Pudarnya fiqh bermadzhab, baru-baru ini menjadi sebuah kecenderungan yang begitu tampak terjadi pada umat Islam, baik dalam sekup lokal maupun internasional. Hal ini disampaikan Ulil Abshar Abdalla dalam kesempatan diskusi dengan civitas akademika Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA), siang kemarin (30/12/15). Paling tidak, menurut Ulil, terdapat dua hal yang dapat menunjukkannya. Pertama, fiqh bermadzhab dianggap terlalu klasik dan tidak lagi dapat menjadi problem solving atas permasalahan multi sektor di masyarakat kontemporer.
Kedua, studi terhadap fikih yang umum dilakukan di IAIN atau UIN, belum merepresentasikan studi yang berorientasi madzhabi, lebih berciri Islamic Studies. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan hasil-hasil kajian fikih yang langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah. Sementara yang umum di universitas seperti UGM lebih berciri Religious Studies, yang mana lebih banyak menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai pendekatan. Adapun sebagian kecil sisanya datang dari pesantren, yang mana masih melestarikan kajian Islam madzhab.
Menyikapi dua fenomena di atas, peneliti dan pemerhati fiqh sosial, secara khusus memiliki tanggungjawab untuk mencari inspirasi-inspirasi dalam tradisi bermadzhab, dalam rangka menjawab tantangan dan problematika kontemporer menggunakan fiqh, sekaligus merawat tradisi Islam Nusantara. Bagaimanapun juga, tradisi bermadzhab merupakan warisan terbesar dalam khazanah ahlussunnah wal jama’ah (NU). Selain itu, secara umum bagi warga NU khususnya, dan umat Islam penganut madzhab Syafi’i pada umumnya, bertanggungjawab untuk mengembangkan pola berfiqh dengan madzhab Syafi’i secara kreatif dan kontekstual. Hal ini dikarenakan, secara umum madzhab Syafi’i sangat tekstualis.
Salah satu kontribusi besar Imam Syafi’i adalah qiyas. Pada prinsip dasarnya, qiyas digunakan dalam merumuskan hukum tanpa jauh meninggalkan kajian terhadap teks. Berbeda dengan tradisi dalam bermadzhab imam yang lain. Misalnya dalam tradisi madzhab Imam Malik yang sangat dominan menggunakan istihsan, kemudian dalam madzhab Imam Abu Hanifah yang dominan menggunakan konsep istishlahi. Tugas besar para peneliti fiqh sosial di antaranya adalah bagaimana dapat merangkum berbagai macam tradisi fiqh madzhab tersebut, menjadi tiang lain yang menopang tradisi madzhab Syafi’i. Tujuannya agar fiqh bermadzhab tetap berkembang dan dinamis dalam merespon persoalan kontemporer masyarakat.
Selama ini, ilhaqul masa’il bi nadhairiha (mengilhaqkan suatu masalah yang tidak memiliki ‘illat dengan masalah lain yang hampir sama kategorinya dan memiliki ‘illat) yang banyak dilakukan dalam NU, belum memiliki standar atau konsensus yang jelas. Umumnya dalam tersebut, ilhaqul masa’il bi nadhairiha dilakukan berdasarkan kemampuan peserta bahstul masa’il dalam mengira-ngira kesamaan kategori suatu masalah yang memiliki ‘illat’ sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab kuning induk (mu’tabarah). Alternatif solusi yang ditawarkan misalnya, mengkaji kembali terhadap substansi atau esensi dari suatu masalah yang akan diilhaqkan. Selain Ulil Abshar Abdalla, dalam diskusi kemarin turut hadir Dr. Rumadi, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus ketua LAKPESDAM PBNU, yang menguraikan secara luas tentang urgensi fiqh yang berorientasi pada keterbukaan terhadap arus informasi. Wallahu a’lam bisshawab.