Oleh: Munawir Aziz
Menjelang 2014, partai politik (parpol) menggunakan berbagai strategi untuk memperbaiki citra, konsolidasi pemilih dan memperluas cakupan wilayah simpatisan. Parpol-parpol berbasis massa kaum muslim juga tidak lepas dari fenomena ini. Sebut saja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang melakukan pendekatan kultural ke berbagai pelosok daerah dan melakukan ziarah kubur serta tahlil di Makam Sunan Kalijaga, Demak, Jawa Tengah (3 April 2013).
Selain itu, hal senada dilakukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—meski partai yang terakhir memang dikenal beraliran inklusif. Strategi politik yang dilakukan oleh PKS menjadi salah satu langkah taktis selepas partai ini diadang badai politik. Elite partai ini terjerat kasus korupsi dan para pendiri serta senior mengalami perpecahan ideologi, partai ini dinakhodai kalangan muda yang bekerja progresif dan berpikir taktis.
Ketika menerima amanah sebagai presiden partai, Anis Matta kemudian menggunakan logika ganda: memotong jalur fitnah dengan menghadirkan citra ”konspirasi” dan melakukan konsolidasi internal di jaringan struktural partai. Sebelumnya, pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Sanur, Bali, (2008), PKS juga terang-terangan menerima calon anggota legislatif (caleg) nonmuslim. Tentu, hal ini merupakan strategi pemenangan politik, bukan semata berpatok pada ideologi.
Anis Matta beserta barisan pengurus partai juga melakukan safari politik dengan menyambangi beberapa tokoh yang selama ini berada di luar garis ideologi partai, semisal Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Posisi Cak Nun menjadi strategis di tengah mobilitas budaya dan strategi kultural yang ia pakai untuk merawat jaringan komunikasi dengan pemuda, masyarakat kota dan warga di pinggiran desa. Dengan media Kiai Kanjeng, Cak Nun menyelenggarakan Jemaah Maiyah di Jogja, Padang mBulan di Jombang, Bang-Bang Wetan di Surabaya, Macapat Syafaat di Semarang dan Kenduri Cinta di Jakarta.
Tentu, jejaring komunitas kultural yang dimiliki Cak Nun menjadi media penting untuk mempromosikan ”PKS baru” di bawah nakhoda Anis Matta. Pendekatan dengan jaringan kultural Cak Nun menjadi langkah penting bagi PKS untuk merambah ruang komunikasi dan menjaga koneksi dengan ruang kultural Cak Nun. Strategi yang dilakukan Anis Matta dengan melakukan tahlil politik dan ziarah kubur di makam Sunan Kalijaga serta melakukan pendekatan kultural ke beberapa kiai kampung di Semarang dan Salatiga menjadi manuver penting terkait dengan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) 2013 dan konteks Pemilu 2014.
Strategi ini, segaris dengan usaha memperbaiki citra partai yang dekat dengan konstituen, adalah upaya memahami permasalahan kontekstual masyarakat serta tidak ingin menjaga garis batas perbedaan ideologi. Dengan melakukan ziarah dan tahlil, Anis Matta dan pimpinan PKS tidak hanya menerobos garis akidah partai, yang sejak awal menolak tradisi yang dekat dengan kultur nahdliyin, namun juga melakukan perombakan strategi politik.
Politik tahlil yang dilakukan PKS menjadi isyarat penting bahwa partai ini bekerja serius untuk menapaki tahapan menuju Pemilu 2014 dengan mengusung target sebagai partai tiga besar. Dalam konteks komunikasi politik, apa yang dilakukan oleh Anis Matta dengan melakukan safari politik dan menyelenggarakan ziarah-tahlil menjadi strategi untuk memangkas cleavage (garis keterpisahan) antara modernis dan tradisionalis. Pada masa awal perkembangan partai, Partai Keadilan (PK) dan kemudian PKS bertumpu pada nilai-nilai Islam modernis beraliran Wahabi, yang merujuk pada Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna.
Namun, patokan pada wilayah pasar politik muslim modernis di kota ternyata tidak sepenuhnya dapat mendongkrak suara partai. Jika ingin berkembang dan mencapai target tiga besar, PKS harus melakukan strategi kultural dengan merombak cara kerja praktisnya, tidak lagi berdasar ideologi, namun pada rasio keterpilihan dan penerimaan di tiap-tiap wilayah. Strategi kultural berupa ziarah kubur dan tahlil tentu untuk merebut simpati warga nahdliyin atau muslim tradisionalis yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Strategi Komunikasi
Selain PKS, partai dengan basis massa muslim PPP juga melakukan konsolidasi dengan menarik simpatisan dari nahdliyin ketika PKB sedang mengalami stagnasi gerakan politik. Para pengurus teras PPP rajin melakukan kunjungan politik ke pesantren, madrasah dan komunitas-komunitas muslim untuk menarik simpati dari kalangan muslim tradisionalis—basis massa terbesar PPP pada awal berdirinya. Dengan pecahnya halauan politik warga nahdliyin, tentu pilihan PPP ini sangat strategis, untuk kemudian mengambil wilayah konstituen PKB, yang tidak banyak tergarap setelah wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sedangkan PKB juga melakukan konsolidasi dengan mengagendakan refleksi atas fatwa jihad Kiai Hasyim Asy’ari pada pengujung 2011. Safari fatwa jihad dari Surabaya ke Jakarta menjadi media penting yang sayangnya tidak banyak memberi efek opini publik dan politik. Menuju 2014, PKB melakukan critical discourse terhadap Pancasila sebagai pilar bangsa. Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), ingin merebut simpati para pemilih nasionalis dengan berpedoman bahwa Pancasila bukan pilar, namun dasar dari bangsa Indonesia. Strategi ini sebenarnya ingin mencari sisipan wilayah pada cleavagepemilih muslim dan nasionalis yang sebelumnya tidak bisa direngkuh PKB secara maksimal.
Di wilayah lain, Partai Amanat Nasional (PAN) sebenarnya juga melakukan strategi perluasan wilayah dengan mengakomodasi tradisi kultural muslim tradisionalis. Tokoh PAN, Amien Rais, mulai lunak terhadap tradisi lokal dengan memberikan ruang perhatian pada tradisi orang-orang nahdliyin, semisal ziarah kubur, meskipun ia menolak melakukan perombakan ideologi. Saya kira, menuju Pemilu 2014, partai-partai berbasis massa warga muslim mulai menggunakan strategi-strategi yang sebelumnya tabu digunakan.
PKS rela mengaburkan garis ideologinya, PKB menggerus cleavage nasionalis dan PPP menguatkan basis kulturalnya untuk merebut 185 juta pemilih pada pemilu tahun mendatang. Politik kultural partai-partai berbasis komunitas muslim menjadi strategi penting untuk mendongkrak suara pemilih dan memperluas barisan simpatik. Namun, jika tidak hati-hati, justru politik kultural akan menyebabkan mundurnya kader fanatik partai yang berbasis ideologi. (moena.aziz@gmail.com)