Masyarakat Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah hingga dewasa ini masih menghadapi berbagai masalah besar khas negara berkembang. Salah satunya kemiskinan. Polemik yang muncul berupa tesis kemiskinan struktural dan kultural bermuara pada sikap mayoritas unsur negara yang berorientasi teoritis, kaitannya dengan analisa realita dan tawaran solusi teknokratis dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Sejauh ini, justru yang dipandang lebih efektif adalah gerakan ekonomi kerakyatan berbasis pemberdayaan. Yang mana banyak diinisiasi oleh LSM maupun kelompok usaha kecil bahkan individu. Gerakan pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan ekonomi seperti itu, menjadi lebih efektif karena muncul dari tengah-tengah kehidupan suatu masyarakat secara langsung.
Berbicara tentang pemberdayaan, tentu akan sangat berkaitan dengan inventarisir dan assessment masalah dan potensi, yang kemudian darinya dirumuskan solusi dengan skala probabilitas tertentu. Potensi, antara lain dapat terdiri dari sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi. Kaitannya dengan zakat, maka harta yang dihimpun dapat dikelola sebagai potensi pemberdayaan masyarakat untuk gerakan ekonomi kerakyatan. Sekaligus sebagai bentuk manifestasi filantropi Islam.
Dana zakat dapat menjadi potensi untuk mengentaskan masyarakat (kelompok sasaran pemberdayaan) dari kemiskinan. Dana tersebut dikelola sebagai sarana yang dibutuhkan untuk mandiri secara ekonomi. Antara lain berupa bantuan modal (revolving fund) dan peralatan usaha. Agar memberdayakan, modal usaha tersebut diberikan setelah masyarakat terlebih dahulu diberi keterampilan dan inisiasi usaha. Sehingga modal dan peralatan usaha yang diberikan dari dana zakat, dapat didaya gunakan dan dikembangkan sehingga masyarakat mandiri.
Tidak hanya itu, setelah pelatihan usaha dan pemberian modal, secara berkala usaha ekonomis masyarakat tersebut dimonitor perkembangannya. Dengan demikian, dana zakat tidak hanya menjadi barang hibah (charity) yang manfaatnya sementara dan hanya menjadi barang konsumtif, akan tetapi menjadi lebih bermanfaat dan berjangka panjang karena dikelola secara filantropis.
Di sisi lain dengan demikian, secara umum umat Islam nyatanya memiliki potensi ekonomis sangat besar berupa dana zakat. Potensi tersebut dapat menjadi modal program-program pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan ala Islam. Oleh karena itu, seyogyanya visi dan semangat besar Kiai Sahal dalam melaksanakan gerakan ekonomi kerakyatan harus dilanjutkan dan dikembangkan. Potensi dana zakat yang besar harus dikelola secara tepat dan efektif melalui cara-cara filantropis.
Jika kemudian dikontekskan dengan konsep fiqh sosial Kiai Sahal, maka pengelolaan dana zakat secara filantropis merupakan hasil ijtihad atas pengelolaan dana zakat sebagai mana yang diatur secara formal dalam fiqh. Tidak semua daftar mustahiq dihilangkan. Demikian halnya tidak semua dana zakat yang terkumpul digunakan sebagai potensi pemberdayaan masyarakat.
Mustahiq utama dalam zakat seperti fakir miskin tetap dapat menerima zakat secara langsung. Sementara sisa dana zakat yang telah disalurkan secara langsung tersebut dapat dikelola sebagai filantropi Islam atas persetujuan muzakki. Dalam jangka panjang, jika zakat secara filantropis dikelola dengan serius, terdapat kemungkinan mustahiq yang menjadi kelompok sasaran pemberdayaan akan beralih status menjadi muzakki.