Seminggu menjelang peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-88, warga Nahdlatul Ulama (NU) dilanda duka, Rais ‘Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh diberitakan telah wafat pada Jumat 24 Januari 2014 sekitar pukul 01.05, di kediamannya kompleks Pondok Pesantren Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah. (NU Online, 24 Januari 2014)
Kabar ini tentu menjadi duka yang mendalam, tidak hanya bagi warga NU semata, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Mbah Sahal begitu beliau biasa dipanggil para santrinya, saat ini masih menjabat sebagai Ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menunjukkan bahwa sosok Mabah Sahal ini, memang seorang ulama yang mendapatkan kepercayaan umat serta memiliki kedalaman ilmu dan keluasan wawasan.
Produktif Menulis
Pengasuh Pondok Maslakul Huda Pati ini juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Karya tulisnya lebih dari 100 judul artikel di berbagai media masa dan sebagian telah dibukukan, di antaranya berjudul Nuansa Fiqih Sosial, Ensiklopedia Ijma’. Oleh karenanya wajar apabila Mbah Sahal mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (DR. HC) dalam bidang ilmu fikih dan pemikiran keislaman dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2003.
Selain dalam bahasa Indonesia, Mbah Sahal juga menulis dalam bahasa Arab, atau di pesantren biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Salah satu karya fenomenal beliau adalah kitab Thariqatul Hushul ala Ghayatil Wushul, sebuah kitab yang menjadi penjelasan dari kitab Ghoyatul Wusul, karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshori, salah seorang ulama Syafi’iyyah yang hidup di abad ke-9 Hijriyah. Ironisnya, kitab Thoriqotul Husul ini menjadi bahan kajian di Universitas Al-Azhar Mesir dan sejumlah perguruan tinggi di Yaman, namun malah belum banyak dikenal di pasca sarjana perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Ada kisah menarik, di tengah proses ia menulis kitab Thoriqotul Husul ini. Ketika Kiai Sahal muda tengah berguru kepada Kiai Zubair Pesantren Sarang Rembang. Salah satu kitab yang didiskusikan adalah Ghoyatul Wushul karya Syekh Zakariya Al-Anshori ulama syafiiyah abad 9 Hijriyah. Diskusi berlangsung secara intensif. Kiai Zubair juga senang membuat pancingan. Terjadilah perbincangan dan Kiai Sahal pun rajin membuat catatan (ta’liqat) dalam bahasa Arab.
Hobi menulis dilanjutkan dengan mengirimkan surat (murosalah) kepada Syekh Muhammad Yasin Padang, seorang kiai pesohor dari Indonesia yang menjadi ulama besar dan menetap di Tanah Suci. Kiai Sahal mengomentari tulisan Syekh Yasin dalam satu kitab, membantahnya dengan argumentasi berdasarkan kitab yang beredar di Jawa. Satu surat berisi sekitar 3-4 lembar, berbahasa Arab.
Syahdan, ketika turun dari kapal, saat Kiai Sahal menginjakkan kaki di Mekkah, seseorang tak dikenal langsung memeluknya dan menariknya ke sebuah warung. Seseorang itu tidak lain adalah Syekh Yasin sendiri. Mungkin dalam surat terakhir Kiai Sahal menuliskan bahwa dirinya akan menunaikan ibadah haji.
Kiai Sahal diminta tinggal di rumah Syekh Yasin. Setiap pagi ia bertugas berbelanja ke pasar membeli kebutuhan Syekh Yasin. Dan setelah itu Kiai Sahal berkesempatan belajar dengan seorang ulama besar yang diseganinya itu selama dua bulanan. Dalam diskusi dan perdebatan, Syekh Yasin mendudukkan Kiai Sahal seperti teman diskusi.
Dua bulan pertemuan, Syekh Yasin mengijazahkan banyak kitab yang menginspirasi Kiai Sahal menulis banyak kitab. Dan ta’liqot yang ditulisnya saat belajar bersama Syekh Zubair dirapikan kembali. Terkumpul 500-an halaman dan belakangan dibukukan menjadi satu kitab bertajuk “Thoriqatul Husul”. (Anam, 2013)
NU Setelah Kepergiannya
Sebagai Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, Mbah Sahal memiliki sumbangan tersendiri bagi perkembangan organisasi. Ia meneruskan sumbangan-sumbangan pemikiran dan misi yang telah dibawa oleh para pendahulunya.
Seperti yang pernah dipaparkan Abdurrahman Wahid (1991), setiap Rais ‘Aam membawa pemikiran dan misinya. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan yang sangat tinggi ke dalam tubuh NU. KH Wahab Hasbullah membawakan kegigihan pluralitas politik, yang masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini.
Lain lagi dengan KH Bisri Syansuri yang membawakan dua hal yang sebenarnya saling berlawanan; kegigihan membela hukum agama di hadapan proses modernisasi yang sering berbentuk sekuler. KH Ali Maksum, KH Achmad Shiddiq dan lain sebagainya, masing–masing membawa misi yang konstruktif dan saling memantapkan satu sama lain.
Sedangkan pada sosok Kiai Sahal, yang menjadi Rais ‘Aam sejak tahun 1999, memiliki karakter khas pada pengembangan fikih sosial dan fikih kontekstual. Masalah muamalat dan sosial menajdi banyak sorotan Mbah Sahal. Pendekatan yang sering dipakainya adalah pendekatan maslahah atau kemaslahatan.
Hal ini pernah disampaikan sendiri oleh Mbah Sahal usai menerima gelar HC, Pilihan-pilihan tersebut saya dasarkan pada kenyataan yang menunjukkan, betapa banyak masyarakat yang belum mampu menyentuh gagasan-gagasan yang njlimet dari pakar. Karena itu saya concern , inilah yang membuat saya menetapkan fiqih sebagai pilihan untuk dijadikan jembatan menuju pengembangan masyarakat. (Sahal, 2003)
Fikih dipandangnya, tidak saja memberikan hukum halal dan haram secara normatif, tetapi juga jalan keluar (solusi) terhadap permasalahan yang dihadapi. Pendekatan kontekstual ini tentu sangat cocok apabila kita kaitkan dengan zaman sekarang, yang dihadapkan pada segala hal dan permasalahan yang senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan.
Inilah yang menjadi warisan Mbah Sahal bagi bangsa, sekaligus tantangan bagi Rais ‘Aam PBNU berikutnya. Di era sekarang, mampukah para ulama Indonesia dan khususnya NU menjaga kaidah Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif? Lahu al-Fatihah!
Ajie Najmuddin, Pemimpin Redaksi NU Solo Online
Sumbe: NU Online