Pendahuluan

Sejak awal berdirinya, pesantren memang berorientasi pada pendidikan. Berawal dari adanya santri yang datang pada kiai untuk mengaji atau belajar ilmu agama, lama-lama santri yang belajar semakin banyak, kemudian sang kiai berinisatif untuk membangun tempat tinggal bagi para santri yang belajar.

Pada dasarnya, pesantren merupakan pusat penggemblengan dan penyiaran nilai-nilai yang berkaitan dengan keislaman. Dalam perkembangannya, pesantren semakin memperlebar wilayahnya yang tidak hanya melulu mengakselerasikan mobilitas dalam menjejali materi-materi keagamaan, tetapi juga mobilitas untuk menumbuhkan kesadaran sosial. Pesantren masa kini tidak hanya cenderung pada kurikulum yang berbasis keagamaan, tetapi juga kurikulum yang menyentuh hubungan dengan masyarakat. Dengan demikian, pesantren bukan lagi semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, namun seharusnya juga menjadi lembaga sosial yang hidup di tengah kehidupan masyarakat sekitarnya.

 

Pengertian Pesantren, Pendidikan dan Masyarakat

Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan non-formal. Di dalam pondok pesantren terdapat guru yang biasa disebut dengan kiai, dan muridnya yang disebut dengan santri.Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. [1]

  1. Arifin mendefinisikan pesantren sebagai sebuah pendidikan agama islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar. Gusdur memaknai pesantren adalah tempat dimana santri tinggal. [2]


Pesantren lebih dikenal sebagai tempat belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama para santri kepada kiai. Namun kemudian pesantren semakin berkembang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama saja tetapi juga ilmu-ilmu umum. Sehingga muncul tipologi pesantren salaf dan pesantren modern. Pesantren salaf lebih dipahami sebagai pesantren yang mempelajari ilmu-ilmu agama saja sedangkan pesantren modern lebih dipahami sebagai pesantren yang banyak mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat dunia.

Namun, tampaknya tipologi tersebut sudah tidak representatif lagi karena pesantren seharusnya menyiapkan kader yang sholih dan akrom. Sholih maksudnya adalah manusia yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna, dan terampil dalam kehidupan sesama makhluk. Sedangkan akrom merupakan pencapaian kelebihan dalam relevansinya dengan makhluk terhadap khalik, mencapai kebahagiaan di akhirat. Maka, untuk mencapai sholih, pesantren membekali dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan. Dan untuk mencapai akrom, pesantren secara institusional menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan. [3]

Untuk itu, maka pesantren tidak cukup jika mempelajari ilmu-ilmu agama saja atau hanya mempelajari ilmu-ilmu umum saja, tetapi keduanya harus seimbang. Hal ini juga dalam rangka melaksanakan tugas manusia sebagai khalifah Allah, yakni ibadatullah dan immaratul ardl.

Pendidikan berasal dari kata “didik” kemudian mendapat imbuan “pe-an”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.[4]

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, yang dimaksud pendidikan ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kebribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[5]

Sedangkan definisi menurut Ki Hajar Dewantara dalam kongres taman siswa yang pertama pada tahun 1930 menyebutkan bahwa pendidikan umumnya berarti upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, kekuatan batin (karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.[6]

Sementara itu, Pendidikan juga didefinisikan sebagai usah sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana, dan terarah.[7]

Dari berbagai definisi diatas dapat dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses atau usaha mengubah sikap seseorang ke arah kedewasaan baik jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, pendidikan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental, akhlak, perilaku dan kepribadian seseorang. Pendidikan tidak hanya proses transfer of knowldge tetapi juga transfer of value, sehingga perubahannya meliputi ranah kognitif, afektif an psikomotorik.

 

Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang dianggap sama.[8]

 

HUBUNGAN PRSANTREN, PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT

Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan lembaga penggerak masyarakat

 

Terdapat tiga fungsi utama pesantren, yakni pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama. Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat (agent of defelopment). [9]Atau dalam bahasa Mastuhu, setidaknya ada tiga fungsi pesantren yaitu sebagai lembaga sosial, lembaga dakwah dan lembaga pendidikan.[10]

 

Pesantren lahir ditengah-tengah masyarakat, merupakan bagian dari masyarakat, dan bisa tetap eksis karena dukungan dari masyarakat. Jika peaantren tidak menyatu dengan masyarakat, tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat, dan membiarkan masyarakat menurut Jamal Ma'mur Asmuni dalam bukunya "fiqih Sosial Kiai Sahal, Antara Konsep dan Implementasi" berpendapat bahwa hal itu adalah dosa sosial yang besar dosanya. Sebagaimana sabda Rasulullah "la yu'minu ahadukum hatta yuhibba liakhihi ma yuhibba linafsihi" tidak dianggap sempurna iman seseorang sampai dia mampu mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[11]

 

Namun sayangnya, fungsi tersebut kini tampak tersederhanakan dan tereduksi, yakni bahwa fungsi pesantren hanya berkonsentrasi sebagai lembaga pendidikan, pesantren terkonsentrasi sebagai lembaga peningkatan sumber daya manusia. Pada akhirnya kesan yang muncul bahwa pesantren lebih populer mencetak manusia-manusia yang ahli di bidang agama atau lainnya.[12] Banyak pesantren yang menutup diri dari masyarakat, sehingga ada kesenjangan antara pesantren dengan masyarakat. Hal itu menjadikan fungsi pesantren sebagai penggerak masyarakat menjadi tidak terlihat. Kebanyakan pesantren memposisikan dirinya hanya sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berupaya melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik. Sebagaimana yang dilakukan ponpes an-Nuqayyah, gulukguluk, sumenep, ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo, dan ponpes Maslakul Huda Kajen Pati dalam mendirikan Biro Pengembangan Masyarakat.[13]

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Mahfud, Agus, Ilmu Pendidikan Islam Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012

A.Halim dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta: pustaka pesantren, 2005

Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS Group, 2012

MS Anis Masykur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren : mengusung Sistem Pesantren Sebagai Sistem Pendidikan Mandiri, (Kalimantan Timur: Barnea Institute, 2010)

[1] Agus Mahfud, Ilmu Pendidikan Islam Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012) hlm.91

[2] Ibid

[3] Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS Group, 2012)hlm.305

[4] Agus Mahfud, Ilmu Pendidikan Islam Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), hlm. 8

[5] Ibid

[6] Ibid, hlm. 9

[7] Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial, ( Yogyakarta: LKiS Group, 2012), hlm. 265

[8] Yufid KBBI, kamus elektronik

[9] A.Halim, "Menggali Ekonomi Pondok Pesantren", dalam A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: pustaka pesantren, 2005), hlm.229.

[10] MS Anis Masykur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren : mengusung Sistem Pesantren Sebagai Sistem Pendidikan Mandiri, (Kalimantan Timur: Barnea Institute, 2010) hlm.175

[11] Jamal Ma'mur Asmuni, fiqih Sosial Kiai Sahal, Antara Konsep dan Implementasi, Hlm.217

[12]Ibid

[13] H.Moh. Ali Azizi, "pesantren dan pengembangan ekonomi umat", dalam A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: pustaka pesantren, 2005) hlm.207