Oleh : Jamal Ma’mur Asmani
Ilmuwan besar Islam, seperti Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Al-Farabi, dan Al-Mawardi tidak hanya menguasai ilmu syari’ah dalam arti sempit, berkisar nahwu-sharaf, fikih-ushul fiqh, dan tauhid-tasawuf, tapi juga menguasai ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, filsafat, kedokteran, politik, dan bahkan eksakta, seperti ilmu hisab (matematika), fisika, biologi, dan sejenisnya. Dalam bahasa Anwar Ibrahim, mereka adalah sosok mutafannin (universalis-menguasai semua bidang), bukan fakultalis (hanya menguasai satu bidang) atau adabiyyat, yang mencakup kajian tentang tata bahasa (nahw), retorika (khithabah), syair (syi’ir), sejarah (akhbar atau tarikh), epistemologi (ma’rifah), dan filsafat moral (‘ilm al-akhlaq) (Anwar Ibrahim, 1998:112). Dari sinilah kejayaan Islam mencapai masa puncaknya. Peradaban pengetahuan (knowledge cultur) menjadi entry point kebangkitan dalam segala bidang.

Dari perspektif inilah kita melihat sosok KH. MA. Sahal Mahfudh, selain seorang lughawi (ahli tata bahasa), faqih (ahli fikih), ushuli (ahli ushul), sufi (ahli tasawuf), dan mutakallim (ahli tauhid), beliau juga pakar bidang sosial (al-ijtima’i), ekonomi kerakyatan (al-iqtishad al-ra’iyyah), organisasi (al-munadzdzamah), politik (siyasi), peradaban (hadhari), dan jurnalistik (kitabi). Segudang pengetahuan dan skills inilah yang membuat eksistensi dan aktualisasi Kiai Sahal menembus batas pagar pesantren. Beliau mampu berperan dalam bidang keilmuan (fikih sosial), ekonomi kerakyatan (menjadi tokoh LSM), politik kebangsaan (MUI), dan sosial kemasyarakatan (NU).

Menggerakkan perubahan tidak cukup hanya dengan satu pengetahuan, tapi harus menguasai seluruh atau sebagian besar pengetahuan, karena menurut Imam Ghazali, selain alim (ilmuwan), abid (praktisi), zahid (eskatolog), wira’i (preventor), juga faqih fi mashalihin nash (peka terhadap kemaslahatan manusia). Artinya, selain menguasai al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu agama), juga menguasai al-ulum al-ijtima’iyah wa al-ashriyah (ilmu-ilmu sosial dan modernitas). Kiai Sahal Mahfudh mampu membuktikan teori ini.
Jangan sampai ada kontradiksi pengetahuan, misalnya apa yang diputuskan fikih bertentangan dengan yang diputuskan sosiologi, antropologi, teknologi, filsafat, atau psikologi. Selama ini kontradiksi sering terjadi, misalnya dalam kasus kloning, rokok, suntik miningitis yang ada enzim babi bagi orang yang akan berangkat haji, dan lain-lain dimana pandangan agama berbeda dengan pandangan medis dan sosial ekonomi. Menurut Prof. Dr. Amin Abdullah, pakar filsafat dari UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, kalau selama ini kaidah ‘al-thariqah ahammu min al-madah’ (metodologi lebih penting dari materi), atau ‘al-ustadzu ahammu min al-thariqah’ (guru lebih penting dari metodologi), maka diperlukan kaidah baru, yaitu ‘al-muqarabah ahammu min al-ustadz’ (pendekatan lebih penting dari guru). Pendekatan semua pengetahuan, baik agama, sosial humaniora, maupun eksakta terhadap suatu masalah akan menghasilkan kesimpulan yang holistik yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etik-religius (M. Amin Abdullah, 2011). Klaim salah satu pihak, baik dari agama maupun non-agama hanya menyebabkan delegitimasi. Disinilah pentingnya integrasi atau interkoneksi pengetahuan. Dalam konteks ini, menurut M. Amin Abdullah, penguasaan metodologi ilmu-ilmu sosial yang berkembang pesat sejak abad ke-18 dan 19, lebih-lebih lagi pada abad ke-20, merupakan conditio sine qua non. Studi kritis-historis-empiris dalam wilayah Islamic Studies hanya dapat dimungkinkan jika metodologi yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial dapat disertakan dalam bangunan struktur Islamic Studies in the new style itu sendiri (M. Amin Abdullah, 2007). Pemikiran dinamis ini hampir sama dengan yang dikemukakan A. Qodri Azizy, bahwa dalam mengkaji pemikiran ulama tidak boleh dogmatis dan doktriner, tapi harus dengan studi kritis sebagai sejarah pemikiran (intellectual history) atau sejarah sosial hukum Islam (social history of Islamic Law) dan mempertimbangkan historical background dari riwayat hidup mereka (A. Qodri Azizy, 2003: 111-113). Artinya, harus melibatkan banyak disiplin ilmu secara integratif.
Pentingnya Integrasi dan interkoneksi pengetahuan pernah disinyalir Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang diakui sepanjang masa, yang sejak remajanya berkutat, bergelut, dan bercengkrama dengan jutaan pengetahuan, dalam statamentnya ‘al-ilmu ilmani, ‘ilmu al-fiqhi li al-adyani wa ‘ilmu al-thibbi li al-abdani’ wama waraa dzalika bulghotu majlisin, ilmu ada dua, ilmu fiqh untuk urusan agama dan ilmu kedokteran untuk urusan jasmani manusia, ilmu selain kedua hal diatas adalah bekal pergi ke perkumpulan (Zarnuji, t.th). Imam Ghazali dalam kitab monumentalnya ‘Ihya’ Ulum al-Din’ yang merupakan karya master peacenya, menggolongkan ilmu kedokteran dalam kategori fardhu kifayah, ilmu yang wajib dikuasai oleh sekelompok orang secara terbatas, kalau ada daerah yang didalamnya tidak ada orang yang ahli dalam bidang kedokteran, maka semua penduduk daerah tersebut berdosa (Al-Ghozali, t.th.:17). Untuk menguasai semua pengetahuan ini, tidak persoalan mudah. Pintu ijtihad harus digalakkan. Ijtihad adalah penggunaan penalaran kritis dan mendalam untuk memahami kedalaman dan keleluasaan isi kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Al-Hadis yang merupakan sumber baku agama, untuk memahami dan menafsirkannya sesuai dengan tuntutan kemajuan dan perubahan zaman (M. Amin Abdullah, 2009:10).
Interkoneksi Pengetahuan Dalam Fikih Sosial Kiai Sahal
Bagaimana pandangan Kiai Sahal Mahfudh tentang interkoneksi pengetahuan ? apakah sudah dipraktekkan dalam pemikirannya yang terkenal ‘Fikih Sosial’ ?
Untuk menjawab dua pertanyaan ini, ada beberapa pemikiran fikih sosial Kiai Sahal Mahfudh yang menguatkan teori interkoneksi pengetahuan. Pertama, secara eksplisit, Kiai Sahal menegaskan pentingnya integrasi pengetahuan, sebagai bukti bahwa pemikiran itu sifatnya ijtihadi (reasonable) yang bisa berkembang secara dinamis, tidak eternal dan final (Zubaedi, 2007:131-132). Secara tegas Kiai Sahal menyatakan :
“Pembahasan fiqih secara terpadu dan pengembangannya sangat lamban, bahkan kadang secara eksklusif dipahami, antara ilmu fiqih dengan ilmu lain yang punya diferensiasi tersendiri, seolah-olah tidak ada hubungannya. Padahal para ulama penyusun dan pembentuk fiqih dahulu selalu mengintegrasikan ilmu-ilmu di luar fiqih ke dalam fiqih untuk menentukan kesimpulan hukum bagi suatu masalah. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla’ dalam hal penentuan awal Ramadan dan Syawal, ma’rifatu al-qiblah dan ma’rifatu al-waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man’u al-hamli/ibtha’u al-hamli) dalam bab nikah (MA. Sahal Mahfudh, 1994:31-32).

Sangat jelas dalam statement Kiai Sahal di atas, bahwa fikih tidak akan mampu menjawab masalah secara holistik dan efektif tanpa bantuan ilmu lain, seperti ilmu sosial, filsafat, astronomi, medis, dan lain-lain. Hampir semua tulisan-tulisan Kiai Sahal dalam banyak karyanya selalu mencerminkan problem-problem sosial aktual dan solusi cerdas aplikatif, tidak hanya doktrin dan penghakiman realitas ansich yang kering dari analisis dan solusi sosial visioner.

Kedua, paradigma pemikiran integratif Kiai Sahal di atas dibuktikan dari lima metodologi transformatif fikih sosialnya, yaitu kontekstualisasi doktrin fikih; beralih dari mazhab qouli (tekstual) menuju manhaji (metodologis); verifikasi doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah dan far’u (instrumental) yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial; dan mengenalkan pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya. Lima metodologi ini dapat kita kaji dalam produk pemikiran Kiai Sahal, antara lain : pendayagunaan zakat, konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan integralistik, pluralisme, pengentasan kemiskinan, dan lain-lain (Jamal Ma’mur Asmani, 2007:81-84 & Sumanto al-Qurtuby, 1999:86-110). Ciri keempat dan kelima, yakni menjadikan fikih sebagai etika sosial dan memperkenalkan pemikiran filosofis adalah bukti interkoneksi fikih sosial Kiai Sahal. Artinya, untuk mendalami fikih, dibutuhkan pengetahuan mendalam terhadap aspek sosial dan filsafat. Ilmu filsafat dan sosiologi sangat dibutuhkan disini.

Ketiga, dalam karya-karya Kiai Sahal, seperti Nuansa Fiqh Sosial, Pesantren Mencari Makna, Era Baru Fiqh Pesantren, dan lain-lain sangat kental nuansa sosialnya. Misalnya ketika membahas masalah kependudukan, dakwah partisipatif, pemberdayaan ekonomi umat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain sangat kental kajian sosialnya. Dalam banyak tulisannya Kiai Sahal mensyaratkan seorang mujtahid harus faqih fi mashalih al-nash(peka terhadap kemaslahatan manusia).

Membangun Kader Pengembang Interkoneksi
Proyek besar integrasi dan interkoneksi pengetahuan membutuhkan kader-kader yang bertalenta dengan ambisi dan obsesi besar menguasai semua pengetahuan. Ada beberapa kiat untuk melahirkan kader all-round semacam ini.
Pertama, menggalakkan tradisi membaca. Ilmuwan-ilmuwan besar adalah pembelajar mandiri (self study), yang tidak bergantung kepada orang lain. Dengan modal semangat dan tekat kuat, mereka membaca semua literatur, Barat dan Timur, sebagai modal merespons tantangan zaman yang dinamis dan kompetitif. Mereka suka berlama-lama membaca di Perpustakaan, suka membeli buku, dan selalu bergumul dengan dunia pemikiran. Mereka menikmati pengetahuan di atas segalanya (ladzdzatul ilmi fauqa kulli ladzdzatin, kenikmatan pengetahuan di atas segala jenis kenikmatan). Dalam konteks ini, penguasaan dua bahasa asing (Arab-Inggris) menjadi keharusan. Kader-kader Islam masa depan harus menguasai dua bahasa ini supaya mampu menggabungkan warisan keilmuan dan peradaban Barat dan Timur.

Kedua, mendirikan Pusat Studi Ilmu sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Prof. Dr. M. Quraish Shihab mempunyai PSQ (Pusat Studi Al-Qur’an) yang melakukan kajian, penerbitan, dan pelatihan seputar al-Qur’an, bahkan PSQ yang beralamatkan di Ciputat Tangerang Banten ini memberikan beasiswa kepada mereka yang fokus dalam penelitian al-Qur’an. Al-Qur’an bisa didekati dengan kaca mata teknologi, sejarah, filsafat, antropologi, dan lain-lain. Banyak pakar al-Qur’an yang lahir dari PSQ ini yang tersebar di seantero Indonesia. Akhir-akhir ini, PSQ mengembangkan diri dengan membuat digital library sebagai jawaban terhadap tuntutan zaman. Penerbitan buku dibawah payung Lentera Hati, jurnal, dan lain-lain memperkuat iklim intelektual yang kondusif bagi lahirnya pemikiran-pemikiran bernas, kritis, dan produktif. PSQ ini menjadi inspirasi bagi kelompok lain untuk mendirikan Pusat Studi Hadis, Pusat Studi Fikih, Pusat Studi Ushul Fikih, Pusat Studi Tauhid, Pusat Studi Tasawuf, dan lain-lain yang dilengkapi dengan sarana prasarana, tenaga profesional, dan program visioner diberbagai tempat di Indonesia. Di Staimafa berdiri Fiqh Sosial Institute (FISI) sebagai lembaga studi yang mengkaji pemikiran-pemikiran fiqh sosial yang dilahirkan ulama-ulama besar, khususnya KH. MA. Sahal Mahfudh dan KH. Ali Yafie.

Ketiga, menggalakkan tradisi berdiskusi, menulis, dan meneliti. Berdiskusi akan menajamkan pemikiran dan cara pandang, menulis akan meluaskan cakrawala pemikiran, dan meneliti akan melahirkan penemuan-penemuan kreatif visioner yang bisa mengubah wajah dunia. Tiga kegiatan ini akan menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah sejarah kemanusiaan di muka bumi ini. Kader-kader muda harus berjuang keras untuk melakukan tiga kegiatan utama dan ilmiah ini demi masa depan peradaban Islam. Saat ini, dunia Islam masih kalah jauh dari Barat dalam tiga bidang ini, sehingga semangat dan cita-cita besar harus dicanangkan bersama, tidak ada kata menyerah dan putus asa dalam menggapai cita-cita besar.
Keempat, membuat forum ilmiah yang melibatkan semua pakar disiplin pengetahuan. Forum ini menjadi wadah efektif bagi terciptanya kolaborasi pengetahuan dalam merespons masalah aktual yang dibutuhkan negara, dunia usaha, dan masyarakat. Masing-masing pakar bisa belajar kepada yang lain. Dibutuhkan kedewasaan, kearifan, dan kematangan dalam mewujudkan forum ilmiah ini.
Kelima, pentingnya pentahapan. Menguasai semua pengetahuan tidak bisa dilakukan sekali dalam satu waktu. Dibutuhkan gradualisasi (tadrij) yang dilakukan secara konsisten. Menurut Prof. Dr. M. Laode Kamaluddin dan A. Mujib El Syirazi, salah satu rahasia kesuksesan para ulama masa lalu dalam menguasai banyak bidang pengetahuan, adalah karena menerapkan prinsip pentahapan (Laode M. Kamaluddin dan A. Mujib El Shirazy, 2011:54-55). Misalnya, menguasai bahasa selama 2 tahun, menguasai fikih selama 3 tahun, menguasai hadis selama 3 tahun, menguasai tafsir selama 4 tahun, dan lain-lain. Ulama zaman dulu belajar kepada seorang yang mempunyai keahlian spesifik terhadap satu bidang ilmu, kemudian pindah kepada ulama lain yang mempunyai bidang yang lain, dan begitu seterusnya. Dari tradisi inilah, mereka menguasai banyak pengetahuan lintas sektoral yang diakui dunia.

Ijtihad Jama’i
Secara institusional, interkoneksi pengetahuan dalam fikih atau dalam bidang yang lain bisa diwujudkan dalam bentuk ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) yang melibatkan seluruh pakar pengetahuan lintas sektoral. Tidak ada dominasi dan monopoli satu pengetahuan dengan mengalahkan pengetahuan lain. Melihat sangat sulitnya menemukan seseorang yang menguasai semua bidang keilmuan sekaligus, maka ijtihad jama’i menjadi salah satu alternatif terbaik dalam merealisasikan integrasi dan interkoneksi pengetahuan, sehingga hasilnya bisa holistik dan konfrehensif, tidak parsial dan formalistik.
Dalam komunitas Nahdlatul Ulama, ijtihad jama’i baru pada forum ‘tashawwur al-masalah’ (deskripsi masalah) yang mendatangkan banyak pakar untuk menggambarkan masalah sesuai disiplin ilmu yang dikuasainya, mungkin dari aspek medis, sosiologi, antropologi, teknologi, biologi, dan lain-lain. Sayangnya, pada level tashdiq al-hukm (penetapan hukum), peran pakar lintas disiplin ilmu tidak dilibatkan, hanya monopoli ahli fikih.

Penulis pernah mengikuti bahtsul masail PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Jepara di Gedung NU Jepara tingkat Wilayah Jawa Tengah. Sebelum bahtsul masa’il dimulai, peserta terlebih dahulu mengikuti sesi diskusi panjang yang menghadirkan banyak nara sumber antara yang pro dan kontra PLTN. Setelah berdiskusi panjang lebar tentang PLTN dari ahlinya, peserta bahtsul masa’il memulai kajiannya, dan kesimpulannya mengarah kepada dua terminologi populer, yaitu ‘maslahah muhaqqaqah’ (kemaslahatan yang nyata) dan ‘mafsadah mauhumah’ (kerusakan yang masih diduga), atau sebaliknya ‘maslahah mauhumah’ dan ‘mafsadah muhaqqaqah’ dalam kasus PLTN mengacu kepada kasus-kasus yang pernah terjadi di negara lain. Menentukan maslahah dan mafsadah ini, apakah muqaqqaqah atau mauhumah, sarat dengan kepentingan dan keberpihakan. Yang Pro-PLTN akan mengatakan maslahah muhaqqaqah, sedangkan yang Kontra-PLTN akan mengatakan maslahah mauhumah. Setelah diskusi panjang lebar, akhirnya peserta memutuskan bahwa pembangunan PLTN mengandung maslahah mauhumah dan mafsadah muhaqqaqah.
Sebenarnya peserta sangat setuju dengan PLTN sebagai sumber energi besar bagi dunia industri, namun efek negatif yang ditimbulkan yang bisa mengakibatkan kematian ribuan orang dari radiasinya kalau bocor, yang membuat peserta lebih memilih gerakan preventif (pencegahan) sesuai kaidah ‘daf’u al-mafsadah muqaddam ala jalbi al-maslahah’, mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemajuan. Peserta tidak hanya melarang, tapi juga memberikan solusi kepada pemerintah untuk menggalakkan sumber energi lain yang tidak mempunyai potensi negatif yang membahayakan nyawa manusia, apakah PLTA (pembangkit listrik tenaga air), PLTU (pembangkit listrik tenaga udara), dan lain-lain.

Dalam aras ini, ada integrasi antara doktrin normatif yang final dengan realitas sosial yang dinamis dan historis. Kombinasi paradigma agama dan sosiologi semacam ini menghasilkan pandangan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah-religius. Menjadi tanggungjawab besar kader-kader masa depan Islam untuk serius mendalami semua bidang keilmuan, baik agama, sosial-humaniora, filsafat, maupun eksakta. Tidak ada sesuatu yang mustahil jika tekad dicanangkan, keyakinan diperkuat, dan kepercayaan diri dimantapkan.