Oleh: Mamang M. Haerudin**)
Pendahuluan
Pada awalnya, segala hal yang menyangkut hukum Islam dan perangkat-perangkatnya yang kompleks, dalam dan untuk kemaslahatan masyarakat, dapat secara mudah dicarikan (ditanyakan) solusinya kepada Nabi Muhammad Saw, atau bahkan Nabi Saw sudah menentukan ketentuannya secara pasti, jauh-jauh hari. Hal ini menyatakan bahwa kehidupan masyarakat dalam konteks Nabi Saw relatif-cenderung (di) seragam (kan) tanpa kesulitan, apalagi konflik berkepanjangan, karena pendapat Nabi Saw adalah wahyu, yang sumbernya langsung dari Tuhan.
Sengaja saya katakan hal ini di awal, dengan maksud, agar kemudian konteks kehidupan Nabi Saw dapat memberikan pemahaman kepada kita—yang hidup di era pasca Nabi Saw; shahabat, tabi’in pengikut tabi’in, hingga konteks sekarang, dan seterusnya—bahwa pemahaman kita hanyalah sebuah ikhtiar dalam menginterpretasi hukum Islam—yang ada dalam al-Qur’an dan hadits—dengan ijtihad sebagai pisau analisisnya (manhaj).
Secara bahasa, fikih berarti memahami. Dalam istilahnya, ia merupakan sebuah ikhtiar pemahaman berupa pandangan atau pendapat tentang hukum-hukum Islam, baik mengenai aspek ibadah ritual maupun sosial dan aspek keagamaan lainnya. Imam Abu Hanifah—salah seorang madzahib al-Arba’ah—memberi pengertian tentang fikih; al-Fiqhu huwa ma’rifat al-Nafs ma laha wa ma ‘alaiha. (Fikih adalah pengetahuan tentang hak dan kewajiban seseorang). Imam Badr al-Din al-Zarkasyi berpendapat lebih detil, bahwa fikih pada dasarnya adalah pengetahuan yang mencakup semua aturan agama yang mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang Tuhan, keesaan Tuhan, dan sifat-sifatnya, para Nabi dan Rasul-Nya, tentang tingkah laku manusia, etika (akhlak) dan apa yang perlu dilakukan oleh manusia sebagai hamba-Nya, dan lain-lain.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat kita tarik benang merah; jika kemudian kita, manusia, memahami al-Qur’an maka sejatinya ia adalah fikih al-Qur’an. Memahami al-Hadits adalah fikih hadits, dan memahami realitas sosial adalah fikih al-Waqi’.
Paradigma Fikih Sosial Baru dan Dinamis
Paradigma fikih, rupanya telah menjadi paradigma arus utama di mata masyarakat Indonesia. Tak kurang dari masyarakat Pesantren, khususnya di Jawa, begitu lekat dengan paradigma fikih. Menganalisis segala macam persoalan yang parameternya adalah fikih. Namun, ada yang lekang dari paradigma fikih yang dibangun—dan terbangun—oleh masyarakat arus utama. Yakni, tatkala fikih yang hasilnya jauh tercerabut dari makna sejatinya, sebagaimana dikemukakan di atas, minimalnya. Fikih yang disempitkan menjadi fikih yang doyan menjustifikasi wajib-haram, sesat-kafir, dan seterusnya.
Memang, dalam fikih, selain mengenal wajib-haram, kita mengenal; sunnah, makruh, dan mubah. Wajib, satu ketentuan yang jika dilakukan berpahala, ditinggalkan berdosa. Haram, sebaliknya. Sunnah, dilakukan berpahala, ditinggalkan tak berdosa. Makruh, ketentuan yang sebaiknya ditinggalkan, dan mubah adalah ketentuan netral, baik dilakukan dan ditinggalkan tak berbalas pahala maupun dosa.
Beberapa ketentuan di atas haruslah dipahami sebagai salah satu strategi ulama untuk memudahkan masyarakat awam (dengan konteks tertentu yang terbatas) dalam memahami hukum Islam yang kompleks itu. Maka bagi seorang yang sedang dalam masa belajar dan apalagi intelektual, fikih—sebagaimana makna dasarnya—adalah sebuah proses. Proses kontekstualisasi teks-teks keagamaan—al-Qur’an dan hadits—dengan realitas sosial yang terus berubah dinamis. Fikih yang tidak jumud dan bukan taklid buta. Sehingga dengan demikian, kontekstualisasi dan dinamisasi akan selalu ada, untuk membuahkan fikih yang sesuai dan baru.
Pada satu sisi, kiranya mesti menjadi perhatian kita dalam menginterpretasi teks-teks keagamaan, terutama al-Qur’an dan hadits, untuk tidak terjebak dalam interpretasi yang harfiah-literal. Penafsiran yang harfiah-literal ini membahayakan, karena sebuah kerja yang tidak mudah tatkala redaksi al-Qur’an berbahasa Arab yang begitu rumit, dengan sekonyong-konyong diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apalagi jika diperparah dengan mengenyampingkan konteks—sabab nuzul dan sabab wurud—dari teks yang dihadirkan.
Pada sisi lain, sulit rasanya ketika kemudian memahami fikih tanpa usul fikih. Usul yang memiliki makna pokok atau prinsip, menjadi semacam landas pikir, dimana seseorang menyelami ilmu fikih. Karena sejatinya fikih itu adalah pemahaman untuk memudahkan dan menjawab masalah yang ada dalam kehidupan masyarakat. al-Masyaqah tajlib al-Taisir (Kesulitan dapat menarik kemudahan), adalah salah satu kaidah usul fikih yang dapat dijadikan patokan bahwa pada hakikatnya fikih adalah salah satu cara untuk memudahkan masyarakat dari kesulitan, dan bukan tambah menyulitkan sehingga menjadikan masalah baru yang lebih sulit.
Fikih juga tak boleh tercerabut dari aspek lokalitas; al-‘Adah muhakkamah (Adat dapat dijadikan sumber hukum). Ini juga merupakan satu kaidah usul fikih yang pokok, dimana ajaran Islam mesti mengindahkan aspek adat atau lokalitas masyarakat tertentu. Kalau kita renungkan, betapa kaidah ini telah diterapkan Wali Sanga pada jauh hari di bumi nusantara ini, sebagaimana sejarah mencatat.
Tasharruf al-Imam ‘ala ra’iyyah manuthun bi al-Mashlahah (Kebijakan seorang pemimpin atas segenap rakyatnya harus diarahkan pada kemaslahatan). Kaidah ini selain berlaku pada pemimpin struktural—Presiden, Gubernur, dan lain-lain—juga bisa dianalogikan dengan pemimpin agama, dalam hal ini ulama, agar kemudian petuah, fatwa, dan lain yang bersumber darinya berdampak maslahat, bukan mafsadat.
Selain itu ada kaidah ma la yadriku kulluh la yutraku kulluh (Perbuatan yang tak dapat Anda lakukan secara keseluruhan, tak boleh Anda tinggalkan seluruhnya). Inilah wajah fikih yang gradual, tidak serampangan. Memberi teladan kebaikan ajaran Islam kepada masyarakat awam, dengan tidak memaksa, semampunya, dan bertahap.
Karena, al-Khair al-Muta’adiy afdhalu min al-Qashir (Sebuah perbuatan yang kebaikannya menjalar, itu lebih utama ketimbang perbuatan yang kebaikannya tak menjalar). Maka wajah fikih mestilah menabur kebaikan, bagi umat. Ya, atas nama orang banyak, bukan atas kepentingan pribadi, politik, golongan, agama tertentu, dan lainnya.
Dari beberapa kaidah usul fikih di atas, fikih yang mesti dikembangkan untuk konteks sekarang dan masa depan, adalah fikih yang punya karakter relatif, fleksibel, plural, dialogis, dan dinamis, sebagaimana fitrahnya. Karakter-karakter tersebut yang kemudian mengantarkan fikih kepada cita-cita sosial masyarakat di atas pundi-pundi universal; keadilan, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, kebijaksanaan, kemaslahatan, dan kemanusiaan. Pundi universal yang terakhir ini amat urgen, betapa agama (fikih) diciptakan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Sebab parameter dari kemaslahatan manusia adalah kemanusiaan itu sendiri bukan ketuhanan. Rasa-rasanya—mungkin—ini maksud ketika Gus Dur melontarkan jargon “Tuhan tidak perlu dibela”.
Ragam Fikih Sosial
Pada perkembangannya, fikih memiliki wajah warna-warni, sesuai dengan konteks sosial apa ia dilekatkan. Selain karena tujuan fikih itu sendiri, juga karena ia merupakan respon tanggap fikih terhadap beragamnya persoalan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa ragam itu bisa saya sebutkan misalnya, fikih perempuan, fikih kebangsaan, fikih anti-trafiking, fikih aborsi, fikih seksualitas, dan lain sebagainya.
Dan untuk gambaran, saya ambil dua dari sekian banyak ragam fikih sosial yang ada; pertama, fikih perempuan. Dan kedua, fikih kebangsaan.
1. Fikih Perempuan
Adalah fikih yang berorientasi menegakkan kebebasan, kesetaraan, dan keadilan untuk perempuan di atas kepentingan apapun. Fikih perempuan menjadi fikih sosial substantif ketika ia dihadapkan dengan fakta diskriminatif dan kultur patriarkhi. Sebuah konstruksi sosial-budaya yang di dalamnya kokoh tertancap cara pandang “serba laki-laki”. Akibatnya, perempuan tidak lebih dianggap sebagai pihak kelas dua, inferior, marginal, konco wingking, dan lain-lain atas otoritas laki-laki.
Perempuan dilarang berkiprah di luar rumah, entah untuk ibadah maupun muamalah, tanpa ada izin dan kesertaan laki-laki di sampingnya. Maka sudah berabad-abad lamanya sekian banyak perempuan (di) bodoh (kan) oleh laki-laki. Bukan tanpa alasan, tidak tanggung-tanggung, pelarangan dan tindak diskriminatif itu berdalil teks-teks keagamaan.
Semacam ada angin segar, tatkala bermuculannya ulama-ulama ramah perempuan seperti; KH. Husein Muhammad, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dan sejumlah nama lainnya. KH. Husein Muhammad misalnya, dalam bukunya yang berjudul Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001), secara mengagumkan memberikan pembelaan atas hak dan keberadaan perempuan yang sudah sejak lama dikerangkeng dan ditimbun. Begitupun Prof. Dr. Nasaruddin Umar dengan bukunya Fikih Wanita untuk Semua (2010). Dan masih banyak lagi.
Pada intinya, baik KH. Husein Muhammad, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, dan ulama progresif lainnya, menyatakan dan menyepakati bahwa perempuan dan laki-laki adalah manusia ciptaan Tuhan, yang sedari adanya didudukkan secara setara dan sederajat. Tak ada beda kecuali dari segi fisik-biologis. Oleh karena itu, kita mesti paham mana itu kodrat, mana itu adat. Mana itu seks, mana itu gender. Prof. Dr. Nasaruddin Umar misalnya berpendapat, bahwa studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyah) seseorang. Berbeda dengan studi seks yang lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukuriyah) dan perempuan (femaleness/unutsah).
Maka dengan demikian, atas hal paling mendasar tapi mendalam itulah KH. Husein Muhammad berani melakukan upaya pembongkaran budaya diskriminatif dan patriarkhi melalui fikih perempuannya yang berwawasan gender. Seperti misalnya, ketika ulama arus utama melarang Imam shalat, beliau justru membolehkannya. Juga, mengkritik habis praktik khitan perempuan, hak waris, kontekstualisasi makna aurat dan usia menikah, kesehatan reproduksi, hingga mengkritik habis kitab Uqud al-Lujaiyn, satu kitab yang gandrung diaji di Pesantren, yang banyak memuat pandangan diskriminatif terhadap perempuan (istri).
2. Fikih Kebangsaan
Selain fikih perempuan, adalah fikih kebangsaan yang keberadaanya amat diperlukan untuk konteks kekinian. Betapa tidak, Indonesia yang sejak awalnya berdiri atas ijma’ Negara-bangsa, kini sedang dirongrong dengan propaganda Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Para penganut Islam formalis-fundamentalis umumnya menganggap bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dan di saat yang sama Islam wajib dijadikan sebuah sistem pemerintahan yang ideal di atas segalanya. Dengan anggapan semacam itu, kelompok demikian bisanya getol mengkafirkan demokrasi dan para penganutnya, termasuk Indonesia.
Beberapa kelompok yang ditengarai berideologi Islam formalis-fundamentalis di antaranya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indoneisa (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Forum Umat Islam (FUI), dan lain sebagainya. Umumnya mereka punya keyakinan, bahwa selama Indonesia didirikan atas sistem kufur demokrasi, maka tunggulah murka Tuhan, karena tidak menaati syariat Islam. Salah satu infiltrasi “mabuk syariat Islam” adalah menjamurnya perda-perda syariat di pelbagai daerah.
Mereka melupakan ijma’ dan warisan para pendahulu (founding fathers); Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, yang lazim dikenal empat pilar kebangsaan. Para penganut Islam formalis-fundamentalis sama sekali tidak melihat andil, sekurangnya, NU dan Muhammadiyah sebagai ormas representasi umat Muslim Indonesia, yang hingga saat ini dan selamanya akan terus kukuh dengan warisan empat pilar kebangsaan itu.
Bahkan, seperti akhir-akhir ini menyeruak mulai dari tindak kekerasan dan intoleransi hingga radikalisme dan terorisme, embrionya—selain banyak aspek lain—adalah bermula dari pemahaman yang formalis-fundamentalis terhadap agama dan teks-teksnya. Perbedaan (sebagai konsekuensi logis dari pluralitas), sebagaimana Nabi Saw bersabda, sudah tak diindahkan dan menjadi rahmat, ia malah menyulut saling sesat-menyesatkan, konflik, dan tindak destruktif lainnya, menjelma menjadi fitnah dan laknat. Berkenaan dengan maraknya radikalisme dan terorisme atas nama jihad, John L. Esposito (2002)—salah seorang pemikir Barat—justru berempati kepada Islam, ia ingin mengabarkan kepada dunia Barat bahwa teori jihad dalam al-Qur’an pada dasarnya bersifat defensif, lihat misalnya QS. Al-Hajj [22]: 39. Islam, masih menurutnya, tidak berwajah tunggal dan monolitik.
Maka, tak ada solusi lain, bahwa kita harus kembali kukuh kepada empat pilar kebangsaan, untuk Islam Indonesia yang toleran dan inklusif. Islam Indonesia yang mampu beradaptasi dengan warisan budaya bangsa, satu sinergis dengan kalangan berlainan agama atau keyakinan, dan saling menghargai atas perbedaan yang ada untuk bersatu.
Penutup
Untuk mengakhiri tulisan sederhana ini, saya teringat dengan salah satu dawuh Imam Syafi’i; ra’yuna shawabun yahtamilu al-Khata’ wa ra’yu ghayrina khata’un yahtamilu al-Shawab (Pendapat kami benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat kalian salah tetapi mungkin benar). Pernyataan ini adalah pernyataan rendah hati dari seorang ulama besar, yang menjadi salah satu madzahib al-Arba’ah, khususnya bagi komunitas Sunni, yang patut diteladani.
Jadi, siapapun pihaknya dan apapun agamanya, tak diperkenankan memutlakkan pendapatnya, dan di saat yang sama menyalahkan, menyesatkan, atau mengkafirkan pendapat yang lain. Kita tetap harus menghormati setiap apapun pendapat yang mengemuka, sekiranya tidak berkenan, melancarkan kritik adalah seyogia bukan mengkafirkan. Karena “Man ijtihada ashaba lahu ajrani fa man ijtihada fa akhta’ fa lahu ajrun”, begitu kata Nabi Saw. (Pencari kebenaran hukum akan mendapatkan dua pahala jika benar dan mendapat satu pahala jika salah).
Oleh sebab itu, atas teladan Imam Syafi’i dan Nabi Saw yang bijak itu, saya juga demikian, bahwa tulisan yang serba kurang ini mungkin saja salah, untuk kemudian dikritik, Sebagai satu wujud adanya respon positif dari fikih yang senantiasa baru dan dinamis. Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.
*) Tulisan untuk Diskusi Rutin pada Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tafsir Hadits Fakultas Addin, IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Pada Jum’at, 14 September 2012.
**) Alumni IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Penulis Buku “Akhlak Islam untuk Muslimah” ( terbit 17 September 2012, Penerbit Quanta, Kompas-Gramedia, Jakarta). FB: Mamang Haerudin, email: aazevenaldien@gmail.com
Sumber: kompasiana