Oleh: Munawir Aziz


Kiai Sahal Mahfudh memang telah wafat satu tahun yang lalu, akan tetapi karya dan gagasan beliau masih tetap terasa mendampingi. Ide, gagasan dan kerja pemberdayaan sosial Kiai Sahal, terasa hadir di tengah-tengah komunitas santri, maupun di Nahdlatul Ulama dan MUI. Meski Kiai Sahal dikenal sebagai ‘alim dan faqih, yang mengusung fiqh sosial, gagasan beliau dalam bidang politik kebangsaan menjadi penting di tengah situasi bangsa saat ini.


Pidato Kiai Sahal pada September 2013, di agenda Munas NU, sangat jelas dalam mengartikulasikan konsep politik kebangsaan. Dalam konteks ini, etika politik yang menjadi prinsip Kiai Sahal, berada dalam rumusan fiqh Sosial, dengan menempatkan sumber-sumber hukum Islam sebagai etika sosial. Etika politik, dalam prinsip, pemikiran dan tidakan Kiai Sahal, menjadi tuntunan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan membela bangsa. Politik kebangsaan dan politik kerakyatan, menjadi tujuan utama, bukan mengagungkan politik kekuasaan.


Menurut Kiai Sahal, tujuan politik sebenarnya adalah membawa kesejahteraan rakyat, dengan kontribusi untuk membawa umat ke ruang keinginan finalnya, yakni keselamatan dunia akhirat. Dengan demikian, politik merupakan washilah (strategi, cara) bukan ghayah (tujuan). Kiai Sahal, menuliskan: “soal politik bukan sekedar soal menyalurkan aspirasi politik untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, melainkan soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi ummat. Karena itu, yang penting bukan penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih islami. Bila ini terjadi, maka kenyataan sekularlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatuddarain” (Mahfudh, 2012:221).


Prinsip dan etika politik Kiai Sahal, menjadi referensi penting di tengah kegalauan politik komunitas pesantren, maupun dalam rumusan ulang hubungan antara komunitas pesantren, Nahdlatul Ulama dan negara. Relasi antara santri dan negara perlu dijernihkan kembali, sebagai saling berkontribusi, bukan terpisah satu sama lainnya. Hubungan antara santri dan politik kebangsaan, sebenarnya telah menjadi bagian dari konfigurasi politik pesantren maupun Nahdlatul Ulama sejak berdirinya, pada 1926. Peran kebangsaan berupa perlawanan terhadap rezim kolonial, dengan diplomasi politik, maupun pembentukan laskar ulama santri, menjadi bukti bahwa komunitas pesantren memiliki kontribusi terhadap berdiri tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia. Rumusan etika politik Kiai Sahal, menjadi referensi prinsip untuk melihat kembali posisi komunitas pesantren dan negara.


Rumusan gagasan dan tindakan Kiai Sahal Mahfudh tidak bisa dilepaskan dari konteks proses hidupnya dalam memperjuangkan nilai-nilai pesantren, sebagai subkultur dalam panggung Islam di Indonesia. Jika selama ini Kiai Sahal dipahami lebih detail pada konteks hukum Islam, berupa gagasan fiqh sosial, tulisan ini menggaris bawahi gagasan dan tindakan Kiai Sahal, dalam etika politik kebangsaan dan kerakyatan.


Kiai Sahal membagi politik dalam kerangka politik kebangsaan, kerakyatan dan politik kekuasaan. Menurut Kiai Sahal, politik kekuasaan merupakan wilayah dari partai politik untuk berdialog maupun berkompetisi dalam merebut ruang-ruang kekuasaan dan struktural. Sementara, politik kebangsaan dan kerakyatan merupakan ijtihad politik untuk memperjuangkan nilai-nilai prinsip keagamaan, tanpa terjebak pada proses kontestasi perebutan kuasa. Menurut Kiai Sahal, politik kebangsaan-kerakyatan merupakan politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyyah). Selain itu, Kiai Sahal berpedoman bahwa Islam merupakan inspirasi politik, bukan aspirasi dan fiqh siyasah dikembangkan dalam konfigurasi pemberdayaan sosial dan kesejahteraan masyarakat.


Wasiat terakhir Kiai Sahal tentang politik kebangsaan perlu menjadi renungan bersama, dalam bersikap kokoh membela NKRI. Etika politik inilah, yang seharusnya diteladani bersama [].


*Munawir Aziz. Peneliti Fiqh Sosial Institute-STAIMAFA, mempersiapkan buku terbarunya, ‘Gus Dur & Jaringan Tionghoa Nusantara”, Editor Buku  ‘Epistemologi Fiqh Sosial (2014). Em: moena.aziz@gmail.com