Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
JUMAT dini hari, 24 Januari 2014, pukul 01.00 WIB, KH MA Sahal Mahfudh meninggalkan kita semua: santri, kiai, warga NU, dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seluruh anak bangsa ini berduka cita atas kepulangan sosok pemimpin umat yang santun, sejuk, dan penuh dedikasi. Seluruh hidupnya didarmabaktikan demi kemajuan umat dan bangsa.
Ia tak tega melihat kemiskinan di Kajen Pati, daerah kelahirannya, dan dengan menggunakan fikih sebagai basis keilmuan, ia melakukan perubahan besar dalam bidang ekonomi kerakyatan. Ia berkarier dari bawah sampai pusat sehingga kepemimpinannya di NU dan MUI sangat mengakar. Ia tak goyah oleh bujuk rayu politik praktis sampai akhir hayatnya. Dialah penjaga khitah NU yang bergeming oleh tekanan dan desakan dari mana pun untuk membawa NU ke ranah politik praktis.
Para kiai dan santri mengakui kepakarannya dalam bidang fikih. Para akademisi mengapresiasi keintelektualannya karena mampu memadukan khazanah klasik dan modern. Aktivis LSM mengagumi mobilitasnya dalam menggerakkan perubahan ekonomi rakyat. Kalangan birokrat memuji netralitas dan keteguhannya dalam memimpin. Bangsa ini menyanjungnya karena ia penjaga moral bangsa di tengah demoralisasi akut.
Mbah Sahal adalah filsuf karena selalu gelisah memikirkan kebenaran ilmu pengetahuan dan kondisi riil masyarakat yang banyak ketimpangan. Islam, khususnya fikih, yang dipelajari sejak muda ternyata kurang mampu menjawab problem kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan umat.
Fikih sebagai manifestasi doktrin Tuhan dalam realitas individu dan sosial, kehilangan fungsi transformasi, baik secara struktural maupun kultural. Fikih terjebak oleh tekstualitas, formalitas, dan simbolitas. Di sisi lain, perilaku masyarakat jauh dari nilai-nilai agama, khususnya doktrin fikih. Sekularitas, hedonitas, dan imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari bimbingan agama.
Skeptisisme dan relativisme tersebut membawa kiai karismatis itu ke arah pergolakan intelektual masif yang akhirnya melahirkan karya besar yang bermanfaat bagi dinamisasi keilmuan dan kerja transformasi sosial. Maka lahirlah fikih sosial sebagai jawaban atas kegelisahan Kiai Sahal melihat dua ketimpangan tersebut.
Secara epistemologis, fikih sosial dibangun di atas lima metodologi transformatif, yaitu kontekstualisasi doktrin fikih; beralih dari mazhab qouli (tekstual) menuju manhaji (metodologis); verifikasi doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah dan far’u (instrumental) yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial; dan mengenalkan pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya.
Lima metodologi ini bisa kita kaji dalam produk pemikiran kiai khos itu, antara lain pendayagunaan zakat, konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan integralistik, pluralisme, pengentasan warga dari kemiskinan, dan lain-lain. Ia tetap berpijak pada kekayaan tradisi pesantren melalui pendekatan sosial humaniora yang transformatif.
Fikih sosial Mbah Sahal bergerak untuk mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran masyarakat Kajen Pati, dari secara geografis tandus dan kering menjadi kaya, maju, dan, berperadaban. Bagi masyarakat tradisional, miskin-kaya adalah given by God. Manusia tinggal menjalani hidup ini apa adanya, taken for granted. Namun kiai santun tersebut terpanggil melakukan perubahan paradigmatik.
Ia merevolusi teologis tentang hakikat kaya-miskin. Dengan menyitir Alquran dan hadis, Kiai Sahal mengatakan bahwa miskin bertentangan dengan Islam. Islam menginginkan kemakmuran, kesejahteraan, ketercukupan, dan kemajuan ekonomi. Masyarakat Kajen terhenyak menyimak pituturnya, yang dirasa tak lazim, kontroversial, dan radikal.
Sumber Bencana
Menjadi miskin, dalam pandangan Mbah Sahal adalah berdosa karena miskin jadi sumber bencana, pendidikan tidak maju, kebudayaan tak berkembang, perjuangan mengibarkan panji kebesaran Islam juga stagnan, dan mudah tergoda pihak-pihak tidak bertanggung jawab, sampai mengorbankan keyakinan agama.
Karakternya yang organisatoris dan aktivis menjadikan tiap agenda pembaruannya selalu dalam naungan organisasi dengan manajemen akuntabel dan profesional. Pesantren dijadikan lokomotif untuk mendorong program pemberdayaan ekonomi. Tahun 1977 ia mengikutsertakan dua santri senior mengikuti latihan tenaga pengembangan masyarakat yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta bekerja sama dengan Depag (kini Kemenag).
Praktik lapangan santri itu, menghasilkan beberapa kegiatan konkret, antara lain kelompok usaha bersama simpan pinjam (UBSP) yang dikelola masyarakat sekitar pesantren, sebagai rintisan. Capaian dari manfaat itu kini dirasakan oleh masyarakat. Kegiatan awal itu mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak sehingga 1979 secara resmi terbentuk Lembaga Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Hasilnya sangat nyata, yaitu meningkatkan ekonomi rakyat Kajen dan sekitarnya.
Demikian perjuangan panjang dan melelahkan yang dilakukan Kiai Sahal dalam mengembangkan fikih sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat kecil. Selamat jalan Begawan Fikih Sosial, semoga seluruh karya intelektual dan sosial, buah dari perjuanganmu diterima Allah Swt, dan jadi sumber inspirasi seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran. (10)
– Jamal Ma’mur Asmani, santri Kiai Sahal Mahfudh, peneliti dari Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati, mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang