Pendahuluan
Fiqh sosial dilihat dari implementasinya, merupakan salah satu bentuk dakwah Islam. Dakwah sendiri secara terminologis banyak diungkapkan definisinya oleh para tokoh. Salah satunya Dr. M. Quraish Shihab yang menyatakan bahwa dakwah sebagai bentuk ajakan dalam usaha mengubah situasi menjadi lebih baik, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.[1] Dengan demikian, dakwah tidak hanya bertujuan meningkatkan pemahaman tentang ajaran agama dalam tingkah laku dan sikap hidup manusia, tetapi juga berperan dalam motivasi implementasi ajaran Islam dalam berbagai aspek.
Selain menurut pendapat Dr. M. Quraish Shihab di atas, terminologi dakwah yang relevan dengan fiqh sosial adalah menurut Syaikh Ali Mahfudz, bahwa dakwah dilakukan untuk memotivasi manusia dalam berbuat kebajikan sesuai petunjuk dan mencegah kemungkaran agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.[2] Dari pendapat dua tokoh tersebut, titik temu antara dakwah dan fiqh sosial antara lain pada motivasi terhadap manusia untuk berbuat baik dengan mengimplementasikan ajaran agama Islam sesuai petunjuk (da’i), untuk tujuan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia akhirat dalam konteks fiqh sosial adalah perubahan situasi menjadi lebih baik (peningkatan kesejahteraan) agar kebutuhan dasar hidup manusia terpenuhi, sehingga kewajiban ibadahnya dapat dilakukan.
Yang menarik dari fiqh sosial adalah kontekstualisasi dari ajaran agama. Fiqh sosial merepresentasikan semangat Islam dalam mendorong umatnya sukses di dunia dan akhirat. Ini bersesuaian dengan ciri fiqh sosial ke lima yaitu fiqh sebagai etika sosial bukan hukum positif negara. Kiai sahal meluruskan pemahaman tetang zuhud, qanaah, wirai, dan tawakkal, bahwa kesejahteraan harus diupayakan. Pasrah terhadap keadaan ekonomi yang serba berkekurangan bukan bagian dari takdir yang harus diterima dengan serta-merta.
Dakwah dan Fiqh Sosial
Dakwah dalam perkembangannya tidak hanya terbatas dilakukan secara konvensional misalnya pada mimbar-mimbar ceramah. Dalam konteks tujuan dan teknis pelaksanaan, dikenal dakwah bil hal atau dakwah melalui tindakan. Model dakwah seperti ini, dalil-dalil ajaran Islam tidak disebutkan di sela-sela materi dakwah sebagaimana dalam mauidloh hasanah, akan tetapi menjadi dasar dari tujuan dan pelaksanaan program dakwah yang dilakukan dengan konteks sasaran dakwah yang didampingi (mad’u). Dakwah dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial dalam tata kehidupan mad’u, baik secara individual maupun kelompok. Pada titik ini, aktivitas dakwah sangat dekat dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat.
Sepanjang pembacaan penulis, dakwah bil hal oleh Kiai Sahal telah dilakukan dalam bentuk fiqh sosial dengan sasaran dakwah (mad’u) kelompok. Oleh karena itu Kiai Sahal menerapkan fiqh sosial menggunakan metode partisipatif. Fiqh diimplementasikan secara kontekstual dalam merespon masalah sosial masyarakat di lingkungannya. Tentu telah banyak diketahui bahwa formulasi kerangka gerakan dakwah bil hal fiqh sosial Kiai Sahal diawali dari kehidupan masyarakat Kajen. Potensi ekonomi masyarakat yang dapat digunakan untuk menunjang peningkatan taraf hidup mereka adalah menjadi pedagang dan wirausahawan. Mengingat di Kajen tidak terdapat lahan pertanian maupun tegal.
Potensi ekonomi masyarakat Kajen tersebut tidak diimbangi dengan kapasitas SDM dalam berorganisasi dan manajemen, serta ketercukupan dan aksesibilitas terhadap modal. Kemudian dalam prosesnya, Kiai Sahal melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat hingga taraf ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kajen meningkat. Kiai Sahal salah satunya, mengimplementasikan fiqh dalam menentukan hukum bunga bank[3] yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat terhadap modal usaha dan penyelamatan ekonomi masyarakat dari tekanan rentenir. Selain itu dan yang terutama, Kiai Sahal melakukan dakwah bil hal melalui fiqh sosial untuk mengembalikan kesadaran hidup mad’unya akan fitrahnya, yaitu beribadah kepada Allah dan menjadi pemimpin di bumi. Prinsip yang dipegang Kiai Sahal adalah kesempurnaan ibadah dapat dicapai dengan baik melalui implementasi yang baik oleh manusia menjadi pemimpin di bumi, tidak terkecuali dalam urusan ekonomi.
Implementasi Dakwah dalam Fiqh Sosial
Hadirnya wacana dakwah bil hal sekaligus membuka pemahaman baru, bahwa kegiatan ibadah tidak hanya terbatas pada ritual-ritual formal individual seperti salat dan puasa. Di luar ibadah formal, terdapat banyak bentuk ibadah non-formal yang dapat berpengaruh lebih luas terhadap ibadah formal, yaitu terkait hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Konteksnya dalam kontribusi fiqh terhadap peningkatan kesejahteraan umat, dakwah bil hal dilakukan untuk dua tujuan. Pertama, memotivasi aksi kepedulian sosial kaum muslimin yang mampu secara material, dan kedua, melaksanakan dakwah itu sendiri melalui program-program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Dalam rangka realisasi tujuan dakwah yang kedua sebagaimana tersebut di atas, penting dilakukan analisis sosial sehingga ditemukan jawaban dari pertanyaan mengapa masyarakat mengalami kemiskinan, yaitu dengan melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat tersebut. Hal ini dilakukan agar solusi yang akan digunakan tepat sesuai kebutuhan masyarakat, bisa jadi suatu masyarakat menjadi miskin karena rendahnya pembangunan sarana desa, bukan karena kekurangan kebutuhan konsumsi pokok harian.
Pertanyaan umumnya misalkan, data umat muslim di Indonesia 80%, mayoritas tinggal di pedesaan, dan tergolong miskin, berapa persen jumlah pastinya, apa sebabnya mereka miskin, apakah karena kebodohan, keterbelakangan, akses pekerjaan, SDA, atau karena sistem dan struktur politik yang tidak kondusif. Semua pertanyaan itu merupakan bagian dari assessment mapping, yang sekaligus relevan dengan salah satu prinsip ilmu dakwah bahwa seorang da’i sebelum berdakwah terhadap suatu kelompok masyarakat, harus memahami dan menguasai profil calon mad’unya itu.
Secara teknis dalam pelaksanaan dakwah bil hal fiqh sosial Kiai Sahal, terdapat beberapa orang kader yang melakukan assessment mapping terhadap kelompok-kelompok dampingan. Seluruh tahapan pendampingan mulai dari pemetaan masalah-potensi, perencanaan program aksi, pelaksanaan, dan monev dilakukan secara partisipatif bersama kelompok dampingan. Dakwah bil hal dalam konteks fiqh sosial sebagaimana prinsip pemberdayaan dalam konsep umum, juga sangat menghargai lokalitas yang ada dalam suatu kelompok, baik yang berkaitan dengan SDM, SDA, masalah, dan sebagainya.[4]
Sebagaimana tahapan-tahapan pemberdayaan masyarakat dalam konsep umum, pendekatan yang dilakukan dalam dakwah bil hal kepada masyarakat ini pun menggunakan metode pendekatan dari dalam. Masyarakat merupakan subjek pembangunan yang memiliki kemampuan memadai, sebagai SDM yang mampu mengembangkan dirinya sekaligus mencari alternatif solusi masalahnya. Kehadiran pihak luar dalam pemberdayaan hanya sebatas fasilitator yang memberikan kemudahan dan stimulus gerakan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat untuk mencapai kemandirian. Menggunakan teknik penyadaran, kerjasama, manajemen kelompok, riset, dan aksi, tentunya monitoring dan evaluasi.[5]
Berdasarkan pemetaan sosial ekonomi yang dilakukan sebelumnya, program peningkatan ekonomi pertama yang dicanangkan adalah usaha bersama simpan pinjam (UBSP). Kemudian lembaga tersebut berkembang menjadi BPPM pada tahun 1979. Masyarakat dampingan diorganisir melalui kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM). Tujuannya adalah melakukan refleksi dan assessment masalah, potensi, dan kelemahan yang ada di masing-masing kelompok serta menentukan alternatif program apa yang akan menjadi solusi permasalahan. Orientasi awalnya untuk meningkatkan penghasilan rumah tangganya, peningkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan, dan pendidikan.
BPPM kemudian berperan dalam upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui KSM. Misalnya melalui penyaluran pinjaman modal lunak, pelatihan, penyuluhan, dan konsultasi, pemantauan dan evaluasi.[6] Usaha konkritnya antara lain mengelola simpan pinjam, pembentukan dan fungsionalisasi kelompok, konsultasi usaha, pertemuan kelompok, pengembangan modal dan kegiatan produktif, bimbingan usaha produktif[7].
Kiai Sahal melalui fiqh sosial, menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk senantiasa berusaha secara ekonomis agar kebutuhan-kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan baik. Orientasinya bukan untuk menumpuk harta kekayaan dan bersikap kapitalis, akan tetapi justru agar ketenangan dan fokus dalam beribadah lebih meningkat, serta kebermanfaatan manusia terhadap sesamanya pun dapat meningkat. Sikap zuhud, qanaah, wirai, dan tawakkal dimaknai sebagai sarana untuk melepaskan kergantungan atau rasa kepemilikan terhadap harta secara pribadi dan muncunya sikap kapitalis.
Fiqh Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
Dakwah bil hal fiqh sosial Kiai Sahal dapat disebut dengan gerakan ekonomi Islam yang berorientasi pada penggerakan solidaritas sosial di kalangan umat Islam, penumbuhan etos kerja, dan kepedulian terhadap pentinganya sistem manajerial berdaya saing. Untuk mencapai itu, Kiai Sahal memandang penting adanya peningkatan kapasitas SDM yang diimbangi dengan sikap hidup produktif. Fiqh sosial Kiai Sahal dalam konteks pemberdayaan, telah mengubah pola pikir masyarakat tentang dunia yang pada mulanya negatif menjadi apresiatif berbasis religius.[8] Pemenuhan kesejahteraan dapat mendukung kesempurnaan ibadah, sebagaimana dalam teksnya “addunya mazroatul akhirat”.
Sebagaimana paparan singkat terkait tahapan-tahapan pelaksanaan dakwah bil hal fiqh sosial Kiai Sahal di atas, terdapat relevansi antara aktivitas dakwah dengan pemberdayaan masyarakat dalam konsep umum. Hal itu ditunjukkan antara lain dengan tujuan dakwah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat, melalui program-program berbasis ibadah dan berorientasi kemaslahatan umat, misalnya zakat produktif, serta dikarenakan pelaksanaan dakwah bil hal fiqh sosial Kiai Sahal memang menggunakan model pendampingan masyarakat secara umum.
Berikut beberapa implikasi dakwah terhadap pemberdayaan masyarakat yang relevan antara lain:
- Peningkatan taraf ekonomi dasar kelompok dampingan untuk kebutuhan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan
- Meningkatkan partisipasi dan kontribusi kelompok dampingan dalam pembangunan, karena sejak awal mereka telah dilibatkan
- Menumbuhkan kesadaran kelompok dampingan untuk berswadaya dan menginisiasi kemandirian dalam jangka panjang
- Mendorong pendayagunaan SDA lokal secara optimal
- Terjadi proses belajar-mengajar antara sesama warga secara berkesinambungan[9]
Meskipun demikian, fiqh sosial Kiai Sahal merupakan salah satu bentuk dakwah bil hal yang kongkrit. Dan lebih dari itu, basis ajaran Islam, dalam hal ini fiqh, menjadikan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Kiai Sahal menjadi lebih komprehensif aspeknya, dikarenakan terdapat basis agama dan bertujuan akhir pada agama dalam setiap prosesnya. Sehingga, nuansa pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Kiai Sahal tidak kering dan sangat merepresentasikan fiqh sebagai etika sosial umat Islam. Dari sisi yang lain, melalui dakwah bil hal fiqh sosial, Kiai Sahal telah membuktikan bahwa fiqh telah menjadi etika sosial umat Islam yang tepat. Mengingat pada umumnya, model pembangunan yang berorientasi ekonomi banyak mengabaikan aspek nilai dan moralitas.
Kesimpulan
Dakwah dalam perkembangannya tidak hanya dilakukan secara konvensional, akan tetapi telah dilakukan dalam sekup yang luas dan teknis lebih dialogis dan interaktif dengan mad’u. Dakwah dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial dalam tata kehidupan mad’u, baik secara individual maupun kelompok. Pada titik ini, aktivitas dakwah sangat dekat dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat.
Wacana dakwah bil hal oleh Kiai Sahal telah membuka pemahaman baru, bahwa kegiatan ibadah tidak hanya terbatas pada ritual-ritual formal individual seperti salat dan puasa, akan tetapi nyatanya banyak bentuk ibadah lain yang dapat berpengaruh lebih banyak dalam peningkatan kualitas ibadah seorang individu, yaitu ibadah sosial, dan fiqh sosial Kiai Sahal merupakan salah satu bentuknya. Fiqh sosial merepresentasikan semangat Islam dalam mendorong umatnya sukses di dunia dan akhirat. Ini bersesuaian dengan ciri fiqh sosial ke lima yaitu fiqh sebagai etika sosial bukan hukum positif negara. Kiai sahal meluruskan pemahaman tetang zuhud, qanaah, wirai, dan tawakkal, bahwa kesejahteraan harus diupayakan.
Kiai Sahal melalui fiqh sosial, menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk senantiasa berusaha secara produktif-ekonomis agar kebutuhan-kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan baik. Orientasinya bukan untuk menumpuk harta kekayaan dan bersikap kapitalis, akan tetapi justru agar ketenangan dan fokus dalam beribadah lebih meningkat, serta kebermanfaatan manusia terhadap sesamanya pun dapat meningkat. Dengan demikian, fiqh sosial Kiai Sahal merupakan salah satu bentuk dakwah bil hal yang kongkrit. Dan lebih dari itu, basis ajaran Islam, dalam hal ini fiqh, menjadikan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Kiai Sahal menjadi lebih komprehensif aspeknya, dikarenakan terdapat basis agama dan bertujuan akhir pada agama dalam setiap prosesnya. Sehingga, nuansa pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Kiai Sahal tidak kering dan sangat merepresentasikan fiqh sebagai etika sosial umat Islam.
[1]Drs. Samsul Munir Amin, MA, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009, hal. 4-5.
[2]Drs. Samsul Munir Amin, MA, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009, hal. 3.
[3] Kaitannya dengan bunga bank dan BPR Artha Huda yang didirikan Kiai Sahal, di mana menerapkan model perbankan konvensional, apakah riba? Kiai Sahal mendasarkan pandangannya pada keputusan muktamar NU. Terdapat tiga pendapat tentang bunga bank yaitu halal, haram, dan samar. Kiai Sahal menitik tekankan eksistensi lembaga perbankan pada relevansinya membantu pembiayaan usaha-usaha produktif untuk peningkatan ekonomi umat. Dalam salah satu tulisannya, Kiai Sahal berpendapat bahwa pemberian lebih banyak yang tidak diucapkan dalam transaksi maka tidak termasuk riba. Lihat dalam Jamal Ma’mur Asmani, MA, Mengembangkan Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh ..........,hal. 212.
[4] KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 2012, hal. 109-110.
[5]Jamal Ma’mur Asmani, MA, Mengembangkan Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh: Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta: Kompas-Gramedia, hal. 205-207.
[6]Jamal Ma’mur Asmani, MA, Mengembangkan Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh .........., hal. 208.
[7] Usaha produktif yang dikembangkan saat itu meliputi UB ayam buras, ayam petelur, itik, sapi, pertokoan, posyandu, kelompok petani padi, kacang, ketela, industri kerupuk, dan sebagainya
[8]Jamal Ma’mur Asmani, MA, Mengembangkan Fiqh Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh ..........,hal. 216.
[9]KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 2012, hal.113-114.