Fiqh merupakan produk budaya, dalam konteks Indonesia, maka fiqh adalah produk budaya Indonesia. Bahwa fiqh adalah produk hukum yang dipengaruhi budaya lokal, maka fiqh Indonesia tidak terlepas dari pengaruh negara dan hukum Indonesia, juga Islam dan politik hukum orde baru. Perkembangan dan corak perubahan dalam fiqh Indonesia antara lain dapat dilihat dari proses politik kompilasi hukum Islam yang lebih tunduk pada negara. Dengan demikian dapat dilihat adanya indikasi pengaruh yang besar dari politik Indonesia terhadap fiqh Indonesia.
Pembahasan fiqh Indonesia dalam buku ini dilengkapi dengan kompilasi hukum Islam (KHI) dan counter legal drafting (CLD KHI). Kedua contoh produk hukum tersebut menandai terjadinya prubahan dalam “era fiqh Indonesia”. CLD KHI menjadi bukti adanya semangat pergerakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, yang datang dari kalangan ulama’ Indonesia seperti KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdurrahman Wahid, termasuk KH. Dr. M. A. Sahal Mahfudh. Perubahan ini membuktikan bahwa fiqh sebetulnya mampu menjawab kebutuhan dan tantangan zamannya. Bukan hanya menjadi hukum yang tertinggal dan menjadi batuan sejarah.
Fiqh dalam kehidupan umat Islam dibutuhkan untuk memperoleh ketentuan hukum yang dibutuhkan, sesuai dengan konteks masalah yang dihadapi dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Menjadi sangat relevan jika kemudian fiqh Indonesia yang sangat kontekstual dengan budaya Indonesia, dapat menjadi pemahaman komprehensif atas teks Al-Quran dan hadis sebagai produk hukum Islam Indonesia. Tentunya tanpa mengabaikan asas-asas dan tujuan hukum syari’ah Islam.
Indonesia tidak menutup kemungkinan memiliki fiqh sendiri. Jika Al-Quran bersifat qadim dan universal, maka fiqh adalah hadits, partikular, fleksibel, dan kebenarannya relatif. Fiqh lahir dari akal yang bersifat subyektif dan berkembang sesuai perkembangan zaman dengan berbagai dimensinya. Berdasarkan hal ini, Islam dapat saja disebut menganut pluralisme hukum, yang ditandai dengan perkembangan fiqhnya. Islam juga mengakui otonomi keilmuan dan kebebasan akademik, berpendapat dan berpikir, dan tidak ada pemberlakuan asas hukum positifatas fiqh.
Di Indonesia, fiqh memiliki dasar teologis yang khas. Sebagaimana disebutkan dalam keputusan muktamar NU ke-11 di Banjarmasin 9 Juni 1936. Status hukum negara Indonesia yang waktu itu masih dikuasai pemerintah Belanda adalah Dar al-Islam (negeri Islam). Mengapa demikian, karena alam sejarahnya, Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang Islam dan mereka dapat secara bebas menjalankan syari’at keagamaan. Maka, fiqh Indonesia adalah fiqh yang dipraktikkan oleh masyarakat NU dan pesantren, yaitu fiqh yang menyatu dengan budaya dan tradisi Indonesia.