Oleh: Muhammad Ni'am
Mahasiswa Program S3, IIU, Pakistan

Atas sumbangan KH. MA. Sahal Mahfudz dalam pengembangan Fikih Sosial dan pengembangan pesantren ke arah orientasi yang bernuansa fikih sosial, beliau mendapatkan gelar Doktor HC. Momen tersebut di satu pihak menggugah kita untuk menelaah lebih jauh atas esensi fikih sosial, dan di lain pihak menyadarkan kita akan satu aspek wacana fikih yang menarik untuk dikembangkan dalam masyarakat kita, khususnya dalam dunia pesantren tradisional.

Gagasan fikih sosial itu bukanlah merupakan hal baru karena telah secara evolusif mengakar kuat dalam khazanah ilmu fikih tradisional. Namun mengangkat kembali prinsip-prinsip yang tertuang di dalamnya secara kontekstual merupakan kreatifitas baru yang memerlukan ijtihad baru secara multi-dimensional dan komprehensif, yaitu mencakup dimensi fikih itu sendiri sebagai bagian dari disiplin ilmu hukum syariat dan dimensi sosial kemasyarakatan yang sarat dengan nuansa etika dan akhlaq.

Dari Fikih Formal ke Fikih Etos
Beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari pemikiran Fikih Sosial yang dirumuskan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz, adalah sebagai berikut:

1. Membebaskan fikih dari kungkungan formalitas-legalistik ke arah etos fikih. Fikih tidak seharusnya dipahami dalam dimensi formal-legal semata, tetapi harus dibarengi dimensi etika, agar pengembangannya benar-benar sejalan dengan fungsinya. Fungsi ajaran syariat yang tertuang dalam fikih adalah membimbing, sekaligus memberi solusi atas persoalan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial.

2. Fikih sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol, yaitu (1) interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual, (2) perubahan pola bermadzhab dari tekstual madzhab qaul ke madzhab metodologi madzhab manhaj, (3) verifikasi mendasar ajaran pokok (ushl) dan cabang (fur), (4) fikih dihadirkan sebagai etika sosial, serta (5) pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.


3. Fikih sosial dalam merespon berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat lebih mengedepankan solusi fikih yang lebih bersifat sosial dan berporos pada konsep maslahat dan kebaikan umat.

4. Pengembalian fikih agar sesuai dengan prinsip etika, dengan mengintegrasikan Maqshid al-Syarah maksud-maksud diturunkannya syariat ke dalam proses pengembangan kerangka teoritis fikih. Dalam konteks ini, hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam illat alasan atau dasar diturunkannya hukum, sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum. Ini merupakan rekonstruksi atas konsep Qiys analogi secara lebih fleksibel dengan berangkat dari landasan maslahat dan kebaikan umat tadi.


5. Membebaskan fikih yang sarat nuansa politik formalistik yang terpisah dari etika, dan mengembalikannya kepada jalur etika. Ini mungkin yang pernah dikonsepkan oleh al-Ghazal dalam gagasannya dalam mengintegrasikan antara fikih dan tasawuf.

Gugatan atas Stagnasi Fikih Konvensional
Gagasan fikih sosial yang dimunculkan oleh KH. Sahal Mahfudz dapat dipahami sebagai respon atas stagnasi (jumud) yang dialami oleh fikih konvensional, khususnya dalam masyarakat pesantren tradisional. Gejala stagnasi tersebut ditandai dengan semakin jauhnya kajian fikih yang berkembang di dunia pesantren dan masyarakat sekitarnya, dari sumber aslinya, yaitu al-Quran dan Sunnah. Tidak hanya itu, bahkan telah terjadi gejala pengkultusan terhadap fikih itu sendiri, sehingga yang terjadi adalah menjadikan fikih yang merupakan produk hukum menjadi sumber hukum. Inilah yang oleh beliau disebut sebagai taqld qauli, yaitu bertaqlid kepada produk fikih secara buta tanpa memikirkan metodologi dan proses yang melatarbelakanginya, padahal keduanya tersebut terkadang sarat kepentingan dan sering diwarnai oleh kondisi yang menggiring kepada formalisme fikih.

Fenomena taqld qaul dan pengkultusan fikih di masyarakat bila dibiarkan, seperti dikhawatirkan oleh beliau, akan mengantarkan kepada kesalahan metodologis yang sangat fatal dalam memahami syariat karena memposisikan hukum fikih lebih utama dibanding dengan sumber aslinya, yaitu nash al-Quran dan Sunnah, bahkan dari metodologi yang melahirkan hukum fikih itu sendiri.

Gejala negatif lain yang mungkin muncul akibat merebaknya taqld qaul dalam memahami fikih adalah makin luasnya kesenjangan antara pemahaman fikih dan berbagai problematika yang berkembang di masyarakat. Ini karena yang muncul adalah pemahaman fikih tekstual, bukan kontekstual. Perspektif fikih seperti ini juga makin mempersepsikan fikih sebagai hukum yang tidak membumi dan pada gilirannya akan semakin statis karena tertinggal jauh dari tuntutan zaman yang melaju sedemikian cepat. Peletakan fikih sebagai hukum formal juga merupakan akibat lain dari pemahaman nash fikih secara qaul dan tekstual.

Untuk itu, KH. Sahal Mahfudz mengajak untuk melakukan tansformasi ke arah taqld manhaj (methodologis) sebagai ajakan agar nuansa sosial fikih kembali digali dan dibumikan untuk menjawab berbagai permasalahan sosial yang muncul. Dengan demikian, fikih tidak lagi terlihat berupa hukum-hukum langit yang sangat kaku dalam mensikapi berbagai permasalahan yang timbul. Memahami fikih secara metodologis juga berarti melepaskan keterkungkungan pemahaman fikih yang terpidana pada teks-teks turats ke arah pemahaman dengan melalui metodologi yang melahirkan dan melatarbelakangi munculnya fikih itu sendiri. Ini juga berarti upaya menghadirkan fikih yang fleksibel, kontekstual dan mampu memberikan solusi yang dibutuhkan masyarakat. Maka, untuk menghadirkan fikih yang fleksibel tersebut perlu mentransformasikan fikih ke dalam nilai-nilai etika.

Fiqh Sosial dan Teori Maslahat
Sejak konsep maslahat dirumuskan oleh para ulama Ushul Fiqh, termasuk nama yang paling populer dalam mengkaji konsep maslahat ini, yaitu Imam Sythib dan Al-Thf, perkembangan pemikiran fikih mengalami perubahan yang fundamental. Meskipun terjadi pro kontra antar para ulama, apakah maslahat bisa dijadikan landasan hukum dengan berbagai perinciannya, namun di kalangan para ulama sepertinya telah terjadi kesamaan rasa bahwa munculnya teori maslahat telah menguak aspek fleksibilitas fikih yang selama ini makin terpendam.

Gagasan fikih sosial yang dimunculkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz telah memberikan stressing pada penerapan terori maslahat dengan ketiga kategorinya (1) dlarriyyt (primer), (2) hjiyyt (sekunder), (3) tahsniyyt (komplimenter). Dari situlah muncul semangat mengedepankan teori maslahat dalam mengkaji fikih dan mengembangkannya.

Gagasan ini secara implisit mengingatkan kepada kita kepada realitas dan fenomana yang ada saat ini, bahwa makin banyak produk hukum fikih yang implementasinya tidak mewujudkan maslahat, dan makin banyak produk fikih yang tidak mengacu kepada konsep maslahat, yang tidak lain karena selama ini terkungkung kepada nash-nash turats yang dipahami secara tidak metodologis.

Untuk itu, menarik sekali seruan kepada pemilahan sistematis dan metodologis terhadap aspek ushl dan fur dalam agama secara umum. Tentu saja, upaya tersebut dalam rangka meletakkan terori maslahat secera lebih proporsional.

Ijtihad Baru
Fikih Sosial juga membuka paradigma baru ijtihad yang selama ini oleh beberapa kalangan yang dihinggapi pesimisme intelektual dianggap telah tertutup. Taqld manhaj adalah nama lain dari berijtihad sesuai metodologi yang dikembangkan oleh pembuat metodologi tersebut. Bertaqlid secara manhaj kepada seorang imam berarti berijtihad sesuai dengan metodologi yang dikembangkan oleh imam tersebut. Ini menuntut pemahaman terhadap latar belakang dan proses yang dialami oleh imam tersebut dalam memutuskan suatu masalah sesuai tinjuan syariah. Dalam kata lain, aspek historisitas fikih dan terutama aspek sosio-historis suatu hukum fikih harus selalu dikaji, karena tanpa ini apa yang disebut taqld manhaj tidak akan bisa terealisasi.

Sementara itu, metodologi fiqh atau ushul fiqh, selalu menyangkut korelasi antara produk hukum (fikih) dengan sumber hukumnya, yaitu nash Quran, Hadist dan Ijma. Berbicara metodologi tanpa menyangkut korelasi tersebut sama halnya berbicara masalah produk hukum tanpa meninjau aspek sosiologis dan sumber hukumnya. Dan hal ini akan memunculkan produk hukum yang pincang. Fikih sebagai produk hukum syariah harus tetap diposisikan sebagai sumber antara (secondary resources), sedangkan nash-nash Quran dan Sunnah harus tetap diposisikan sebagai sumber utama (primary resources) dan metodologi adalah yang menghubungkan antara kedua sumber hukum tersebut. Ini mungkin yang oleh beliau disebut dengan mem-verifikasi ajaran pokok dan cabang secara mendasar.

Penutup
Gagasan Fikih Sosial, dalam tinjauan disiplin ilmu fiqh sendiri, merupakan hal yang cukup menarik, namun masih memerlukan pendalaman dan beberapa perangkat pendukung, terutama sosialisasinya di kalangan pesantren. Pematangan metodologis masih perlu dilakukan, seperti pada konsep taqld manhaj itu sendiri, termasuk pola korelasi dalam menghadirkan fikih sebagai etika. Begitu juga masalah pengambilan maslahat dan integrasi hikmah dan illat dalam qiys perlu terus dimatangkan dalam kerangka metodologis.

Pemikiran fikih sosial bila mampu tersosialisasikan dengan baik, khususnya di dunia pesantren tradisional yang sudah cukup berpengalaman dalam bergelut dengan kajian dan pengembangan fikih, akan sangat luar biasa. Bisa diprediksikan akan terjadi loncatan pemikiran fikih yang sangat dinamis dengan mengembangkan gagasan-gagasan yang ada dalam pemikiran fikih sosial yang dilontarkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudz tersebut. Semoga kita bisa mengambil nilai-nilai positif darinya.



* Tulisan ini makalah sederhana yang disampaikan dalam Seminar tentang Pemikiran K.H. M.A Sahal Mahfudz, tanggal 22 Juli 2003, di Kajen, Pati. Diedit dikit-dikit oleh Tom, dan disajikan buat peserta pengajian milis KMNU2000.