Oleh: Siti Aqmarina Lailani[1

Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, telah kita ketahui banyak firqah Islam yang antara satu dengan yang lainnya bertentangan sehingga sulit dipersatukan. Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah dan temaktub dalam kitab-kitab agama, khususnya kitab ushuluddin. Bahkan Rasulullah sudah menjelaskannya sejak beliau masih hidup, bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة. وتفترق أمّتي على ثلاث وسبعين فرقة. (رواه الأربعة)

ASWAJA merupakan salah satu dari firqah Islam diantara 73 firqah, antara lain: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunny), Mujassimah, Bahaiyyah, Ahmadiyyah, Wahabiyyah dan lain sebagainya.

ASWAJA atau Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah terdiri dari beberapa kata, yaitu[2] :

  1. Ahl, yang berarti “golongan” atau “pengikut”

  2. Al-Sunnah, yang berarti “segala tabi’at perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah Saw.”

  3. Wa adalah huruf ‘athf yang berarti “dan”

  4. al-Jama’ah berarti perilaku dan jalan hidup para sahabat Nabi Saw.


Dengan demikian, istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berarti golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya, lebih khusus lagi para Khulafaur Rasyidin. Hal ini didasari karena jalan hidup Rasulullah adalah ekspresi nyata dari kandungan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan para sahabat, khususnya sahabat empat adalah generasi pertama dan utama yang melazimi perilaku Rasulullah Saw sehingga apa yang sahabat lakukan merupakan penjabaran nyata dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam hadits diterangkan:

خير القرون قرني الّذي بعثت فيهم، ثمّ الّذين يلونهم، ثمّ الّذين يلونهم. (متفق عليه)

Ada dua pendapat mengenai hadits di atas. Pertama, yang dimaksud dengan dengan qarn adalah 1 abad atau hitungan 100 tahun. Maka yang dimaksud dengan sebaik-baik periode adalah abad 1 H, II H, dan III H. Kedua, qarn tidak diartikan dengan perhitungan 100 tahun akan tetapi adalah situasi dimana ajaran Islam diamalkan secara kaffah, integral, komprehensif dan sebelum timbulnya berbagai firqah Islam yaitu pada masa Nabi Saw, Khalifah Abu Bakar As-Siddiq dan Khalifah Umar bin Khattab.[3]

Sejarah Paham Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup di kalangan sahabat, semuanya serba mudah. Tidak ada permasalahan yang tak terselesaikan karena segala sesuatu dapat ditanyakan langsung kepada beliau. Jika ada suatu ayat yang tidak dipahami, para sahabat segera berkumpul untuk bertanya kepada Nabi. Beliau pun segera menjawab dan menerangkan arti hakiki dari ayat-ayat tersebut, sehingga tidak ada perselisihan paham lagi.

Namun setelah Nabi wafat, muncul berbagai paham yang saling bertentangan. Hal ini berawal dari pemilihan khalifah pengganti Rasulullah Saw. Pada tahun 30 H muncul paham Syi’ah yang dipelopori oleh Abdullah bin Saba’ dan menyebabkan terjadinya peperangan Siffin, yaitu peperangan antar saudara muslim yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Kemudian timbul pula setelahnya firqah Khawarij, yaitu golongan yang keluar dari pemerintahan Ali dan Muawiyah. Dilanjut lagi pada permulaan abad ke II H, muncul kaum Mu’tazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Umar bin Ubeid. Lalu timbul pula paham Qadariyah, Jabariyah, Mujassimah dan lain sebagainya.[4]

Pada akhir abad III Hijriyah, muncul golongan yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Pada mulanya Abu Hasan adalah murid dari bapak tirinya - Ulama’ Besar kaum Mu’tazilah - Syeikh Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabai. Beliau menganut aliran tersebut sampai usia 40 tahun dan tidak sedikit beliau juga mengarang buku-buku tentang Mu’tazilah. Kemudian ia mengasingkan diri di rumahnya selama 15 hari, lalu ia pergi ke masjid Bashrah untuk menyatakan bahwa ia telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan bertaubat.[5] Basrah, Kufah dan Baghdad waktu itu dipenuhi dengan para Ulama’ Mu’tazilah. Masa itu merupakan masa emas kaum Mu’tazilah karena pahamnya didukung oleh pemerintah. Ada 3 khalifah ‘Abbasiyyah yang menganut paham Mu’tazilah yaitu Ma’mun bin Harun ar-Rasyid, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq.[6]

Imam Abu Hasan al-Asy’ari mulai menyadari bahwa paham Mu’tazilah bertentangan dengan i’tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad Saw dan para sahabat beliau. Oleh karena itu, beliau keluar dari golongan tersebut dan segera bertaubat. Tidak hanya itu, beliau berjuang melawan kaum Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat, bertanding, lalu merumuskan dan menuliskan paham ahlussunnah wal jama’ah sehingga beliau terkenal dengan Ulama’ Tauhid.[7]

Al-Asy’ari tidak menghindari pemakaian akal dan argumentasi pikiran dalam menjawab soal-soal agama. Ia menentang mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam urusan agama merupakan kesalahan. Namun, ia juga mengingkari kaum Mu’tazilah yang memuja-muja akal pikiran, sehingga menjadikan mereka sesat. Demikian beliau menjadikan isi al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar pokok di samping juga menggunakan akal pikiran sebagai penguat nas tersebut.[8]

Imam Al-Asy’ari memiliki banyak pengikut, pendukung dan bantuan dari para penguasa. Dan selanjutnya pendapatnya disebut dengan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Beberapa pemikirannya di bidang akidah antara lain: Pertama, Kalamullah (al-Qur’an) bukan makhluk dan apapun yang ada tidak akan terjadi kecuali Allah Swt berfirman “jadilah”. Kedua, kebaikan dan kejahatan adalah kehendak Allah Swt.[9] Ketiga, Al-Asy’ari mengakui sifat Tuhan sesuai dengan zat Tuhan sendiri, akan tetapi tidak menyerupai sifat makhluk. Keempat, manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi bis untuk mengusahakan sesuatu. Kelima, Tuhan dapat dilihat tetapi tidak menuntut cara tertentu. Keenam, orang mu’min yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah langsung diampuni dan dimasukkan surga atau disiksa dahulu kemudian dimasukkan ke dalam surga.[10]

Di samping Imam Al-Asy’ari, ahlussunnah wal jama’ah juga mengikuti aliran Maturidiah. Nama ini diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Anshari. Ia mencari ilmu pada pertiga akhir abad ke-3 H yaitu ketika paham Mu’tazilah mengalami kemunduran. Ia dibesarkan di tengah perdebatan antara fiqh Hanafiyyah dan Syafi’iyyah. Dalam bidang fiqh, ia mengikuti madzhab Hanafi. Ia banyak mendalami tentang teologi Islam. Metode yang dipakai al-Maturidi berbeda dengan al-Asy’ari, akan tetapi hasil pemikirannya banyak yang sama. Keduanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama yaitu melawan aliran Mu’tazilah. Perbedaannya adalah al-Asy’ari menghadapi negeri kelahiran aliran Mu’tazilah yaitu Bashrah dan Irak, sedangkan al-Maturidi menghadapi aliran Mu’tazilah di negerinya sendiri yaitu Samarkand dan Iran.[11]

Selain itu perbedaan antara pola pemikiran keduanya adalah al-Asy’ari lebih dekat pada paham Jabariyah, sedangkan al-Maturidi lebih condong pada paham Qadariyah. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat al-Asy’ari bahwa makrifat kepada Allah Swt. berdasarkan tuntunan syara’, sedangkan menurut al-Maturidi, hal itu diwajibkan oleh akal pikiran. Selain itu, al-Asy’ari berkata bahwa sesuatu dinilai baik dan buruk karena adanya syara’ yang mewajibkan atau melarangnya. Sedangkan menurut al-Maturidi, sesuatu itu memiliki sifat baik dan buruk.[12]

I’tiqad Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah

Paham Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah paham Islam secara menyeluruh. Para ulama’ tidak ada yang berbeda pendapat tentang Islam dan lingkup makro yang meliputinya yaitu aqidah, ibadah (fiqh), dan akhlaq (tasawuf). Oleh karena itu masing-masingnya terdiri dari akidah ASWAJA, Fiqh ASWAJA, dan akhlaq ASWAJA.

Salah satu ciri intrinsik paham ini adalah keseimbangan pada dalil naqliyah dan ‘aqliyah sehingga memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan yang terjadi dari masa ke masa sepanjang tidak bertentangan dengan nash-nash formal. Paham ini tidak menggunakan rasio secara bebas dan tidak pula secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual. Karakter para ulama ASWAJA, menurut Imam Ghazali adalah mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi ad-dunya.[13]

Institusi akidah yang sejalan dengan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah akidah yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Keduanya sama-sama menggunakan akal sebatas untuk memahami dalil naqli saja. Sementara itu, masalah fiqh atau syari’ah yang sesuai dengan substansial ASWAJA adalah empat madzhab besar dalam fiqh Islam, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i. Adapun lingkup yang ketiga, paham ASWAJA mengikuti tasawuf yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, Al-Junaidi, Abu Yazid Al-Bustami.[14]

Prinsip-prinsip aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah antara lain[15]:

  1. Dalam bidang akidah: pilar utama keimanan adalah tauhid. Pilar kedua adalah nubuwwat. Pilar ketiga adalah al-ma’aad (hari akhir).

  2. Istinbath hukum: ada 4 sumber yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas.

  3. Tasawuf: zuhud dimaknai sebagai zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari tetap diarahkan untuk terwujudnya masyarakat baik.

  4. Sosial politik: Aswaja memandang negara sebagai fardhu kifayah. Negara merupakan alat untuk mewujudkan dan menjaga kemaslahatan manusia. Ada beberapa syarat berdirinya sebuah negara: prinsip syuro (musyawarah), ‘adl (keadilan), hurriyah (kebebasan)/ ushul al-khams, musawah (kesetaraan derajat)


Aktualisasi Nilai-Nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah

Sebagaimana yang sudah kita bahas di atas, Aswaja adalah paham yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Ia menolak paham Qadariyah yang memberikan kebebasan penuh terhadap perbuatan manusia dan juga menolak paham Jabariyah yang tidak memberikan runang gerak terhadap perbuatan manusia. Di sini letak kemoderatan aliran Aswaja. Ia mempercayai bahwa Allah yang menciptakan perbuatan manusia, dan manusia tetap diberikan peluang untuk memilih perbuatannya.

Selain itu, Aswaja juga meyakini bahwa kehidupan manusia adalah takdir Allah Swt. Allah meletakkan kehidupan tersebut dalam suatu proses, sehingga manusia diberikan kesempatan untuk berikhtiar untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek kehidupan menuju kelestarian dan sekaligus menemukan makna kehidupan.[16]

Indonesia dominan menggunakan pendapat Imam Asy’ari dalam urusan akidah, pendapat Imam Syafi’i dalam urusan fiqih dan pendapat Imam Ghazali dalam urusan tasawuf. Imam Asy’ari terkenal dengan kemampuannya mengkomparasikan antara paham rasionalitas Mu’tazilah dan tradisionalitas Jabariyah sehingga menghasilkan teori kasb (usaha). Begitu juga dengan imam Syafi’i. Beliau dapat mencari jalan tengah antara rasionalitas ahlu al-ra’yi (pengikut Imam Abu Hanifah) dan tradisionalitas ahlu al-hadits (pengikut Imam Malik) sehingga menghasilkan konsep qiyas dan istiqra’. Sedangkan Imam al-Ghazali dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas filosof, formalitas ahli fiqh dan esoteritas kaum sufi. Karya beliau kitab Ihya’ Ulumiddin adalah buktinya. Di dalamnya mencakup aqidah, filsafat, fiqih, tasawuf, sosial, politik.

Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah dan pemecahannya dengan cara islami yang pada akhirnya Islam Aswaja yang memiliki komponen yang komprehensif dan dapat mengisi kehidupan masyarakat. Dalam era pembangunan ini, Islam Aswaja sangat cocok dibawa untuk berintegrasi dengan tujuan mewujudkan manusia seutuhnya, yaitu keselarasan, keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan batiniah.

Sebagai khalifah Allah, manusia dituntut memiliki peran ganda. Pertama, ‘iabadatullah dan kedua, imaratul ardhi. Dua fungsi ini sangat berkaitan dan tak dapat dipisah dalam pelaksanaannya. Bahkan fungsi kedua menentukan fungsi pertama untuk mencapai tujuan sa’adatuddarain.[17]

Ada lima ciri yang perlu diperhatikan dalam memposisikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal[18]:

  1. Mengupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteks yang baru.

  2. Makna bermadzhab diubah dari madzhab qauly menjadi madzhab manhajy.

  3. Verifikasi dasar antara ajaran pokok dan cabang.

  4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif.

  5. Pemahaman metodologi pemikiran filosofis dalam masalah sosial dan budaya.


Paham Ahlussunnah Wal Jama’ah tercermin pada Nahdlatul Ulama’ yang memiliki konsep Mabadi’ Khaira Ummat, yaitu: tawassuth (pertengahan), i’tidal (lurus), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), amar ma’ruf nahi munkar (mendorong berbuat baik dan mencegah perbuatan buruk).

DAFTAR PUSTAKA

Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 187.

Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Pustaka Tarbiyah Baru: Jakarta Selatan, 2008), hlm. 13-19.

A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), hlm. 127.

  1. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 195-196.


Acmad Miftahul Alim, Pengertian Aswaja, Karakteristik, Prinsip, Eksistensi dalam Kehidupan Modern dalam http://alimpolos.blogspot.co.id/2014/06/pengertian-aswaja-karakteristik-aswaja.html diakses pada Jum’at 15 April 2016 pikul 07.00.

[1] Peneliti magang di PUSAT FISI IPMAFA

[2] Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 187.

[3] Ibid, hlm. 188.

[4] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Pustaka Tarbiyah Baru: Jakarta Selatan, 2008), hlm. 13-19.

[5] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), hlm. 127.

[6] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah..., hlm. 20.

[7] Ibid, hlm. 21-22.

[8] A. Hanafi, Pengantar Teologi ... hlm. 132.

[9] Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah ..., hlm. 218.

[10] A. Hanafi, Pengantar Teologi ..., hlm. 133-134.

[11] Ibid, hlm. 169.

[12] Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah..., hlm. 260.

[13] KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 195-196.

[14] Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah ..., hlm. 193-196.

[15] Acmad Miftahul Alim, Pengertian Aswaja, Karakteristik, Prinsip, Eksistensi dalam Kehidupan Modern dalam http://alimpolos.blogspot.co.id/2014/06/pengertian-aswaja-karakteristik-aswaja.html diakses pada Jum’at, 15 April 2016 pukul 07.00.

[16] KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh ..., hlm. 196.

[17] Ibid, hlm. 200.

[18] Acmad Miftahul Alim, Pengertian Aswaja, Karakteristik, Prinsip, Eksistensi dalam Kehidupan Modern dalam http://alimpolos.blogspot.co.id/2014/06/pengertian-aswaja-karakteristik-aswaja.html.