Bedah kitab Kiai Sahal yang diselenggarakan oleh Fiqh Sosial Institute (FISI) STAIMAFA kemarin (9/7/2015) merupakan pertemuan terakhir. Kegiatan tersebut merupakan salah satu program FISI kaitannya dengan sosialisasi dan promosi pemikiran fiqh sosial Kiai Sahal. Seperti yang disampaikan Direktur FISI, Umdatul Baroroh, MA dalam sambutannya, bahwa membedah kitab Kiai Sahal, menjadi alternatif mengelaborasi pemikiran Kiai Sahal secara langsung melalui hasil pemikiran yang ditulis.
Acara yang diselenggarakan kemarin mendapatkan animo yang besar dari peserta. Lebih dari 50 orang berasal dari unsur sivitas akademika STAIMAFA dan santri pondok pesantren sekitar, datang memenuhi auditorium STAIMAFA. Mereka berinteraksi aktif dalam diskusi dengan narasumber yang didatangkan khusus dari Kudus.
Dr. Abdul Jalil, M.E.I selaku narasumber, kemarin memaparkan bahwa Kiai Sahal tidak hanya berhenti pada menulis syarah atau khasyiyah, tapi bagaimana fiqh bisa menjadi hukum yang mampu membumi. Misalnya terkait polemik hukum fiqh bank konvensional dan KB ketika itu.
Narasumber yang juga menjadi sekretaris komisi bahtsul masail maudluiyyah dalam Muktamar ke-33 NU itu menguraikan tentang 2 hal yang berbeda antara idealitas fiqh sosial dengan khasyiyah thariqatul khusul. Thariqatul khusul ditulis oleh Kiai Sahal ketika masih menjadi ustadz di usia 24 tahun. Dengan tantangan iklim pesantren Sarang, yang mana fokus utama santri adalah mengaji, Kiai Sahal menghadapinya dengan menghasilkan karya besar kitab thariqatul khusul.
Mengapa kitab thariqatul khusul Kiai Sahal menjadi penting perannya, menurut paparan narasumber adalah karena kitab ghoyatul wushul yang notabene kitab rujukan thariqatul khusul, adalah kitab yang sulit. Untuk membahas setiap bagian dari kitabnya, membutuhkan penguraian yang panjang. Kitab itu sendiri adalah karya Imam Taqiyyudin di tahun 771, era Abu Ja’far Al Mansuri. Di mana konteksnya adalah masa transisi Mu’tazilah ke Sunni.
Ide fiqh sosial sendiri, menurut narasumber secara jelas tidak tampak dalam thariqatul khusul. Sehingga ini adalah momen besarnya Kiai Sahal. Ketika muridnya tidak bisa memahami dengan baik apa yang disampaikannya dari kitab ghayatul wushul, Kiai Sahal membuat catatan-catatan dan dikumpulkan menjadi kitab thariqatul khusul. Dengan demikian kitab tersebut merupakan kitab basis. Dari tangan Kiai Sahal, kita membaca kitab ghayatul wushul menjadi lebih mudah dengan kitab thariqatul khusul. Pertemuan terakhir dari bedah kitab kemarin pun ditutup dengan buka puasa bersama yang berlangsung hikmat dan hangat. AK