"Karena produk ijtihad maka keputusan fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkanfikih jelas keliru… Rumusan Fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini.Situasi sosial, politik dan kebudayaanya sudah berbeda." (KH. Sahal Mahfudh)
Kiai Sahal, ulama dan intektual Islam langka yang karismatik, bersahaja, dantawadu’. Intelektualitasnya bukan hanya diakui di Indonesia saja, namun juga di Timur Tengah. Buku-bukunya bukan hanya dikaji di Indonesia saja, namun juga di Timur Tengah.
Kiai Sahal telah mendahului kita, namun selayaknya ulama besar Islam lainnya, beliau akan selalu hidup, diingat, dikenang bahkan dipikirkan dan disebutkan berulang melalui pemikiran-pemikirannya, karya-karyanya yang akan terus dikaji-kembangkan oleh para penerus beliau. Catatan sederhana ini adalah diantara upaya untuk sedikit mengkaji pemikiran beliau yang luas itu, khususnya dalam bidang nalar hukum Islam (fikih) Indonesia.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Achmad Sahal bin Mahfudz. Lahir di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda ini adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 2000 hingga beliau meninggal. Dalam Muktamar NU di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/3/2010), untuk ketiga kalinya beliau kembali didaulat menjadi Rais Am PBNU masa bakti 2010-2015.
Kiai yang juga santri dari Syekh Yasin Al Fadani ini tergolong produktif. Banyak karya tulis beliau yang sampai saat ini masih terus dikaji, baik dalam Dunia Pesantren maupun Akademis. Menurut beberapa sumber juga dikaji di Timur Tengah, seperti di Universitas Qur’anul Karim, Sudan. Karya-karya beliau diantaranya adalah:
1. Tharîqah al Hushûl ‘ala Ghâyah al Wushûl (Surabaya: Diantama, 2000); 2. Al Bayân al-Mulamma’‘an Alfaz al Luma’ (Semarang: Thoha Putra, 1999); 3. Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (Semarang: Suara Merdeka, 1997); 4. Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994) ; 5. Pesantren Mencari Makna (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999); 6. Ensiklopedi Ijma’ (terjemah bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausû'ah al-Ijmâ’(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987); 7. Faidhu al-Hijâ ‘ala Nail al-Rajâ (1962); 8.Al Tsamarah al Hajainiyah, (Nurussalam, 1966); 9.Intifâkh al-Wadajain ‘inda Munâdhârâh Ulamâ al-Hajain (1959); 10.Luma’ al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmât (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati); 11. Al-Faraid al-Ajibah, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati, 1959) ;12. Penulis kolom “Dialog dengan Kiai Sahal” di harian Duta Masyarakat; 13. Dan masih banyak karya-karya beliau yang lain, baik risalah ataupun makalah, yang sekiranya tak perlu penulis sebutkan di sini semuanya.
Nalar Fikih Kiai Sahal
Secara sederhana, jika mengacu tipologisasi bahwa dalam pemikiran hukum Islam (fikih) ada dua kecenderungan besar: “adaptabilitas hukum Islam” dan “normativitas hukum Islam” maka, pemikiran fikih Kiai Sahal termasuk tipe pertama, “adaptabiltas hukum Islam”.Yakni, kecenderungan yang berpandangan bahwa fikih harus dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat, fikih harus senantiasa berubah manakala situasi dan kondisinya berubah. Sementara kecenderungan kedua adalah sebaliknya.
Mengacu tipologisasi lain yang lebih rinci, diantaranya tipologi yang dibangun Al-Qaradhawi dalam bukunya Dirâsah fî Fikih Maqâshid Syari’ah, bahwa dalam pemikiran fikih kontemporer ini ada tiga madrasah pemikiran: pertama, literalis-tekstualis (al-harfiyyûn) yang memahami teks-teks keagamaan secara literal-tekstual, tanpa mempertimbangkan makna atau tujuan dibalik teks. Madrasah ini disebut oleh Al-Qaradhawi sebagai al-Dhâhiriyyah al-Judud (neo-literalis) yang mewarisi Dhâhiriyah klasik dalam kejumudan dan pemahaman literal-tekstual terhadap teks, bukan dalam keluasan ilmuanya.
Kedua, adalah kebalikan dari madrasah pertama.Ketika madrasah pertama cenderung literalistik-tekstualistik maka, madrasah kedua ini justru terlalu kontekstual, mengesampingkan teks, mendewakan makna di balik teks, berpandangan bahwa agama adalah substansinya, bukan bentuk lahirnya, tak segan meninggalkan teks-teks yang bersifat qsth’iy (definitif). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah kedua ini adalah madrasah yang cenderung abai terhadap teks dan mendewakan makna dibalik teks.
Ketiga, adalah madrasah wasathiyyah (moderat) yang menengah-nengahi dua madrasah di atas. Madrasah ini tak memahami teks secara literal-tekstual namun juga tidak mendewakan makna di balik teks sehingga mengesampingkan teks.Akan tetapi, berusaha memberikan kepada keduanya porsinya masing-masing secara seimbang. Nah, kedalam madrasah ketiga inilah pemikiran fikih Kiai Sahal dapat dikelompokkan.
Pemikiran fikih Kiai Sahal termasuk katagori kecenderungan pertama: “adaptabilitas hukum Islam”—dalam tipologisasi pertama—atau termasuk madrasah ketiga (wasathiyah/moderat)—tipologisasi kedua—nampak jelas dari beberapa pandangan beliau, dianataranya beliau mengatakan, "Rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaanya sudah berbeda.Dan hukum sendiri harus berputar sesuai ruang dan waktu…" dan "Karena produk ijtihad maka keputusan fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru."
Selain itu, juga bisa dilihat melalui beberapa karya beliau. Khususnya “Nuansa Fqih Sosial” yang cukup monumental, dimana buku ini dalam tipologi Mahsun Fuad melalui bukunya yang berjudul Hukum Islam Indonesia, termasuk berkecenderungan “kontekstualisasi-mazhabi responsi-kritis emansipatoris.” Kemudian, melihat dari temanya (fikih sosial) nampak bahwa beliau, bersama para ulama dan intelektual Islam dunia lainnya, sedang berjalan di atas kecenderungan besar kajian fikih kontemporer, yakni kajian dengan metode tematik (maudhû’iy).
Kecenderungan pemikiran beliau yang seperti di atas ini sebenarnya wajar jika melihat bahwa beliau adalah ulama NU-tradisionalis (bahkan Rais Am PBNU sampai wafatnya) yang memang—menurut penulis—“benar-benar” berpegang teguh dengan kaidah dasar NU, yakni: al-muhâfadhah alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil jadîd al-ashlah. Penulis katakan “yang benar-benar berpegang teguh” karena di selain tangan belaiu kaidah tersebut cenderung hanya digembor-gemborkan sebagai slogan belaka, tanpa diamalkan dengan sesungguhnya dalam realitas nyata kekinian.
***
Masuk lebih dalam ke pemikiran fikih Kiai Sahal, mengembangkan tipologi yang telah dibangun Mahsun Fuad dalam bukunya di atas, bahwa dilihat dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunanan maka, pemikiran fikih Kiai Sahal adalah dengan metode“kontekstualisasi-mazhabi”. Yakni, sebuah upaya membangun “fikih baru” dan mengembangkannya melaui: mengkontekstualkan tradisi fikih klasik (mazhab). Baik dicapai dengan mengkontekstualkan pendapat-pendapat verbal ulama klasik (qauliy) yang masih dianggap relevan, mau pun dengan mengaplikasikan metodologi yang dirumuskan ulama aklasik seperti: ushul fikih dan qawa’id fikihiyah (manhajiy).
Melalui metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini Kiai Sahal ingin memperbaharui (tajdîd) fikih dan mengemasnya menjadi paket “fikih baru” yang sesuai denagn tuntutan ruang dan waktu sehingga layak dikonsumsi. Kecenderungan “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini bisa dilihat semisal melalui peryataan belau; “Di sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa'id (kaidah-kaidah fikih).”
Berbeda dengan metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” dimana pengembangan fikih cenderung masih banyak berkutat dalam ruang-lingkup khazanah tradisi fikih klasik—dengan metode qauliy dan manhajiy-nya--, sebagaimana disebutkan oleh Mahsud Fuad, adalah metode “rekonstruksi-interpretatif” yang dikembangkan oleh Masdar F. Mas’udi (dalam Agama Keadilan), Munawir Sjadzali (dalam Reaktualisasi Ajaran Islam) dan Hazairin (dalam FikihMazhab Nasional). Yakni sebuah metode yang mengupayakan pembangunan “fikih baru” dan mengembangkannya, dimana sudah mulai mengaplikasikan metode-metode alternatif modern, seperti antropologi dll. (Mahsun Fuad: 2005 : 241)
Corak pemikiran fikih Kiai Sahal, selain bisa dilihat dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunakan, juga bisa dilihat dari sisi responsifnya--baik responnya terhadap sosial kemasyarakatan maupun sosial-politik—dan dari sisi implementasinya. Dari kedua sisi responsif dan implementasinya ini, menurut penulis, kecenderungan pemikiran fikih Kiai Sahal sebenarnya tak jauh beda dengan kecenderungan umum pemikiran fikih dalam tubuh Nahdhatul Ulama (NU)--hanya progres dalam berfikirnya yang sedikit membedakan dari yang lain. Kecenderungan tersebut adalah, dari sisi responsifnya, fikih lebih dimaksudkan sebagai medium kritik atas fenomena sosial-kemasyarakatan dan politik. Dari sisi implementasinya, fikih lebih sebagai medium kontrol sosial, bukan untuk diformalkan menjadi hukum positif negara.Yang demikian ini tak lepas dari watak dasar NU yang merupakan organisasi sosial-kemasyarakatan-keagamaan, bukan organisasi politik.
Dari kedua sisi inilah—responsi-kritis dan implementasinya—Mahsud Fuan membahasakan kecenderungan pemikiran fikih Kiai Sahal dengan “responsi-kritis emansipatoris.” Sampai disini, dapat dirumuskan secara sederhana bahwa pemikiran fikih Kiai Sahal, dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunakan, dari sisi respon-kritisnya, dan dari sisi implementasi-emansipatorisnya maka, dapat katakana bahwa pemikiran fikih Kiai Sahal adalah berkecenderungan“kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy, responsi-kritis-emansipatoris.” Kecenderungan ini tak berubah—dalam pengamatan pendek penulis—sampai belaiu meninggal.
***
Selanjutnya, berikut penulis kutipkan pandangan-pandangan beliau terkait nalar fikih yang menurut penulis cukup progresif, moderat, bijaksanana dan menunjukkan kedalaman ilmu beliau. Pandangan-pandangan beliau di bawah nanti akan semakin mendukung tesis-tesis penulis di atas, yang secara umum bisa dikatakan bahwa Kiai Sahal sedang berupaya memperbaharui (tajdîd) pemikiran fikih (Indonesia). Berikut penulis ketipkan:
"Bagaimana pun rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks (klasik), bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fikih?Apakah harus mauquf (tak terjawab)?Padahal memauqufkan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Di sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat.Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa'id (kaidah-kaidah fikih).Pemikiran tentang perlunya "fikih baru" ini…karena adanya keterbatasan kitab-kitab fikih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer disamping muncul ide kontekstualisasi kitab kuning.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 :xiv-xv)
Pada halaman yang lain beliau mengatakan, "Rumusan ‘fikih baru’ ini kemudian dibahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung,1992. Di dalam hasil Munas tersebut di antaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhajiy (metodologis) serta merekomendasikan para Kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar.Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif).Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhâq (qiyas). Pengertian istinbath al-Ahkâm di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi—sesuai dengan sikap dasar bermazhab—mentadbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya." (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xv-xvi).
Melalui pernyataannya diatas, beliu ingin menyadarkan “kita” bahwa banyak persoalan baru yang hukumnya belum dibahas oleh ulama klasik. Ini sangat logis, sebab kehidupan terus berjalan, sehingga persoalanbaru pun terus bermunculan. Semisal saja hukum handpone (HP) yang di dalamnya terdapat mushhaf al-Qur'an. Penulis masih teringat ketika dalam suatu Bahstul Masail yang penulis ikuti--yang menjadikan permasalahan ini sebagai deskripsi masalahnya—tak ada peserta yang mempu menyodorkan dalil verbal ulama klasik (ibârah, dalam bahas pesantren) yang sharîh (jelas) dari kitab-kitab klasik. Akhirnya, pembahasan pun di-mauquf-kan (diberhentikan).Ini wajar, sebab, pada masa klasik, fenomena al-Qur’an dalam HP belum ada. Dan, persoalan semacam ini sebenarnya hanya bisa diselesaikan secara motodologis.
Oleh sebab itu, menurut beliau, disamping kita bermazhab secara qauliy (tekstual) juga harus bermazab secara manhajiy (metodologis).Namun agaknya, seruan Kiai Sahal agar—NU khususnya—bermazhab metodologis ini belum mendapatkan respon serius. Ini dibuktikan dengan masih minimnya perhatian terhadap kajian-kajian metodologis, khususnya ushul fikih di kalangan NU.Minin sekali kita jumpai forum Bahtsul Masail yang orientasinya adalahmanhajiy.
Dalam halaman yang lain beliu menyatakan, “fikih itu merupakan prodok ijtihad. Karena produk ijtihad maka keputusan fikih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru.Dimana-mana yang namanya fikih adalah "al-Ilmu bi al-ahkâm al-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatihâ al-tafshiliyyah". Definisi fikih sebagai al-muktasab (yang digali) menunjukan pada sebuah pemahaman bahwa fikih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis ... Semua itu menunjukan bahwa fikih "produk ijtihadiy". Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fikih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatar belakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan.Para peletak dasar fikih, yakni imam mazhab (mujtahidîn) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Qur'an dan Hadits) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks likungan keduanya baik asbab al-nuzûl maupun asbab al-wurûd.Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xx).
Dari pernyataan beliau bahwa “keputusan fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru” nampaknya beliau ingin mendesakralisasi fikih.Sebab, disamping ‘sakralisme’terhadap fikih berpotensi melahirkan taklid buta dan fanatisme bermazhab yangakan berdapmpak terkikisnya kepekaan kita terhadap perkembangan zaman, juga menjadi salah satu penyebab keengganankita untuk lebih memperhatikan ushul fikih yang notabene lebih penting daripada fikih itu sendiri.
Ketika kita telah terbelenggu keyakinanbahwa produk fikih (klasik) adalah kebenaran mutlak yang telah menyentuh segala persoalan klasik dan modern maka, entah disadari atau tidak, akan mengurangi perhatian kita terhadap usul fikih. Lalu, karena kurang perhatian inilah kemudian ushul fikih bisa stagnan. Dan, jika ushul fikh stagnasi maka, bisa dipastikan fikih tak akan pernah berkembang dan tak akan pernah ditemukan "fikih baru" seperti yang Kiai Sahal harapkan. Sebab, ushul fikih adalah pabrik pemroduksi fikih. Jika pabriknya mandek, tak lagi beroprasi, maka dipastikan disana tidak akan pernah ada produksi. Sehingga yang akan terjadi adalah ‘krisis hukum fikih’. Sementara produk lama telah usang.
Selanjutnya kritik Kiai Sahal atas sempitnya kriteria kitab-kitabmu’tabarah. Beliau mengatakan,"Dalam konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fikih sebagai produk ijtihad.Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti di situ ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihâd yâ yunqadhu bi al-ijtihâd" di atas….Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab, juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab tawasul kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xx-xxi)
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beliau melalaui pemikiran-pemikiran progresifnya tentang “fikih baru” sedang mengupayakan pembaharuan nalar fikih Indonesia, khususnya dikalangan internal NU dan pesantren-pesantrennya.
Itulah sekilas ulasan dari luasnya pemikiran Kiai Sahal yang sebenarnya tak memadahi dikaji dalam 3-4 halaman saja. Sehingga, pereduksian yang tak disengaja sangat mungkin bisa terjadi dalam kajian singkat ini.Membutuhkan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus halaman hanya untuk mengkaji lebih dalam, komprehensif serta objektif pemikiran beliau .Oleh sebab itu, tulisan ini pun dimaksudkan sebatas untuk memberikan sedikit gambaran umum pemikiran beliau dalam bidang fikih saja, meski pun, mungkin, belum mampu memberikan sedikit gambaran umum itu. Pada akhirnya, segala kekurangan dan kekeliruan dalam catatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Teruntuk guru kita bersama, Kiai Muhammad Achmad Sahal Mahfudh. Lahul fâtihah…
Sumber bacaan:Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Mahsun Fuad), Kritik Nalar Fikih ; Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masail (Lakpesdam NU) ; Dirâsah fî Fikih Maqâshid al-Syarî’ah (Yusuf Al-Qaradhawi); Nuansa Fiqih Sosial (KH. Sahal Mahfudh), Situs Resmi MUI dan beberapa sumber media online lainnya.
Muhammad Amrullah, koordinator umum Lembaga Bahtsul Masail dan anggota Lakpesdam NU Mesir
Sumber: NU Online