Munawir Aziz,
Alumnus Sekolah Pascasarjana UGM
Nalar apa sebenarnya yang mengukuhkan gerakan librisida? Pembantaian buku (librisida) dalam sejarahnya digerakkan oleh iktikad buruk memandang pengetahuan dan tipikal vandalisme. Membantai buku, dengan segala macam modelnya: merusak, membakar, melarang peredaran, hingga membubarkan paksa diskusi buku, merupakan catatan hitam dalam sejarah peradaban manusia, di mana pun dalam wangsa apa pun. Pembantaian buku merupakan kabar buruk dalam historiografi pengetahuan umat manusia.
Kabar buruk itu kali ini datang dari Surabaya. Jumat (7 Februari 2014) sore, sekumpulan orang yang berjubah dan mengatasnamakan kelompok agama menggeruduk gedung Perpustakaan C2O, yang sedianya menyelenggarakan diskusi buku karya Herry A. Poeze. Hasil riset Poeze-sejarawan Belanda-yang mendokumentasikan pikiran dan gerak sejarah Tan Malaka, menjadi topik perbincangan. Buku Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (edisi 4, penerbit Obor) sedianya menjadi teks pemicu. Tapi diskusi buku ini terpaksa dibatalkan karena ancaman dari orang-orang yang mengatasnamakan FPI (Front Pembela Islam).
Gerakan kekerasan untuk menghajar sebuah perhelatan diskusi hasil riset sejatinya adalah bagian dari pembantaian buku. Dalam perkembangan peradaban di muka bumi ini, pembantaian buku menjadi catatan hitam dalam historiografi pengetahuan. Fernando Baez (2013) dengan jeli mencatat tragedi-tragedi pembantaian buku dalam sejarah umat manusia. Baez dengan jeli melacak asal mula perkembangan buku, serta titik historis di mana buku dibantai dengan kekerasan. Justru-menurut Baez-mereka yang menyebut dirinya kaum intelektual, berjasa dalam agenda pembantaian buku. Kaum intelektual membantai buku-buku yang tidak segaris dengan alam pikirannya, dengan ideologinya.
Penghancuran National Library of Bagdad, Irak, terjadi pada detik-detik runtuhnya kekuasaan Saddam Hussein antara tanggal 9 dan 10 April 2003. Pembantaian buku pada masa Antik di Sumeria, 4100-3300 SM, merupakan catatan arkeologis terkait dengan librisida. Catatan sejarah ini membuka tabir gelap sejarah pembantaian buku, yang telah terjadi ribuan tahun yang lalu.
Di bagian periode yang lain, vandalisme menjadi motif untuk membakar dan merusak buku dalam sejarah pengetahuan manusia. Buku karya Marco Kartodikromo, Student Hidjo, juga dibantai oleh penguasa kolonial, pada paruh pertama abad XX. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer juga terkena nasib yang sama: dibantai oleh penguasa dan rezim militer.
Politik ideologi Orde Baru yang menganggap segala macam hal yang berbau komunis wajib diberangus menjadi pemicu pembantaian buku oleh rezim Soeharto. Akibatnya, hingga kini, komunisme merupakan bayang-bayang misterius bagi sebagian warga negeri ini. Tidak adanya data penyeimbang menjadi penyebab misteri tentang peristiwa September 1965.
Tragedi pembantaian buku sejatinya wajib dihentikan, jika ingin pengetahuan berkembang. Librisida merupakan catatan hitam di tengah usaha membangun pengetahuan dan peradaban negeri ini. Semoga kasus di Perpustakaan C2O Surabaya menjadi yang terakhir dalam tragedi librisida di negeri ini. *
Sumber: Tempo