Statemen Gus Dur itu bukan sekadar luapan kegembiraan tapi juga suatu pengakuan bahkan justifikasi sekaligus pengukuhan bahwa Mbah Sahal adalah ulama alim allamah dalam bidang fiqh. Semua ulama dan intelektual muslim mengakui bahwa intelektualitas Mbah Sahal memang luar biasa dalam bidang fiqh.
Mbah Sahal selain punya intelektualitas tinggi juga produktif menelurkan karya intelektual di bidang fiqh. Karya-karya Mbah Sahal yang populer antara lain Intifakhu Al Wadajaini Fie Munadohorot Ulamai Al Hajain (1959); Faidhu Al Hijai (1962), Thariqat al Hushul ila Ghayah al Ushul (2000), Al Bayan al Mulamma an Alfaz al Luma (1999), Ensiklopedi Ijma’ (1985), Telaah Fiqh Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (1997), Al Tsamarah al Hajainiya ( 1960), Nuansa Fiqh Sosial (1994), Fiqih Sosial (1990), Ensiklopedi Ijma (terjemah bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausuâ’ah al Hajainiyah, 1960),Wajah Baru Fiqh Pesantren, Telaah Fiqh Sosial, Pesantren Mencari Makna, Dialog Dengan Kiai Sahal, dan masih banyak lagi.
Mbah Sahal sangat kritis dan terus berupaya melakukan rekonstruksi terhadap fiqh. Dalam pandangan Mbah Sahal, rumusan fiqh yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab persoalan sekarang. Situasi sosial, politik, dan budaya, sudah berbeda. Karena itu hukum harus berputar sesuai ruang dan waktu. Jika hanya fokus merumuskan pada pada rumusan teks maka fiqh sulit menjawab tantangan zaman jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqh.
Apakah harus mauquf (tak terjawab)? Padahal, kata Mbah Sahal, memaukufkan hukum jelas tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Karena itu, menurut Mbah Sahal, perlu “fiqh baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru bagi ulama (fuqaha).
Menurut Mbah Sahal, kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqh sertaqawaid (kaidah-kaidah fiqh). Ijtihad perlunya fiqh baru ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1980-an ketika marak diskusi tentang tajdid (pembaruan pemikiran Islam).
Rumusan fiqh baru ini sempat dibahas secara intensif dalam Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut di antaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhajiy (metodologis) serta merekomendasikan para Kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar.
Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama’I (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhâq (qiyas). Pengertian istinbath al Ahkam di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari aslinya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi—sesuai dengan sikap dasar bermazhab—mentadbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.” (Kritik Nalar Fiqih NU, hal. XV-XVI).
NU Identik dengan Fiqh
Para kiai NU memang sangat identik dengan fiqh. Bahkan hampir semua masalah sosial, budaya, termasuk politik, selalu dilihat dalam perspektif fiqh. Karena itu mudah dipahami jika dalam NU lahir ulama-ulama brilian dan visonir di bidang fiqh seperti Mbah Sahal dan KH Bisri Sansuri, Rais Am PBNU pasca KH Abdul Wahab Hasbullah.
Menurut Taufiqurrahman, kelebihan Mbah Sahal yang tidak dimiliki orang lain adalah mampu mensinergikan fiqh dengan pemikiran kritis kontemporer sehingga gagasan pemikiran fiqhnya tidak terlalu vulgar bahkan lebih menuju pada fiqh sosial. Artinya, fiqh tidak hanya menjadi ilmu akhirat yang menafikan kehidupan. Sebaliknya, Mbah Sahal meracik dan mengapliksaikan dalam bentuk pemberdayaan manusia.
Bagi Kiai Sahal, fiqh sosial lebih menitik-beratkan pada aspek kemaslahatan publik (masholihu al-ummah). Di mana ada maslahah, di sanalah fiqh sosial dikumandangkan. Dalam menentukan kemaslahatan, ada lima pijakan primer (al-dhoruriyat al-khomsah), yakni menjaga agama (hifzu al-din), menjaga akal/rasio (hifzu al-aql), menjaga jiwa (hifzu al-nafs), menjaga harta (hifzu al-maal), dan menjaga keturunan (hifzu al-nasl). Bahkan Mbah Sahal menambahkan dengan menjaga lingkungan (hifzu al-biah).
Peradaban fiqh, menurut Nirwan Syafrin (2005), merupakan salah satu produk par excellence yang pernah dihasilkan peradaban Islam; ia bukan hasil adopsi apalagi jiplakan dari Hukum Romawi (Roman Law) seperti dikatakan sebagian orientalis, tetapi murni kreativitas intelektual Muslim yang sepenuhnya berakar pada pijakan al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Tidak salah kalau para peneliti Islam banyak berkesimpulan bahwa tidak mungkin mengetahui Islam dengan baik tanpa pengetahuan komprehensif tentang fiqh. Begitu kuatnya pengaruh fiqh, sehingga tidak salah kalau Islam diidentikkan dengan “peradaban fiqh”, sama dengan Yunani yang diidentikkan dengan “peradaban filsafat”.
Dalam politik, NU bisa bersikap fleksibel, justru karena faktor fiqh. Bahkan akrobat politik NU sejak organisasi Islam terbesar ini terlibat dalam percaturan politik kemerdekaan juga selalu didasarkan pada perspektif fiqh.
Selamat Jalan Mbah Sahal, kami akan meneruskan perjuanganmu.
Oleh: Imam Nahrawi
Sekjen DPP Partai Kebangkitan Bangsa
Sumber: Harian Nasional Online