Aktualisasi nilai-nilai aswaja dalam konteks kehidupan plural dewasa ini sangat penting. Betapa tidak, sikap positif terhadap kemajemukan harus dibangun untuk menghadapi kesadaran tentang berbagai bentuk perbedaan dalam kehidupan dan interaksi sosial, misalnya tentang kerukunan antar umat beragama. Aswaja sebagai representasi sikap dan nilai hidup masyarakat NU, sangat relevan untuk diinternalisir dalam rangka mengcounter gerakan-gerakan radikalisme. Tema tentang aktualisasi nilai-nilai aswaja dan urgensinya tersebut diangkat dalam Forum Kamisan Mahasiswa PUSAT FISI kemarin, (15/4) dengan pemateri Siti Aqmarina Lailani—Peneliti magang di PUSAT FISI IPMAFA dari Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA).
Menanggapi pembahasan tema tersebut, Umdatul Baroroh, MA—Peneliti sekaligus Direktur PUSAT FISI—menyatakan bahwa, aswaja NU sudah tidak murni asy’ariyyah lagi. “... Aswaja NU dalam perkembangannya kini telah banyak beradaptasi dengan lokalitas nilai tradisi dan budaya masyarakat NU di Indonesia....” jelasnya. “....Sementara itu, ketika digunakan dalam menanggapi isu-isu pluralitas di Indonesia, aswaja masyarakat NU dengan konsep mabadi’ khaira ‘ummahnya dapat digunakan untuk reinterpretasi dan atau kontekstualisasi nash-nash maupun ketentuan fiqh yang dapat memicu pemahaman dan sikap intoleransi...” paparnya. Kembali pada konsep maslahah fiqh sosial, Muhammad Ni’am—Peneliti magang PUSAT FISI dari Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) menyatakan “aswaja NU hadir dalam rangka mengejawantahkan maslahah dalam setiap interaksi dan hubungan sosial masyarakat NU, dan tentu saja hal ini relevan dengan 5 prinsip fiqh sosial, yang menjadi batasan dalam aktualisasi nilai-nilai aswaja NU itu sendiri” paparnya.