Judul buku                 : Metodologi Fiqh Sosial: dari Qouli menuju Manhaji

Penulis                        : M. Amin Abdullah, Umdatul Baroroh, Jamal Ma’mur, Tutik Nurul Janah, dkk.

Penerbit                     : STAIMAFA press-Fiqh Sosial Institute

Tahun terbit              : 2015

Jumlah halaman        : xviii+270

KH. A. Mustofa Bisri, dalam kata pengantar buku Metodologi Fiqh Sosial: dari Qouli menuju Manhaji menyatakan, fiqh sosial sangat identik dengan Kiai Sahal. Fiqh sosial merupakan salah satu jejak pemikiran terbesar dari Kiai Sahal Mahfudh terkait kemaslahatan masyarakat. Fiqh sosial Kiai Sahal, menurut Gus Mus, sekaligus menjadi blue print ber-fiqh ala Kiai Sahal. Baru-baru ini, fiqh sosial digadang sebagai alternatif model ber-fiqh ala Indonesia. Karena sesungguhnya, ber-fiqh adalah untuk mendatangkan kemaslahatan masyarakat. Meskipun demikian, ber-fiqh tetap memerlukan panduan dari seorang tokoh faqih tertentu agar terhindar dari sikap fanatis dan ikut-ikutan secara serta merta (taqlid).

Panduan ber-fiqh dari seorang tokoh yang faqih sangat memungkinkan bagi masyarakat untuk secara metodologis memahami bagaimana proses hukum fiqh telah terjadi, bagaimana perkembangannya sesuai konteks zaman, serta bagaimana cara berfikir dan bersikap moderat sehingga hukum fiqh menjadi sangat kontekstual, dinamis, dan selalu relevan. Bahwa tujuan fiqh adalah untuk kemaslahatan masyarakat. Bagaimanapun kondisi dan konteks masyarakat yang sedang dihadapi. Kiai Sahal merupakan seorang faqih yang sangat menguasai ilmu-ilmu Islam. Khususnya fiqh. Bagi Kiai Sahal, fiqh sama sekali tidak out of date. Tapi fiqh akan selalu relevan dalam setiap konteks masyarakat. Fiqh sosial merupakan representasinya.

Fiqh menjawab dan mengakomodir permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Dalam fiqh sosial, fiqh menjadi dasar pemberdayaan. Meneladani pemikiran besar Kiai Sahal bahwa, fiqh sesungguhnya membawa kemaslahatan bagi masyarakat, maka yang terpenting adalah menemu kenali metodologi yang tepat untuk menggunakan fiqh sebagai pisau analisis dalam menjawab dan mengakomodir kebutuhan masyarakat. Misalnya dalam konsep zakat.

Dalam pandangan fiqh sosial Kiai Sahal, mustahiq zakat dan penyalurannya, dikembangkan sesuai konteks yang dihadapi masyarakat. Zakat pun tidak hanya disalurkan secara konsumtif kepada mustahiq. Tapi dapat diberikan dalam bentuk modal usaha disertai pelatihan usaha agar zakat lebih produktif, memberdayakan masyarakat, dan lebih meningkatkan kemaslahatan daripada diserahkan begitu saja dalam bentuk uang ataupun bahan makanan pokok. Melalui konsep fiqh sosial, jika zakat didistribusikan melalui cara yang lebih produktif, perubahan ekonomi yang akan ditimbulkan akan menjadi sangat signifikan. Zakat yang semula hanya menjadi ibadah berorientasi charity, dapat dioptimalkan dalam bentuk filantropi yang memberdayakan.

Pemikiran Kiai Sahal di atas lahir dari proses pemikiran dan kontemplasi metodologis yang panjang dari hukum dan konsep fiqh tentang zakat. Sehingga dapat ditawarkan kepada masyarakat dalam konsep yang memahamkan. Pola berpikir seperti inilah yang berusaha diteladani oleh santri-santri Kiai Sahal. Melalui buku Metodologi Fiqh Sosial: dari Qouli menuju Manhaji, Umdatul Baroroh, Tutik Nurul Janah dan peneliti Fiqh Sosial Institute yang lain, serta para pemikir seperti Prof. Amin Abdullah, Dr. Mahsun, Dr. Mukhyar Fanani, dan lain-lain, menuangkan gagasan besar atas pembacaan sekaligus interpretasi terhadap metodologi fiqh sosial Kiai Sahal.

Pembahasan metodologi fiqh sosial menjadi sangat strategis di Indonesia. Tidak mungkin fiqh yang kita kenal dari berbagai madzhab itu dapat diterapkan begitu saja di Indonesia. Kondisi dan konteks sosial yang di hadapi hari ini di Indonesia penting disikapi dengan fiqh kontekstual. Pemikiran Kiai Sahal tentang fiqh sosial harus dilanjutkan dan dikembangkan. Metodologi yang tepat dibutuhkan mengingat persoalan kemasyarakatan di Indonesia semakin kompleks. Sementara fiqh tetap dituntut mampu menyikapinya, mulai ubudiyyah hingga muamalah. Metodologi fiqh sosial dapat menghadirkan fiqh yang eklektik dan kontekstual. Sehingga kemaslahatan masyarakat tidak menghadapi benturan hukum yang kaku dan serba mengharamkan hal-hal baru. Padahal bisa saja hal itulah yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat saat ini.