Oleh: Umdah El Baroroh


Sejarah perkembangan fiqh telah berjalan berabad-abad. Setiap fase perkembangannya, fiqh memiliki corak yang berbeda-beda. Perbedaan corak itu dipengaruhi oleh kondisi sosial yang melingkupi. Ini semakin meyakinkan bahwa fiqh merupakan pergulatan teks dan budaya dalam merespon permasalahan masyarakat. Oleh karena itu fiqh dengan demikian mengalami pasang surut, dari yang sifatnya simple sampai yang sangat kompleks, ditel, dsb. Jika pada masa Nabi, fiqh sangat sederhana, tidak membutuhkan teori dan metodologi, maka pada zaman sahabat dan tabi’in mulai dikembangkan teoritisasi-teoritisasi fiqh, hingga mencapai zaman keemasannya dengan berhasil meletakkan metodologinya yang sangat ilmiah. Selain itu dalam setiap fase perkembangannya, tidak jarang muncul berbagai varian madzhab dalam fiqh sendiri, bahkan juga terjadi pro-kontra. Ada madzhab ahl al-ra’yi yang dikenal sangat rasional, adapula madzhab ahl al-hadis yang dikenal lebih berhati-hati. Ini semua menunjukkan keberagaman fiqh yang sangat dipengaruhi oleh model berpikir masyarakatnya.


Pada zaman sekarang, keberagaman corak fiqh juga tidak mungkin kita hindari. Karena tuntutan perubahan pada setiap ruang dan waktu tentu saja tidak dapat dihindari. Problematika yang ada pada hari ini tentu saja tidak cukup kita selesaikan secara simplistis melalui penelaahan kompilasi hokum fiqh yang telah ada. Karena seringkali hokum-hukum yang telah ada tidak memiliki latar belakang atau konteks sejarah yang sama. Sehingga meskipun ditemukan bunyi hukumnya, belum tentu hokum tersebut dapat diterapkan sebagai jawaban yang tepat. Oleh karena itu fenomena semacam ini juga harus mendapatkan perhatian dalam fiqh. Apalagi persoalan hokum yang dihadapi masyarakat semakin kompleks dan rumit.


Di beberapa Negara muslim, upaya penyikapan hal tersebut telah dilakukan oleh ulama’-ulama’ fiqh. Maka muncullah tokoh-tokoh besar dalam fiqh yang sering mewarnai dunia per-fiqh-an kontemporer, seperti Syekhi Yusuf al-Qardhawi, DR. Wahbah al-Zuhaili, DR. Said Ramadhan al-Buthi, Muhamad al-Asymawi, dan lain-lain. Mereka rata-rata muncul dari wilayah Timur Tengah. Indonesia, meskipun merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sering tokoh-tokoh dan ulamanya tidak disebut dalam dunia internasional. Padahal sejatinya, Indonesia memiliki segudang ulama’ yang tidak kalah ahli dengan yang dari Timur Tengah. Hal ini bukan sedang memunculkan sikap chauvinism terhadap masyarakat Indonesia. Kita tetap mengakui bahwa mengikuti mereka bukanlah salah. Justru kita tetap harus melakukan hubungan silang pengetahuan antar Indonesia dan Timteng. Karena bagaimanapun Timteng memiliki kekayaan turats yang harus terus dikaji. Namun demikian, dalam menyangkut urusan fiqh, peletakan sebuah hokum tidaklah bisa melepaskan konteks geografis dan sosial di mana subyek dan obyek hokum itu ada. Kekhasan Indonesia, sebagai Negara kepulauan yang sangat plural baik agama, budaya, etinis, dan ras, tidak mungkin mudah diselesaikan dengan cara sepenuhnya mengimpor fiqh ala negeri padang pasir yang secara geografis dan sosiologis sama sekali berbeda dengan konteks Indonesia. Oleh karena itu sudah saatnya, orang Indonesia harus berani memunculkan produk fiqh yang khas Indonesia sebagai ikhtiyar menjawab problematika masyarakat muslim yang mayoritas ini.


Kita memiliki fiqh sosial yang telah muncul sejak 3 dekade yang lalu dengan pelopor Kiai Sahal Mahfudh. Kiai asal Kajen Pati ini memiliki perhatian yang lebih terhadap masyarakat di sekitarnya. Kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan masyarakat pada masa itu telah mengundang perhatian Kiai Sahal untuk berpikir keras dalam memberikan jawaban pada masalah masyarakat di sekitarnya. Bekal ilmu fiqh dan ushul fiqh yang dikuasai dari para guru-gurunya telah ia tuangkan dalam berbagai tulisan yang menghiasi media dan forum ilmiah pada saat itu. Bukan hanya dalam tulisan saja yang ia lakukan. Upaya penyelesaian langsung juga telah ia buktikan dalam berbagai aksi nyata, seperti mendirikan lembaga keuangan, pendidikan, dan juga kesehatan untuk mengentaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan. Termasuk, juga mengupayakan terbukanya jaringan-jaringan, baik dalam maupun luar negeri. Dengan demikian fiqh bukan dipahami oleh Kiai Sahal sebagai penyelesaian yang sifatnya tekstual saja, tapi juga diterapkan secara nyata dan kontekstual.


Prinsip-prinsip dasar dari fiqh sosial juga telah digagas serta disepakati bersama oleh ulama’ Nahdhatul Ulama dalam forum Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Bahkan dalam Musyawarah Nasional NU di Lampung tahun 1992 telah menetapkan beberapa metodologi istimbath hokum dengan menggunakan pendekatan fiqh sosial. Oleh karena itu menurut penulis, fiqh sosial ini sudah harus menjadi pilihan fiqh ala Indonesia. Fiqh sosial mencoba menggabungkan metode klasik yang selalu berbasis pada turats secara tekstual dengan pendekatan modern yang berbasis pada riset ilmiah dan pembacaan teks secara kontekstual. Pendekatan kolaboratif ini diharapkan mampu menampilkan wajah fiqh lebih ramah dengan lebih banyak memperhatikan kemaslahatan umat, bukan kemaslahatan Tuhan. Wallahua’lam Bisshawab.