klasik, kitab syarh menyertakan tulisan kitab matn di samping luar garis, dan di dalam garis tapi diberi kurung dan syarh atau penjelasan berada di luar kurung.

  1. Kitab Hasyiyah


Secara bahasa berarti catatan pinggir. Atau kalau istilah fiqhnya adalah ta’liqot dari Hamisy[5] (catatan kaki namun letaknya sama di pingggir). Walaupun secara etimologi adalah catatatan pinggir, namun lay-out kitab kuning sekarang banyak yang menuliskan hasyiyah di tengah bukan di pinggir. Ciri khas Khasyiyah biasanya ada kalimat “Qouluhu” sebelumnya, begitu juga Hamisy. Hasyiyah adalah penjelasan lebih rinci lagi dari syarh dan matn, pada kata atau kalimat yang dianggap perlu diperinci dan diperjelas lebih panjang. Sedangkan Hamisy hanya catatan ala kadarnya.

Tiga klasifikasi ini adalah produk hasil pemikiran dan tulisan dari para fuqoha’ dan mujtahidin. Yang menarik bukan hanya masalah kandungan isinya, tapi budaya literasi pada masa itu sehingga menghasilkan tiga produk kitab ini. Budaya literasi mereka adalah mulai dari seorang Mushannif yang mengarang kitab matn yang biasanya adalah karena permintaan dari para murid, atau masyarakat, kemudian setelah muncul kitab itu, beberapa murid sang Mushannif atau orang luar memberi komentar, kritik, saran, penambahan dan koreksi lainnya. Dan uniknya lagi, ciri khas ketawadhu’an yang mereka miliki, tidak serta merta apabila dalam kitab matn ada kesalahan tidak langsung dikatakan salah, sesat, bohong atau lainnya, namun mereka sebagai Syarih memberi kritikan dengan bahasa yang halus dan sopan, begitu juga para pembacanya. Biasanya redaksi yang digunakan pembaca adalah “La’allas Shawab” (mungkin yang benar adalah), atu redaksi lain yang santun.

Contoh dari ketiga klasifikasi kitab diatas adalah mislanya kitab matn Taqrib karya Syekh Abi Syuja’ yang kemudian di syarahi (dikritisi, ditambahi) oleh Stekh Ibnu Qasim Al Ghaziy menjadi kitab Fathul Qarib Syarhu Ghoyatut Taqrib, kemudian berkembang lagi dikritisi dan diperjelas oleh Syekh Ibrahim Al Bajuriy menjadi kitab Hasyiyah Al Bajuriy. Di jalur lain, kitab matn Taqrib di syarahi oleh Syekh Khotib As Syirbini menjadi kitab Al Iqna’ dan diuraikan lagi dalam bentuk Hasyiyah oleh Syekh Sulaiman Al Bujairimiy menjadi kitab Hasyiyah AL Bujairimiy ‘Alal Khotib.

Begitulah gambaran keunikan dan ciri khas kitab atau teks klasik fiqh dengan budaya literasinya yang sudah jarang ditemukan. Kebanyakan metode literasi sekarang muncul satu karya membahas satu isu, lalu muncul karya lain dengan isu yang sama tapi dengan pemikiran baru tanpa menyinggung atau saling kritik dengan karya sebelumnya. biasanya yang dikritisi hanya kesimpulan dari teori atau wacana yang ditawarkan bukan bukunya secara keseluruhan.

  1. Hubungan Fiqh, Ushul Fiqh, dan Qawa’id Fiqh.


Ketika berbicara tentang disiplin ilmju fiqh memang tiada habisnya, karen ketika membahas fiqh berarti kita membahas legalitas, teknis, aturan, solusi aplikatif dalam kehidupan masnusia. Maka dari itu, fiqh sendiri memiliki cabang keilmuan yang lebih spesifik, yaitu ada tarikh fiqh, istilah fiqh, ushul fiqh, dan qawa’id fiqh. Nmun, fokus pembahasan pada tulisan ini adalah fiqh itu sendiri, ushul fiqh dan qawa’id fiqh.

Definisi Ushul Fiqh adalah

أصول الفقه أدلة الفقه الإجمالية وطرق استفادة جزئياتها وحال مستفيدها وقيل معرفتها

“Ushul Fiqh adalah Dalil-dalil fiqh yang masih global dan metode pengolahan perincian dari dalil-dalil tersebut serta kriteria dan indikator dari orang yang mengolah dalil-dalil tersebut. Pendapat lain mengatakan bahwa ushul fiqh adalah mengetahui tentang semua hal diatas.”

Dan definisi Fiqh adalah

والفقه علم بحكم شرعي عملي مكتسب من دليل تفصيلي

“Fiqh adalah Ilmu tentang hukum syari’at yang berupa amal perbuatan yang diambil (produk jadi :pen) dari dalil-dali yang terperinci.”[6]

Sedangkan definisi Qawa’id fiqh adalah :

“Kaidah-kaidah pokok hasil kumpulan dan kesimpulan dari contoh beberapa kasus fiqhiyyah riil yang sudah pernah terjadi.”

Ketiga disiplin ilmu ini, sangat penting sekali dalam kajian tekstual fiqh agar benar-benar diperdalam untuk menuju pemahaman kotekstual fiqh dan islam. Sangat mustahil sekali bagi orang yang serius belajar fiqh namun tidak memahami ushul dan qawa’id fiqh.

Jadi, berdasarkan definisi diatas, yang menghubungkan antara ketiganya adalah bahwa ushul fiqh merupakan metode pengolahan dalil, mulai dari cara pengolahan ayat Al qur’an, hadist, ijma’, qiyas. Dikelola dari segi interpretasi lughowiy dan ma’nawiy (huruf, kalimat, mantuq, mafhum, dll), cara berijtihad dan syarat kecakapannya, hubungan illat hukum, hikmah hukum, maqasidus syari’ah, dll. Jadi, sesuai namanya, ushul fiqh adalah asal mula fiqh. Adanya produk fiqh terlebih dahulu dikelola oleh ushul fiqh. Fiqh wujud karena ada ushul fiqh. Sementara qawa’id fiqh adalah beberapa contoh kasus riil dari konsep teori fiqh yang terkait, yang dikumpulkan kemudian digeneralisasi menjadi kaidah. Namun, nantinya karena dasar dari qawa’id fiqh adalah hasil generalisasi kasus kasus fiqhiyyah riil, maka kaidah yang ada, jika digunakan untuk memberi solusi terhadap problematik haruslah kembali lagi berinterkoneksi dengan kaidah ushul fiqh sehingga tercapai jawaban dan solusi yang kontekstual.

Contoh riil dari ilustrasi hubungan antara ketiga ilmu ini adalah dalam konteks permasalahan kasus lokalisasi perjudian. Sebuah tawaran solusi yang digagas oleh Kyai Sahal Mahfudh. Beliau mengatakan bahwa kemaksiatan itu adalah realitas yang tidak mungkin dihilangkan dari muka bumi, karena itu baginya yang mungkin dilakukan adalah meminimalisir kemaksiatan tersebut salah satu caranya adalah membuat lokalisasi. Dalam hal ini Kyai Sahal membuat analogi bahwa dalam sebuah rumah saja harus ada WC sebagai tempat pembuangan kotoran. Betapa kotoran itu aka tercecer ketika rumah tidak memiliki WC.[7]

Sudah menjadi rahasia umum atau termasuk “ma’lum minaddin biddoruroh” bahwa perjudian adalah perbuatan yang dilarang. Al qur’an sendiri telah mengatakan bahwa judi termasuk dosa dan perbuatan syaiton. Faktanya memang perjudian menimbulkan banyak sekali kerugian, mulai dari kerugian dari segi materi, dari segi sosial, dan spiritual. Maka tak khayal jika fiqh memberi hukum haram pada perjudian dengan alasan merugikan tersebut.

Aplikasi dari ketiga ilmu diatas dalam konteks ini, adalah bahwa sebelum adanya hukum haram pada perjudian yang merupakan konsep fiqhnya, terlebih dahulu ada pengkajian dan pengolahan dalil atau biasa disebut dengan “istinbath hukum” dan “ijtihad”. Bermula dari nash ayat Al Qur’an :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون [المائدة:90[

 

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (البقرة : 219

Al qur’an mengggunakan istilah “الْمَيْسِر” dalam menerangkan tentang perjudian. Lalu dalam surat Al Ma’idah ayat 90 diatas , terdapat lafadz “فَاجْتَنِبُوهُ” yang dalam kajian lughowiy ushul fiqh disebut sighot amr. Namun bukan amr nafsiy karena sighot ini mengungkapkan sebuah larangan yang terselubung. Diperintah untuk menjauhi berarti dilarang melakukan. Dalam kaidah ushul ada kaidah Al Ashlu Fil Amr Lil Wujubi, atau ada juga Al Ashlu fil Amri Linnadbi. Kalau tidak ada qarinah yang membatasi, maka setiap sighat amr menurut satu golongan pasti untuk wajib dan golongan lain pasti untuk nadb. Sedangkan masih dipadukan lagi dengan pembahasan keterkaitan dengan maqasidus syari’ah, illat hukum haranya perudian, dst. Inilah salah satu ilustrasi dari aplikasi teori ushul fiqh.

Lalu, berdasarkan kasus-kasus kriminal, perbuatan yang merugikan, menimbulkan bahaya, maka munculah kaidah fiqh “الضرر يزال”. Namun, disamping itu juga karena adanya berbagai kasus kasus paradoks antara dua kerugian yang timbul, namun ada yang kerugiannya kecil dan ada yang besar, maka muncul kaidah fiqh :

“إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما”

Perjudian ini, ketika diusut merupakan suatu keburukan yang sangat mustahil untuk dihilangkan. Maka upaya yang dapat dilakukan hanya sampai pada taraf meminimalisir yaitu dengan solusi pelembagaan. Satu sisi pelembagaan berarti “رضا بالمعاصي, dan itu adalah satu mafsadah, disisi lain jika perjudian tidak dilembagakan nantinya sangat sulit sekali diminimalir. Dan itu satu mafsadah lain yang lebih besar dari pada mafsadah pertama. Maka dari itu, dalam konteks seperti ini pelembagaan perjudian bisa menjadi boleh dan menjadi solusi aplikatif. Nah, untuk mengkaji lebih dalam lagi akan keabsahan dari solusi pelembagaan ini, maka kaidah fiqh yang digunakan sebagai pegangan tadi dikaji lagi dengan teori ushul fiqh, terutama dalam bab qiyas dan masalikul illat atau teori lainnya.

Penutup

Untuk mencapai kemajuan dimasa sekarang dan di masa depan, seorang pejuang haruslah selalu belajar pada sejarah masa lalu. Begitu juga fiqh, agar ia bisa dipahami secara kontekstual, maka pembaca dan orang yang mengkajinya harus peham betul pada teks-teks klasik fiqh. Kitab kuning yang menjadi khazanah kekayaan fiqh dan islam, merupakan representasi dan manifestasi dari hal itu. Jika sistematika penulisannya yang khas di zaman sekarang perlu diubah, namun metode literasinya harus selalu dijaga. Metode menyusun matn, memberi syarh, ta’liqot, hasyiyah, dan hamisy, patut untuk selalu dilestarikan.

Sementara itu, hanya di pondok pesantrenlah yang sampai saat ini pengajaran kitab kuning sebagai khazanah kekayaan fiqh dilakukan secara intens dan sustainable. Sistem pembelajarana “utawi iki iku” , arab pegon, bandongan, sorogan, musyawarah, bahtsul masa’il adalah sistem pembelajaran yang harus selalu dikembangkan. Maka, pendidikan di dunia akademik sedikit lebih harus berimprovisasi dengan sistem dan metode pendidikan di pesantren dalam rangka pengembangan kontekstualisasi fiqh. Begitu juga, pesantren yang masih belum begitu akrab dengan keilmuan sains, humaniora, dan ilmu terapan, harus bekerja sama dengan dunia akademik yang dia juga masih belum begitu akrab dengan kitab kuning. Sungguh menjadi satu sintesa yang luar biasa apabila pesantren dan dunia akademik bersatu, bergotong royong, dan saling bekerjasama. Kontekstualisai fiqh dan islam akan lebih mudah tercapai.

Para santri harus bersintesa dengan mahasiswa, yang nantinya akan menjadi mahasantri. Santri yang memiliki nilai nilai agamis dan agak ortodok, dipadukan dengan nilai nilai yang dimiliki mahasiswa seperti kritis, sistematis, dan objektif jika dipadukan menjadi satu akan sangat luar biasa. Sosok seperti itulah yang dibutuhkan oleh dunia pada masa post-modernis ini. Itulah bagian dari adagium, santri, fiqh dan islam :

“المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلاح”

“improvisasi antara berpegang teguh pada nilai nilai ortodoksi dan mengalir bersama arus sekular modernitas.”

Daftar Pustaka

Wahrhodi, dkk, Epistemologi Fiqh Sosial, Pati :Staimafa Press. 2014

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren,

Mochtar, Affandi, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren, Bekasi : Pusataka Isfahan, 2009

Japara, Sahal, Pesantren Nushan Tara (sebuah cerpen).

Munawwir, Warson, Kamus Al Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997

AL Anshoriy, Zakariya, Ghoyatul Wushul Syarhi Lubbil Ushul, Surabaya : AL Hidayah

http://two-ink.blogspot.co.id/2013/06/apakah-perlu-merevisi-metode-pembacaan.html,

 

[1] Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, () hlm. 54

[2] Mochtar, Affandi, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren, (Bekasi,Pusataka Isfahan, 2009) hlm. 32-35

[3] http://two-ink.blogspot.co.id/2013/06/apakah-perlu-merevisi-metode-pembacaan.html, diakses pada hari Sabtu, 13 Februari 2016, jam 22.28 WIB

[4] Lihat Japara, Sahal, Pesantren Nushan Tara (sebuah cerpen).

[5] Lihat Munawwir, Warson, Kamus Al Munawwir, (Surabaya, Pustaka Progressif, 1997)hlm. 268

[6] AL Anshoriy, Zakariya, Ghoyatul Wushul Syarhi Lubbil Ushul, (Surabaya, AL Hidayah) hlm. 4

[7] Wahrodhi. Dkk, Epistemologi Fiqh Sosial, (Pati, Staimafa Press, 2014), hm. 64