Oleh: Tutik N. Jannah
Bekerja sesungguhnya merupakan salah satu bentuk rasa syukur manusia atas nikmat kesehatan badan dan juga pikiran yang diberikan Alloh SWT. Sebab ketika bekerja, seseorang akan menggerakkan raga dan otak yang dimilikinya. Dengan menggerakkan raga dan otak yang dianugerahkan Tuhan, artinya seseorang telah berusaha mensyukuri nikmat dengan memaksimalkan fungsi dan kegunaannya demi kemanfaatan yang lebih besar.
Banyak orang berfikir bahwa kaya dan bekerja merupakan satu kesatuan. Pikiran ini kemudian mendorong asumsi bahwa menjadi kaya merupakan tujuan utama dalam bekerja. Akibatnya, jika seseorang merasa telah bekerja, namun tidak juga menjadi kaya, maka rasa kecewalah yang akan meliputinya. Kecewa kepada manusia di sekelilingnya atau pada apapun yang menurutnya menjadi penghalang untuk menjadi kaya.
Kaya seharusnya bukanlah tujuan utama dalam bekerja. Kaya dalam artian melimpahnya harta yang dimiliki seseorang sesungguhnya tidak akan pernah mencapai makna dalam arti sesungguhnya. Kepuasan menjadi kaya tidak akan didapatkan jika seseorang melulu mengejar target kelimpahan harta. Sebab, seberapapun banyak uang yang dimiliki, pasti akan ada orang lain yang memiliki lebih banyak harta. Semakin lama bekerja demi menjadi kaya, maka semakin kekurangan yang dirasakan. Sebab sudah jamak terjadi, bahwa kian banyak harta yang dimiliki akan kian banyak pula kebutuhan yang dirasa belum dapat terpenuhi.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa meniatkan segala macam aktifitasnya di dunia ini untuk ibadah kepada Alloh SWT. Ibadah yang dimaksudkan di sini bukan semata berupa sholat atau membaca al-Qur’an. Pada prinsipnya apapun hal yang dilakukan jika diniatkan untuk beribadah, maka akan memiliki nilai ibadah. Namun, sebaliknya, kebaikan-kebaikan yang tampak di depan mata sebagai ibadah, justru dapat kehilangan nilai ibadahnya, jika diniatkan bukan untuk beribadah.
Bekerja jika diniatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga merupakan aktifitas duniawi yang akan memiliki nilai ibadah. Seorang wirausahawan yang mendirikan perusahaan demi untuk membuka lapangan pekerjaan dan membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, juga merupakan aktifitas duniawi yang akan memiliki nilai ibadah. Dalan ajaran Islam, niat memiliki kedudukan penting. Kaidah Fiqh yang menyatakan bahwa al umuru bi maqoshidiha menemukan momentumnya ketika ibadah tidak semata-mata disandarkan kepada sholat dan membaca al Quran semata. Berwirausaha dan membangun kemandirian ekonomi secara individu maupun secara kolektif, dapat pula bernilai ibadah jika memang diniatkan untuk kemaslahatan umat.
Kenapa niat merupakan persoalan penting bagi umat Islam. Hal ini dikarenakan niat memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pola pikir dan prilaku seseorang. Wirausahawan yang meniatkan kegiatan wirausahanya demi untuk kemaslahatan umat tentu akan mendedikasikan hidupnya untuk meningkatkan etos kerja dan kualitas produk agar perusahaan dapat kian berkembang sehingga mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja dan mendukung kegiatan-kegiatan sosial secara kolektif. Hal ini tentu berbeda dengan seorang wirausahawan yang hanya mendasari usaha yang dilakukannya hanya demi menjadi kaya dan berkelimpahan harta. Niat memang di dalam hati. Namun iktikad baik yang ditimbulkan oleh niat yang baik akan dapat tercermin dari pola pikir dan sikap hidup sehari-hari.
Berulangkali saya mendengar kiai Sahal berpesan: “kerjo’o, ben ora thoma’” atau bekerjalah, demi menjauhi sifat thoma’. Thoma’ merupakan sifat yang selalu berharap-harap atas pemberian orang lain atau terhadap apa yang dimiliki orang lain. Thoma’ terhadap warisan, thoma’ terhadap tetangga yang berkecukupan atau thoma’ mendapatkan apa yang dimiliki orang lain. Lafadz Thoma’ yang dalam bahasa arab terdiri dari huruf tho’, mim dan ‘ain, seringkali menjadi ibarat mengenai hakikat prilaku yang menandai sifat thoma’ itu sendiri. Orang-orang pesantren seringkali memaknai huruf tho’, mim, dan ‘ain, dalam lafadz thoma’ yang terdiri dari huruf yang berbentuk bolong-bolong. Maka hakikatnya, seseorang yang menggantungkan hidupnya dari berharap pemberian orang lain atau orang yang hidupnya melulu terpaku pada apa yang dimiliki oleh orang lain, maka pada akhirnya hanya akan mendapatnya pepesan kosong belaka.
Kiai Sahal tidak pernah berpesan bekerjalah agar menjadi kaya. Kiai Sahal sendiri melalui masa sepuhnya dengan kehidupan yang bisa dibilang berkelimpahan. Namun beliau adalah ulama yang mendasari hidupnya dengan nilai-nilai tasawuf sebagai etika dalam menjalani kehidupan. Pesan beliau mengenai keutamaan bekerja sebagai upaya menjauhi sifat thoma’ merupakan wujud keresahan beliau terhadap banyaknya orang-orang muslim yang cenderung senang mengharap pemberian orang lain, dibanding dengan kegemaran bekerja dalam upaya membuka pintu rizkinya. Pesan kiai Sahal ini sekaligus juga untuk mengingatkan bahwa niat bekerja haruslah senantiasa diluruskan. Sebab sifat thoma’ yang bermula dari “ngarep-ngerep” pemberian orang lain, dapat berkembang menjadi sifat tamak dalam bahasa Indonesia yang berarti tiada habisnya dalam menginginkan mendapatkan kelimpahan harta.
Bekerja demi menghindari sifat thoma’ merupakan nasehat Kiai Sahal agar umat Islam tidak malu untuk bekerja demi mencukupi kehidupannya di dunia. Bekerja merupakan washilah manusia untuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Jika setiap individu memiliki kesadaran terhadap pentingnya bekerja, maka pada akhirnya, akan tercipta masyarakat muslim yang berdaya secara ekonomi dan secara sosial. Namun, dalam hal ini Kiai Sahal mengingatkan bahwa jangan sampai sikap suka bekerja keras ini merubah menjadi keinginan mendapatkan kelimpahan harta yang tiada batasnya. Sikap mau bekerja keras demi membuka pintu rizki dibatasi oleh niat di dalam hati, bahwa bekerja dilakukan demi menghindari sifat thoma’.
Keseimbangan hidup merupakan hal penting untuk mencapai kearifan diri. Jika menumbuhkan sikap suka bekerja keras adalah layaknya pegas yang berguna untuk mempercepat laju kendaraan, maka selalu meluruskan niat dalam bekerja merupakan rem yang akan membuat laju kehidupan menjadi lebih seimbang.
Ibarat orang yang sedang sholat, niat harus senantiasa dijaga sejak niat itu diucapkan bersamaan dengan takbiratul ihram hingga pada saat akhir sholat dilaksanakan yakni ketika salam. Maka orang bekerjapun harus senantiasa meniatkan hati untuk beribadah. Bekerja demi menjauhi sifat thoma’ merupakan sebentuk ibadah demi menghidari kemungkaran secara hati, lisan, pikiran dan perbuatan. Bekerja demi menjauhi sifat thoma’ juga berarti menjauhkan hati, lisan, pikiran dan perbuatan agar tidak semata-mata terpaku pada materi yang didapatkan dari pekerjaan yang telah dilakukan. Bekerja dengan niat ibadah, demi mendapatkan nafkah halal dan menghindari penyakit hati berupa thoma’ memiliki nilai-nilai yang lebih utama daripada jika bekerja hanya sekedar diniatkan untuk menjadi orang kaya. Wallohu A’lam.