TEMPO.CO, Pati – Ketua Umum Suriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Sahal Mahfudz meninggal dunia pada Jumat, 24 Januari 2014 dinihari. Kiai kharismatik yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini meninggal pada usia 77 tahun di kediamannya, kompleks Pesantren Maslakhul Huda, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Beliau sempat dirawat di RS Kariadi Semarang, Jawa Tengah, karena gangguan jantung dan paru-paru yang sudah lama dideritanya.


Kiai Sahal terlahir dengan nama Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd Salam Alhajaini dari pasangan Kiai Mahfudz bin Abd Salam Alhafidz dan Hj Badi’ah. Ia lahir di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, pada 17 Desember 1937. Kiai Sahal merupakan anak ketiga dari enam bersaudara.

Kiai Sahal lahir dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan mengabdi di pesantren. Kiai yang dikenal dengan pemikiran fikih sosialnya ini pertama kali terpilih sebagai Ketua Rais Aam dalam Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999.

Dedikasinya kepada pesantren, masyarakat, dan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Ia menguatkan tradisi dengan ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fikih ditambah keserasian dengan akhlak yang diajarkan dari ulama tradisional. Dalam istilah pesantren, semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).

Minat baca Kiai Sahal sangat tinggi. Terbukti beliau punya koleksi 1.800 buku di rumahnya. Meskipun orang pesantren, bacaannya cukup beragam, seperti tentang psikologi hingga novel detektif. Walhasil, belum genap berusia 40 tahun, dirinya telah menunjukkan kepintarannya dalam forum fikih. Ia juga pernah dianugerahi gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kiai Sahal adalah pemimpin pesantren Maslakul Huda Putra sejak 1963. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, K.H. Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai pemimpin pesantren, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU. Sikapnya yang menonjol ialah mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.

Kiai Sahal juga menegaskan, sejak awal berdirinya NU, warga NU yang merupakan bagian dari masyarakat madani berada pada kutub yang berseberangan dengan negara. Kiai Sahal mencoba mempertahankan tradisi tersebut. Saat itu, konteksnya adalah naiknya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI.

Dia pun menyatakan pemerintah tidak perlu ikut campur dalam hal agama. Menurut dia, pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tapi jangan intervensi terlalu jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan.

Perihal Pancasila, dia menyatakan itu bukan ciri, tetapi visi. “Identitas artinya ciri intrinsik yang melekat pada sesuatu yang dicirikan. Identitas bangsa banyak dibicarakan orang, tetapi tidak banyak dikupas. Bila identitas bangsa sudah ditetapkan, daerah boleh memiliki ciri khasnya dengan koridornya tetap identitas bangsa.

Kiai Sahal menikah dengan Hj Nafisah binti KH Abdul Fatah Hasyim, pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang pada 1968. Pasangan ini memiliki putra bernama Abdul Ghofar Rozin.