Oleh Arina Ulfatul Jannah*


Pendahuluan

Ketika melihat akar sejarahnya, sebelum datangnya Islam dunia telah lebih mengenal dua peradaban besar bernama Yunani dan Romawi serta dua agama besar bernama Yahudi dan Nasrani. Dalam tradisi masyarakat Yunani yang terkenal tinggi filsafatnya, hak dan kewajiban wanita tidak menjadi masalah topik pembahasan. Nasib wanita dari kalangan elite Yahudi di belenggu dalam istana dan wanita dari kelas bawah kondisinya sangat tragis, mereka bebas diperdagangkan di pasar adapun wanita yang telah berumah tangga berada secara penuh di bawah kekuasaan suaminya. Wanita tidak diberi hak sipil maupun hak waris (unregistered) kecuali ketika mereka tidak memiliki saudara laki-laki kandung bahkan pada puncak peradaban Yunani wanita dijadikan objek untuk melayani, memenuhi kebutuhan dan kemewahan kaum lelaki sebagai ‘pelacur’. Sisa peninggalan dari kisah ini bisa dilihat dengan banyaknya simbol patung yang telanjang dan mitologi yang berkembang bahwa dewi yang melakukan hubungan gelap dengan rakyat kelas bawah sehingga lahirlah dewa cinta dalam peradaban Yunani.

Hampir sama dengan peradaban Yunani, di dalam peradaban Romawi dikatakan bahwa posisi wanita berada dalam kendali ayahnya dan akan berpindah pada suami jika mereka telah dinikahkan dan lebih digambarkan dari sekedar pembantu (khadim). Kekuasaan mereka diaktualisasikan dengan cara leluasa menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh mereka serta jauh dari kata mengayomi. Ini berlangsung sampai abad ke 6 masehi. Lebih jauh lagi, pada peradaban Hindu dan Cina wanita bahkan harus rela mengakhiri semua haknya ketika suaminya telah meninggal serta rela dibakar secara hidup mendampingi mayat suaminya. Kejadian ini baru berakhir pada abad ke 17 masehi. Wanita dalam Hindu juga menjadi sesajen sebagai persembahan Tuhan mereka sedangkan pada masyarakat Arab pra Islam melahirkan anak wanita dianggap aib dan tega mengubur secara hidup anak wanita mereka.

Sepanjang pertengahan abad nasib wanita memang memprihatinkan bahkan sampai tahun 1805 di perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya. ‘Kisah lucu terjadi pada 1931 ketika didapati suami yang menjual istrinya seharga 500 dollar dan ketika masuk pengadilan dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah dicabut sejak 1805’. Ketika revolusi perancis bergulir di penghujung abad ke 12, sedikit membuka lembaran baru bagi nasib wanita walaupun masih dalam kategori sama dengan status anak di bawah umur dan orang gila yang tidak memiliki hak sipil penuh dan akhirnya ada angin segar pada 1938 ketika hak sipil wanita diakui walaupun masih ada pembatasan keharusan ijin atau persetujuan dari wali atau suami.

Sejak agama Islam datang, wanita memiliki hak luas baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya untuk menjamin martabat kemanusiannya dan melindungi derajat kesopanannya sebagai bentuk keadilan. Pada abad ke 21 ketika peradaban modern masuk, wanita memiliki andil kewajiban fungsional untuk memprioritaskan bentuk aktivitas penting dalam kehidupannya. [1]

Anjuran berhijab dalam pergaulan wanita hasanah

Di era ini, kualitas keberagaman dalam bentuk iman dan takwa mewujud pemupukan kesadaran beragama dan peningkatan pengalaman beragama sebagai cara meningkatkan kualitas manusia dalam hidupnya. Pemeluk agama khususnya Islam memiliki hak sejarah sekian abad lamanya sehingga agama telah membudaya dan menjadi hukum yang menata kehidupan dan pergaulan. Wanita pada dasarnya memiliki daya tarik (sex appeal) tersendiri terutama dalam pergaulan antar manusia. Di luar rumah, wanita memungkinkan banyaknya aktivitas untuk berinteraksi dan bergaul dengan orang lain maka wanita diperingatkan untuk tidak berdandan berlebihan sebagaimana kaum pra Islam serta tidak boleh bertutur kata yang kiranya membuka peluang bagi laki-laki yang tidak sehat batinnya jika ingin menjadi benar-benar wanita hasanah (baik).

Menurut kiai Ali Yafie, petunjuk berpakaian bagi manusia (hudan lin nas) mewujudkan hidup rahmatan lil alamin berupa keselamatan, kesehatan, kewarasan, ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kemajuan mencapai hasanah dan maslahah. Budaya berpakaian merupakan ciri istimewa dari budaya manusia sebagai makhluk yang terhormat. Bahwa unsur pakaian ditujukan senyatanya untuk memenuhi unsur etis (moral) dalam kehidupan bermasyarakat dan unsur estetis (keindahan) dalam kehidupannya sendiri. Budaya berpakaian dalam rangka menutup aurat, secara ubudiyyah sebagai syarat sah ibadah salat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu aurat berat (mughaladhah) seperti kemaluan depan dan belakang serta hanya boleh terbuka ketika dalam situasi darurat. Kedua, aurat secara umum (mukhafafah) jika laki-laki terlatak pada pusar sampai lutut dan jika perempuan seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.[2]

Jilbab atau hijab merupakan model pakaian yang sudah lazim digunakan secara umum pada masa pra Islam namun pemakaiannya belum secara sempurna. Menurut seorang antropolog bernama Louis H. Epstein (1967),  hijab menjadi pakaian penutup kepala setelah menjadi sorotan pada masa Adam dan Hawa turun ke bumi pertama kalinya sehingga kemudian menempatkan hijab sebagai persoalan paling tua dari umur umat manusia. Ketika Adam dan Hawa masih di surga, mereka menyadari akibat kehadiran setan yang membisikkan kejahatan untuk melanggar peringatan Tuhan, aurat atau aib mereka terbuka dan mereka berusaha menutupinya dengan beberapa lapis helai daun di surga hingga menutupi aurat mereka sebelum akhirnya mereka mendapat hukuman akibat kesalahan untuk menjalani kehidupan sementara atau mortal di bumi.[3] Peristiwa ini menandakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki naluri fitrah untuk menutupi aurat atau aib mereka dengan hijab.[4]

Menariknya, hijab awalnya juga bukan persoalan perintah ajaran agama Samawi[5] yang dituangkan dalam kitab suci, namun kemunculannya diperkenalkan pertama kali oleh perempuan dari New Guinea, Brintish, Columbia, Asia, Afrika Tengah, Amerika Tengah, keluarga Ratu di kepulauan Charlotte pada masa menstruasi atau menstrual taboo guna menutupi pancaran mata terhadap sinar matahari dan rembulan yang ada di pondok pengasingan (menstrual hut) serta di percaya untuk mencegah pandangan mata iblis (the evil eyes). [6] Menurut pendapat Hoodfar ketika menyoroti sejarah hijab berbentuk cadar awal kemunculannya bukan didasari oleh fenomena al-Quran akan tetapi sudah ada pada dinasti Savawiyah (1501-1722) di Iran serta kerajaan Ottoman (1357-1924) sebagai simbol status para kelas penguasa muslim pada waktu itu. Cadar menjadi meluas di abad 19, ketika para kolonialis menyatakan bahwa cadar adalah identitas atau simbol masyarakat muslim. Hal ini menjadi kontroversi ketika cadar bukan hanya digunakan oleh para perempuan muslim pada umumnya saja akan tetapi juga digunakan oleh para penghuni harem.[7] Penggunaan cadar juga merupakan fenomena urban. Mengingat bahwa para perempuan etnis minoritas seperti Kurdi serta perempuan Iran Utara tidak mengenakan cadar pada saat itu.[8]

Hijab juga dianggap sebagai simbol kondisi kemewahan, menandakan martabat, keagungan, harga diri dan status bagi perempuan bangsawan Yahudi. Sampai pada abad ke 19, ketika budaya sekuler[9] masuk, para perempuan Yahudi Eropa yang masih saleh tetap mengenakan hijab namun hanya ketika mereka hendak pergi ke Sinagog[10] bahkan ada yang hanya menutup kepalanya supaya tidak terlihat rambutnya dengan wig. Selanjutnya, dalam tradisi umat Nasrani, hijab merupakan penyesuaian praktek para Nabi terdahulu serta gambaran dari cara ketaatan Bunda Maria terhadap Tuhan. Umat Nasrani[11] selalu memakai pakaian longgar serta berhijab sebagai tanda ketaatan kepada Tuhan dan jika tidak maka dianggap menghina kepalanya dan wajib menggunting rambutnya.[12] Saat ini memang hijab bagi umat nasrani secara umum hanya diperuntukkan bagi para suster biarawati sesuai dengan konggregasi atau ordonya.[13] Hijab menurut ajaran Hindu di pandang sebagai adat kebiasaan serta kesopanan orang Hindu dalam keadaan sehari-hari. Hal ini terinpirasi dari kisah Brahma yang memerintahkan sesorang ketika bertemu dengan lawan jenis dengan cara menundukkan pandangan, menyembunyikan pergelangan tangan dan tidak boleh memperlihatkan perhiasan yang ada di pergelangan tangan[14] Hijab menurut ajaran Buddha dipahami sebagai pelindung untuk menutupi wajah serta kesopanan. Hal ini terbukti dengan banyaknya perempuan Buddha India yang menutup kepalanya dengan kain sari ketika bertemu dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Hijab kaum Buddha di India di kenal sebagai purdah sejak Islam masuk ke India pada abad ke 13.[15]

Tokoh Islam fundamentalis[16] seperti Yūsuf al-Qaradhāwī memahami hijab sebagai hal yang dapat membedakan antara muslimah dan non muslimah serta yang tidak multazimah (konsisten) dalam berpegang teguh kepada Tuhan. Pemakaian hijab dikatakannya sebagai indikasi bahwa muslimah benar-benar mengikuti syariat Islam. Namun, Yūsuf al-Qaradhāwī juga seorang ulama yang memiliki sikap moderat[17] serta mampu mengaktualisasikan akhlak di dalam teks agama (al-Quran) sebagai adab atau etika dalam pergaulan sosial ditegaskan dengan pernyataanya bahwa pemakaian hijab adalah anjuran dan tidak memaksa karena di anggap sebagai kewajiban furu’iyah (cabang agama) dan bukan ushuliyah (pokok agama). Terlebih jika hijab dikenakan bagi para muallaf karena dikhawatirkan jika di paksa maka akan dapat membuatnya jauh dari agama yang baru saja dipeluknya.[18] Hijab dalam lensa pandang Yūsuf al-Qaradhāwī juga dipertegas melalui Ilmu fiqh yang didalamnya memberikan pengetahuan bahwa setiap individu perlu bersikap bijak dalam berbagai masalah termasuk dalam anjuran penggunaan hijab. Bersikap bijak berarti telah meminimalisir terjadinya kemungkaran. Pemikiran Yūsuf al-Qaradhāwī juga diarahkan pada model substansialistik[19] dengan pernyataan bahwa hijab akan mampu di terima jika melalui proses dan usaha bertahap dengan tanpa kekerasan karena dalam hal ini kemantapan keimanan yang menentukan seseorang dapat menerimanya serta sebagai hak kebebasan beragama sekaligus hak kebebasan individu untuk menentukan pilihannya yang tidak bisa di gugat sebagaimana yang tertera dalam undang-undang modern, ketetapan negara bahkan HAM (Hak Asasi Manusia).[20] Kemudian, pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang hijab juga menunjuk ke arah moderat dan meneguhkan etika di dalam pergaulan sosial dengan menyatakan bahwa tuntunan berhijab berawal dari sebab menghindari timbulnya penghinaan bahkan pelecehan yang bertujuan untuk menjaga kehormatan wanita.[21] Muhammad Quraish Shihab lebih berhati-hati dalam menyikapinya sebagaimana bunyi teks ayat 59 surah al-Ahzab dan ayat 30-31 surah an-Nur. Jika pakaian lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri bahkan tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya demikian juga pakaian batin serta apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia sebagai hamba Tuhan. Dalam hal ini Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa Tuhan yang paling mengetahui ukuran dan pelindung yang terbaik bagi manusia.[22]

Pada dasarnya ini menjadi tawaran busana perempuan yang beriman serta hasanah yang tidak terikat dengan bentuk atau mode, jenis atau bahan serta warna saja dari di zaman awal tapi berkembang dalam batas fungsi, etika dan estetika yang dibenarkan dalam hukum Islam dan memungkinkan untuk berubah sesuai konteks zamannya dan terlepas dari itu semua bahwa yang menjadi dasar tetap libasuttaqwa.[23]

Remaja

Remaja merupakan anak yang sedang pada fase tumbuh mekar dalam lingkungan sosial sekitar maupun keluarganya sebagai pelipur hati, perekat cinta dan tumpuan harapan mereka. Ironisnya, di lingkungan pedesaan atau di lingkungan ekonomi lemah perkotaan para remaja dini sudah difungsikan sebagai tenaga kerja untuk membantu bercocok tanam, atau bekerja dipabrik atau mengambil bagian dari kaki lima. Ini menjadi titik balik pada definisi remaja dalam konteks berbangsa dna bernegara yang dipersiapkan untuk menjadi generasi muda penerus perjuangan dan kader hari depan bangsa yang menempati posisi strategis dalam kehidupan dan mewarisi ragam nilai luhur yang di junjung tinggi oleh negara. Di masa depan mereka disiapkan menjadi generasi muda yang sehat, tangguh, percaya diri, tanggung jawab, disiplin dan bertaqwa pada Tuhan. mereka memiliki integritas keilmuan yang tinggi, memiliki pandangan yang rasional terpadu pada kesadaran dan moralitas yang tinggi, kepribadian yang kuat, idealisme yang tebal, dan semangat patriotisme yang tinggi.

Usia ideal nikah bagi remaja

Awalnya, belum ada larangan pernikahan dini. Pada zaman ulama syafi’iyyah mensyaratkan bagi remaja laki-laki yang ingin menikah dini semata bertujuan mengandung kemaslahatan, dan bagi perempuannya tidak terdapat perselisihan dengan wali (ayah, kakek) maupun calon suami, adapun calon suami harus kufu’ (sesuai dan setara), serta mampu memberi mas kawin yang pantas.[24] Ketika bicara pernikahan maka dikaitkan dengan istilah Ijbar yang dimaknai sebagai tindakan untuk melakukan perkara atas dasar tanggung jawab dan biasanya di bebankan oleh wali perempuan adapun wali mujbir sendiri dipahami sebagai orang yang memiliki kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak perempuannya sah secara hukum.[25] Pernikahan menjadi tawaran cara reproduksi yang sehat.[26]

Mu’asyarah bi al-ma’ruf merupakan bentuk pergaulan, pertemanan, perasahabatan, kekeluargaan, kekerabatan yang dibangun secara baik sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakat namun tidak bertentangan dengan norma agama, akal sehat dan fitrah manusia.[27] Setelah pengkajian fiqh berlangsung dalam kerangka membangun keluarga bahagia, maka pernikahan dini dianggap merugikan adapun pernikahan lain yang senada adalah nikah mut’ah (nikah kontrak), nikah sirri (dilakukan ada atau tanpa wali namun tidak dicatat di KUA) dan poligami.[28] Rasulullah sendiri menikah setelah mencapai usia 25 tahun. Menurut kiai Ali Yafie, Agama Islam mengisyaratkan nikah sebagai satu-satunya bentuk hidup berpasangan yang dibenarkan dan kemudian dianjurkan untuk membentuk keluarga. Wanita dalam posisi ini di tempatkan pada kedudukan/martabat yang terhormat (muhtaram). Menghayati arti keluarga dalam kehidupan yang beradab dan berbudaya. Semua agama dan semua kepercayaan menjadi sumber terciptanya norma hukum dan nilai etika yang mengatur pergaulan dalam hidup manusia khususnya ketika dibenturkan dengan konteks keluarga sehingga menjadi ideal.



Menuju keluarga maslahah

Istilah keluarga sendiri berasal dari kata ahl atau usrah. Dalam bahasa Kiai Sahal keluarga dipahami sebagai kesatuan masyarakat terkecil dari masyarakat yang dibentuk dalam wujud pernikaha berdasarkan hukum yang berlaku. Menurut Morgan (1977) dan Sitorus (1988) yang dikutip Yusnadi dan Muntoha, keluarga merupakan kelompok sosial primer yang didasarkan pada ikatan pernikahan dan ikatan kekerabatan secara dinamis. Keluarga merupakan tempat interaksi sosial pertama dan sosialisasi utama pada anak.[29] Ada dua landasan pokok dalam pembentukan keluarga yakni landasan ma’nawiyah artinya wujud dan bangunan keluarga itu sendiri adapun landasan maddiyah merupakan sasaran yang ditujukan dalam pembentukan keluarga berwujud suasana dan iklim yang membangun ketenangan, ketentraman lahir batin sebagaimana perwujudan stabilitas rumah tangga.

Kemaslahatan keluarga terletak pada kepemilikan kebutuhan dalam rangka menegakkan hidup dan mencapai kesempurnaan hidup. Kebutuhan pertama yang menjadi dasar adalah keselamatan dirinya terdiri dari jiwa raga dan kehormatannya, keselamatan akal pikirannya, keselamatan harta bendanya, keselamatan keturunannya dan keselamatan agamanya atau lebih dikenal dengan al-kulliyat al-khams. Pencapaian pembentukan keluarga melalui nikah mendukung terciptanya iklim cinta kasih yang tumbuh berkembang diantara unsur-unsur atau anggota keluarga sebagaimana surah ar-Rum: 21. Menurut kiai Ali Yafie, dengan ada dan bertumbuhnya keluarga akan membantu menuju tercapainya sasaran kemerataan pembangunan nasional berdasarkan pancasila serta tetap dalam rangka mengabdikan diri pada sang maha pengasih untuk mencapai rida darinya.[30]

Keluarga maslahah sebagai mitsaqan ghalidza menyebutkan terlebih dahulu bahwa hukum menikah adalah mubah artinya bahwa pilihan menikah sebagai hak atau pilihan individu yang menjalaninya.[31] Dalam istimbath hukum yang dikenal dalam ushul fiqh adalah

الحكم يدور مع علته و جودا وعد ما

hukum berjalan bersama illatnya ada atau tidak...’

Ideal cita pernikahan sebagaimana surah (ar-Rum:21) bahwa pernikahan melahirkan jalinan ketentraman, rasa kasih sayang sebagai ketenangan yang dibutuhkan oleh pasangan. Ideal cita pernikahan terwujud melalui terciptanya sakinah yakni hadirnya kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang penuh ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan.[32] Mawaddah berarti kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. M. Quraish shihab mengistilahkan dengan cinta plus [33] serta Rahmah berarti kodisi psikologis yang menghasilkan kesabaran, kemurahan hati, tidak adanya kecemburuan total dan seterusnya (Quraish Shihab).[34] Prinsip membangun keluarga maslahah mencakup aspek, ad-dakhili (ke dalam) melalui hubungan yang bermitra (saling bekerjasama), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan, mahabbah (kecintaan), al-adalah (keadilan), al-ma’ruf (mempergauli dengan baik). Adapun al-khariji (keluar) seperti al-karahat al-insaniyyah (pemuliaan manusia), memilih pasangan sesuai hati nurani, bermitra, dan tidak adanya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).[35] Selanjutnya, faktor dasar kesatuan keluarga menurut kiai Sahal terdiri dari الو فاء  (penepati hak dan kewajiban), الودّ (rasa cinta dari semua pihak), الامنة (dipercaya dan mempercayai), الرحمة (kasih sayang di semua pihak berupa perbuatan yang baik dalam niat, ucapan dan sikap), الصلة (saling berhubungan untuk mempererat tali kekeluargaan melalui musyawarah)

Dalam keluarga maslahah, suami istri memiliki tanggung jawab utama kepada Tuhan, serta keluarga guna memenuhi nafkah, bagi wanita adalah mengandung dan menyusui, kepada dirinya sendiri, profesi bahkan sampai pada masyarakat.[36] Rasa kebersamaan dalam keluarga maslahah yakni memiliki kedewasaan dan kearifan, sehat akalnya, sehat batinnya, saling menghormati hak, kerjasama (at-ta’awwun), setia, menjaga kehormatan keluarga, menjadi teladan, memenuhi kebutuhan biologis, bertingkah laku yang ma’ruf, memberi rizki yang halal lagi baik, saling menasehati yang baik, memperbaiki kualitas keluarga bersama, membimbing keluarga mengamalkan agama dan akhlak, tidak membuka aib dan rahasia keluarga, tidak saling menyakiti, berkepala dingin dalam menyelesaikan masalah, mendidik anak dan bertetangga yang baik.[37] Selanjutnya norma hubungan dan pergaulan suami istri dalam pandangan kia sahal yakni dengan prinsip التو قير (saling menghormati dan menghargai), الرحمة (saling mengasihi dan menyayangi), kemudian norma hubungan antar tetangga diwujudkan melalui التعارف (saling mengenal dan saling mengerti), التسامح (toleransi) dan وتعاونوا على البرّوالتقوى (tolong menolong/bantu membantu/gotong royong), مناصحة (saling memberi nasehat), مشاورة (saling bermusyawarah), مصالحة (saling berdamai), dengan sistem الحكمة (kebijaksanan yang tepat), الموعظة الحسنة (pendekatan dan tutur kata yang baik), المجادلة با لاءحسن (musyawarah/diskusi) dengan argumentasi sehat serta keterbukaan yang jujur.[38]

Menimba spirit keluarga nabi bahwa pasangan yang menikah seyogianya sama-sama rida, nabi seringkali membuat senang istrinya dengan memberi humor yang cair, nabi mencontohkan pekerjaan domestik, mendidik laki-laki agar tidak boleh memukul atau mencela istrinya, serta membolehkan istrinya bekerja di luar rumah.[39]

Pengasuhan anak dalam ajaran Islam

Pendidikan agama dilakukan pada anak sedini mungkin untuk bekal ukhrawi, penjagaan (wiqayah) dan pengurusan (ri’ayah) terhadap anak luas jangkauannya. Pada pelaksanaan keluarga,  anak menjadi prioritas (minbabi aula). Kiai Ali Yafie mengajak ini semua untuk mempersiapkan secara dini kepada masyarakat sebagai calon orang tua dalam konsepsi ri’ayah al thufulah. Garis besar ri’ayah meliputi kedudukan dan hak anak dalam ajaran Islam, pemeliharaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan, gizi makanan dan pengaruhnya terhadap kondisi fisik sehingga tidak mengalami malnutrisi, pendidikan anak secara Islam, serta kebersihan diri dan lingkungan sebagai basis maslahah dharuriyyah. Nilai ri’ayah dalam fiqh dijabarkan dalam norma radha’ah, hadharah, kafalah, wilayah, nafaqatul aqarib sebagai wujud nyata dari tanggungjawab (mas’uliyyah) terhadap anak sehingga secara ideal anak menjadi waladun shalih.[40]

Kita butuh mempersiapkan anak muda yang sehat, cerdas, bertakwa kepada Tuhan, berbakti kepada agama dan berkhitmad pada masyarakatnya (rijal al-mustaqbal) dalam kerangka pembangunan bangsa. Mengenalkan pendidikan seks (sex identity) melalui anatomi bentuk tubuh dirasa penting agar dikemudian hari anak tidak terjadi penyimpangan kepribadian.[41] Menjaga spirit kesehatan kejiwaan anak agar para orang tua tidak terjebak dengan hubungan terbatas pada pedagogis (tarbawiyah) bisa melalui model segitiga emas (mind, body and soul). Unsur pikiran (mind) terdiri dari nalar (intelectual quotient), unsur badan (body) mewujud emosi (emosionan quotient), dan unsur jiwa/ruh (soul) berbentuk spiritualitas (spiritual quotient) yang semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan (holistik) untuk mengendalikan energi negatif dalam diri anak.[42]

Carlos G.Valles dalam I love you, I hate you, the double edged nature of human relationship, menyatakan bahwa hati merupakan letak muara teka-teki yang misterius. Oleh sebabnya, orang tua yang mampu menjaga hatinya untuk hati anaknya, mengendalikan luapan emosinya, ia akan dapat melewati hal yang bahkan secara logika tidak dapat terlewati (di luar batas nalar manusia itu sendiri).[43] Tidak diperkenankan membangun ‘anak menjadi manusia dewasa sebelum waktunya sehingga bisa saja mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang kekanakan. Ada saatnya ketika mereka bermain dan ada saatnya pula ketika mereka fokus untuk belajar’.[44]

Penerapan nilai akhlak mulia mencapai keluarga maslahah.[45]

Akhlak merupakan sifat terpuji, budi pekerti luhur, dan berbentuk elok perangai. Hubungan akhlak dengan iman menumbuhkan kesadaran batin dalam bentuk kondisi kejiwaan yang mawas diri dan mendorong keadaan mulia serta menghindari hina. Peranan akhlak membentuk manusia yang baik (insan shalih) menuju masyarakat yang baik (mujtama’ shalih) sehingga akan tercapai jaminan ‘ishmah atas kebutuhan asasi berupa (al-kulliyah al-khams), jaminan kecukupan (kifayah) dari standar sejahtera, jaminan ketenteraman (tuma’ninah) dalam menunaikan taklif ibadah dan muamalahnya.

Pola amaliyah syar’iyah ditampilkan dalam nilai dasar akhlak adalah Al-haq (kebenaran) meliputi akidah kepercayaan yang sah dan benar, ilmu yang bermanfaat, amal saleh/perbuatan baik, dan budi pekerti. Al-rahman (kasih sayang) kebutuhan paling dasar dan asasi bagi kehidupan manusia. Pengembangan kasih sayang tidak semata untuk manusia saja namun seluruh makhluk Tuhan lainnya. Al-adl (tegaknya keadilan) dalam tata kehidupan manusia. Al-ihsan mengandung pengertian ijadah al-‘amal (berbuat atau berlaku dengan teliti dan sebaik-baiknya sehingga perbuatannya dapat berkualitas). Secara luas al-ihsan dipakai untuk kata kebaikan dan puncaknya mengandung arti al-ikhlas (berbuat tanpa pamrih baik niat, perkataan dan perbuatan). Terakhir, puncak pedoman pokok dalam akhlak berupa al-i’tidal (keseimbangan) untuk dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah dan ruhaniah, menjamin maslahat baik dalam lingkup keluarga serta maslahat bagi orang lain.



Daftar Pustaka

Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, 1995.

Aulia, Revolusi Pembuat Anak Candu Membaca, Yogyakarta: Flashbooks,  2012.

Muchtaromah, Bayyinatul, Pendidikan Reproduksi Bagi Anak Menuju Aqil Baligh, Malang: UIN Malang Press, 2008.

Nafis, Cholil, Fikih Keluarga (Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddag, Warahmah, Keluarga Sehat, Sejahtera, Dan Berkualitas), Jakarta: Mitra Abadi Press, 2009.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia  Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Guindi, Fadwa El, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, Diterjemahkan Dari Bukunya Yang Berjudul  Veil: Modesty, Privacy, And Resistance (Terbitan Berg, Oxford 1990) Diterjemahkan Oleh Mujiburohman, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPi, 2005 .

Moghissi, Haideh, feminisme dan fundementalisme Islam, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta kerjasama dengan ICIP (International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta), 2005.

Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender), Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2012.

Khamimuddin, Fiqh Kesehatan (Inspirasi Meraih Hidup Sehat Secara Kaffah), Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013.

Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Mishbah, (Tengerang: Penerbit Lentera Hati, 2008.

­­______________, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2007.

Mansoor al-Jamri (ed.), Islamisme, Pluralisme dan civil society: laporan seminar The Internasioanal Forum For Islamic Dialogue (IFID) bekerjasama dengan The Project On Democracy In The Muslim World (PDMW), Centre For The Studi Of Democracy, University Of Lancaster (London, 23 April 1999). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.

Beranti, Muslimah, Media Dakwah Dan Tarbiyah Islamiyah: Jilbab dan Cadar menurut Ajaran Yahudi, http://www.muslimahbaranti.com/2013/03/jilbab cadar-menurut-ajaran-Yahudi.html, diakses pada 2 oktober 2014 pukul 9.52.06 WIB. Keterangan diambil dari Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen", Sherif Abdel Azeem, Yogyakarta: Gama Media, 2001..

Harini, Sri, Jilbab dan Kiprah Perempuan dalam Sektor Publik, Jurnal PMI Media Pemikiran dan Pengembangan Masyarakat, Vol. VI No. I, September 2008, Yogyakarta.

Sumbulah, Umi, Konfigurasi Fundemantalisme Islam, (Malang: UIN Malang Press anggota IKAPI, 2009).

Wawancara dengan Ir.Mu.Djoko Setianto ketua wilayah Gereja Katolik Santa Theresia Tayu dan M. Sarno guru Pendidikan Agama Katolik pada 17 April 2016 pukul 10.00-10.30 WIB.

Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah, Yogyakarta: Pusat Studi Islam PSI UII, 2013.

Qaradhawi, Yusuf Al-, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, Jakarta: Gema Insani, Cet. 1/1421 H-2001 M..

Qodir, Zuli, Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

* Peneliti magang di PUSAT FISI IPMAFA

[1] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, cetakan III, November 1995). Hlm 262-267. Wanita memang memiliki peran ganda yang awalnya mendapat subordinasi serta dianggap makhluk lemah (inferity complex) namun kenyataannya wanita dalam kancahnya memiliki peran baik sebagai pendamping, teman musyawarah/patner, spirit suami dalam mengembangankan usahanya serta tidak sekedar melayani kebutuhan biologis semata dan secara kodrati wanita memiliki hak baik dalam ranah sosial, kewenangan ekonomi, kewajiban spiritualitas. Diambil dari kumpulan makalah kyai sahal tulisan Nafisah Sahal, Kajen, 26 Juni 1989.

[2] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah..., hlm 249-250.

[3] Fadwa El Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, Diterjemahkan Dari Bukunya Yang Berjudul  Veil: Modesty, Privacy, And Resistance (Terbitan Berg, Oxford 1990) Diterjemahkan Oleh Mujiburohman, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPi, cetakan III, Ramadhan 1426 H/Oktober 2005 M). Hlm 136.

[4] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, Edisi Baru Cetakan II, Dzulhijjah 1428 H/ Desember 2007). Hlm 205-208.

[5] Agama samawi merupakan agama dari langit yang dibawa oleh nabi Ibrahim AS atau disebut sebagai Abraham religion. Sedangkan agama bumi akrab disebut sebagai wisdom religion.

[6] Sri Harini, Jilbab dan Kiprah Perempuan dalam Sektor Publik, Jurnal PMI Media Pemikiran dan Pengembangan Masyarakat, Vol. VI No. I, September 2008, Yogyakarta. Hlm 24.

[7]Harem dipahami sebagai tempat para laki-laki muslim memenjarakan istrinya dan menyuruh istrinya untuk berhias diri dan melayani nafsu seksualnya.

[8]Haideh Moghissi, Feminisme dan Fudametalisme Islam, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, Cetakan1, Januari 2005). Hlm 116-117.

[9]  Sekuler berasal dari bahasa Latin yakni sekular yang berarti duniawi. Sekuler ketika menjadi displin ilmu pengetahuan berubah kata menjadi sekulerisme yang sederhananya dipahami sebagai ideologi yang menyatakan dirinya bersifat universal dan menganggap bahwa pemisahan antara agama, politik dan negara memang patut dijalankan dan sangat dikehendaki. Budaya sekuler masuk pada pertengahan kedua abad 19 selama fase Jacobian, revolusi Perancis. Doktrin ini memiliki dampak besar terhadap lembaga, aturan hukum bahkan aturan moral yang ada. Diambil dari catatan Prof. Jhon Keane dengan judul Sekularisme dalam buku Mansoor al-Jamri (ed.), Islamisme, Pluralisme dan civil society: laporan seminar The Internasioanal Forum For Islamic Dialogue (IFID) bekerjasama dengan The Project On Democracy In The Muslim World (PDMW), Centre For The Studi Of Democracy, University Of Lancaster (London, 23 April 1999). (Yogyakarta: Tiara Wacana) Cetakan Pertama, Mei 2007. Hlm 38-40.

[10]Sinagog dipahami sebagai gereja Yahudi menurut keterangan dalam S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239. Muslimah Beranti, Media Dakwah Dan Tarbiyah Islamiyah: Jilbab dan Cadar menurut Ajaran Yahudi,http://www.muslimahbaranti.com/2013/03/jilbabcadar-menurut-ajaran Yahudi.html, Diakses Pada 2 Oktober 2014 pukul 9.52.06 WIB.

[11] Umat Nasrani dipahami sebagai umat beragama Kristen dan Katolik. Awal mulanya adalah Katolik namun kemudian pemuka Katolik yang bernama Martin Lutter protes tentang surat pengampunan dosa atau disebut Sakramen Tobat. Surat pengakuan tobat ini dikasih dari seorang Pastur yang di anggap sebagai wakil Tuhan agar dosanya diampuni. Wawancara dengan Ir.Mu.Djoko Setianto ketua wilayah Gereja Katolik Santa Theresia Tayu dan M. Sarno guru Pendidikan Agama Katolik pada 17 April 2016 pukul 10.00-10.30 WIB.

[12]Muslimah Beranti Media Dakwah Dan Tarbiyah Islamiyah: Jilbab dan Cadar menurut Ajaran Yahudi, http://www.muslimahbaranti.com/2013/03/jilbab cadar-menurut-ajaran-Yahudi.html, diakses pada 2 oktober 2014 pukul 9.52.06 WIB. Keterangan diambil dari Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen", Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), cetakan. Ke-2, hlm.76.

[13] Wawancara dengan Ir.Mu.Djoko Setianto ketua wilayah gereja katolik Santa Theresia Tayu dan M. Sarno guru Pendidikan Agama Katolik pada 17 April 2016 pukul 10.00-10.30 WIB.

[14]Diambil dari  Rigveda Book 8 Hymn 33 Verses 19 dalam Muslimah Beranti, Media Dakwah dan Tarbiyah Islamiyah:Jilbab Cadar Menurut Ajaran Yahudi,

Http://www.Muslimahbaranti.Com/2013/03/Jilbabcadar-Menurut-Ajaran Yahudi.Html, Diakses Pada 2 Oktober 2014 Pukul 9.52.06 WIB.

[15]Muslimah Beranti, Media Dakwah dan Tarbiyah Islamiyah: Jilbab Cadar Menurut Ajaran Yahudi, Http://www.Muslimahbaranti.Com/2013/03/Jilbab cadar-Menurut-Ajaran Yahudi.Html, Diakses Pada 2 Oktober 2014 Pukul 9.52.06 WIB.

[16] Kelompok fundamentalis merupakan gerakan kelompok Islam aliran Wahhabi di Arab termasuk gerakan kelompok al-Ikhwān al-Muslimūn yang didirikan Hasan al-Banna yang Menolak tradisi Barat. Perlawanan dilakukan melalui jalan pendidikan dan bukan kekuatan. fundamentalisme merupakan penyikapan terhadap masa, menawarkan keadaan awal, masa lalu yang ideal, atau masa keemasan yang berlainan dengan masa kini dan dapat merujuk kembali pada teks awal atau dengan reformasi masyarakat sesuai dengan model awal yang di pandang untuk diikuti dari masa lalu yang ideal untuk memperkuat nilai norma tradisional. Memiliki misi suci untuk menata kembali kebudayaan. Mereka tidak hanya melihat dari teks al-Quran sebagai prinsip etika atau moralnya tapi berusaha menemukan petunjuk bagi masa depan dunia dalam berbagai aspek. Baik sosial, budaya, ekonomi di bawah kehendak Tuhan seperti yang ditetapkan dalam kitab suci agama. Kelompok fundamentalis anti modernitas, demokrasi, dan feminisme. Walaupun menentang modernitas tapi tidak menjalankan situasi kehidupan yang anti modern. Gerakan fundementalisme berkomitmen untuk menghidupkan kembali doktrin dan ajaran seputar status perempuan. Menggali teks Islam abad pertengahan yang mengajarkan aturan moral atau membuat aturan tingkah laku yang dibutuhkan. Misalnya  unsur aturan tentang pakaian. Haideh Moghissi, feminisme dan fundementalisme Islam, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta kerjasama dengan ICIP (International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta), cetakan I, Januari 2005). Hlm 92-104. Kelompok fundementalisme berupaya menampilkan Islam yang ramah, berorientasi pada penegakan dan pengalaman Islam yang murni, otentik sebagaimana dilakukan Rasulullah bersama sahabatnya sehingga terkesan eksklusif, memiliki keyakinan kuat bahwa penegakan agama Allah dilakukan dengan cara damai yang berkeadilan. Menempuh pola perjuangan kultural dengan membangun dan mendakwahkan akidah dan akhlak Islam yang disandarkan pada tekstualitas al-Quran dan Hadits. Di ambil dari buku  Umi Sumbulah, Konfigurasi Fundemantalisme Islam, (Malang: UIN Malang Press anggota IKAPI, Cetakan I, Oktober 2009). Hlm 33-37.

[17] Moderat dipahami sebagai sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Diambil dari Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia  Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama Edisi IV, 2008). Hlm 924.

[18]Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, Cet. 1/1421 H-2001 M). Hlm 755-757.

[19] Pemikiran substansialistik lebih mengajukan pada pentingnya aksentuasi substansi iman atau peribadatan dan bukan sifat simbolistik dan ketaatan literal pada teks wahyu Tuhan dalam keberagaman. Diambil dari buku Zuli Qodir, Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan Ke Dua, Edisi Revisi, Oktober 2007). Hlm 58-67.

[20]Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3.. hlm 755-757

[21]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Tengerang: Penerbit Lentera Hati, Cet IX, Muharram 1429/Januari 2008) Hlm.319-321.

[22]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah... hlm 325-334.

[23] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah..., hlm 251-253.

[24] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender), (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta) Cetakan VI, April 2012. Hlm 93-94.

[25] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender)..., hlm 106-107

[26] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender)..., hlm 132

[27] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender)..., hlm 146

[28] Cholil Nafis, Fikih Keluarga (Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddag, Warahmah, Keluarga Sehat, Sejahtera, Dan Berkualitas), (Jakarta: Mitra Abadi Press, Cetakan 2, Agustus 2009) hlm 25-44.

[29] Bayyinatul Muchtaromah, Pendidikan Reproduksi Bagi Anak Menuju Aqil Baligh, (Malang: UIN Malang Press, Cetakan I, 2008) hlm 290-291.

[30] Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah..., 257-261

[31] Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah, (Yogyakarta: Pusat Studi Islam PSI UII, Cetakan I, Oktober 2013). Hlm 5.

[32]Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah..., hlm 14.

[33] Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah..., hlm 16

[34] Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah..., hlm 17

[35] Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah..., hlm 22-27

[36] Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah..., hlm 39-53

[37] Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah..., hlm 55-91

[38] Kumpulan makalah kyai Sahal, Kajen I Desember 1982. Makalah disampaikan pada saat seminar penyuluhan draft buku penerangan KKB lewat nasihat perkawinan di Cibogo-Bogor, 5-8 Desember 1982.

[39] Yusnadi dan Muntoha, Keluarga Maslahah..., hlm 94-97

[40] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah..., Hlm 268-275.

[41] Cholil Nafis, Fikih Keluarga (Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddag, Warahmah, Keluarga Sehat, Sejahtera, Dan Berkualitas)..., hlm 270-274.

[42] Khamimuddin, Fiqh Kesehatan (Inspirasi Meraih Hidup Sehat Secara Kaffah), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, Cetakan I, 2013) Hlm 19.

[43] Khamimuddin, Fiqh Kesehatan (Inspirasi Meraih Hidup Sehat Secara Kaffah)..., hlm 26-27.

[44] Ada baiknya jika para orang tua untuk mengawal belajar anak dengan membangkitkan minat baca dengan sering membacakan cerita ringan dan menarik, biarkan anak menyaksikan atau memperhatikan cara kita membaca, ajak ke perpustakaan, izinkan anak belajar membaca dengan teman sebayanya atau yang lebih tua darinya, puji ia ketika berhasil mengeja. Diambil dari  buku Aulia, Revolusi Pembuat Anak Candu Membaca, (Yogyakarta: Flashbooks, Cetakan Pertama, November 2012) Hlm 55-57.

[45] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah..., hlm 276-285.