Konsep pemberdayaan fiqh sosial ala Kiai Sahal sangat relevan dengan konsep pemberdayaan ala comdev yang berasal dari barat, bahkan lebih komprehensif.
Fiqh sosial Kiai Sahal yang menurut pemateri diskusi, Kunarti—peneliti magang di PUSAT FISI, memiliki kesamaan nilai dengan konsep etika protestan ini, menegaskan bahwa Islam sebenarnya mendorong umatnya untuk mampu secara ekonomi. Kemampuan ekonomi ini bukan dalam rangka menciptakan sikap kapitalis dan pengabaian terhadap pentingnya distribusi kesejahteraan, akan tetapi justru untuk meningkatkan kualitas beragama melalui kesalehan dan tanggungjawab sosial. Semakin banyak harta yang dimiliki seseorang, akan semakin banyak sedekah, infaq, zakat, dan wakaf yang dikeluarkan. Oleh karena itu, Kiai Sahal memandang penting untuk memaknai kembali zuhud, qona’ah, dan tawakkal.
Kiai Sahal sendiri, dalam setiap gagasan fiqh sosial dan implementasinya, selalu bertumpu pada dua prinsip, bahwa tugas manusia pada hakikatnya adalah pertama, untuk beribadah kepada Allah SWT dan kedua, menjadi khalifah di bumi. Kedua tugas itu harus dilaksanakan manusia secara seimbang, dan satu sama lain saling menunjang kesempurnaan ibadah. Sehingga, seorang muslim tidak dapat meninggalkan salah satu dari tugas ini. Inilah poin penting dari fiqh sosial yang dalam perkembangannya menjadi materi dakwah bil hal sekaligus implementasi fiqh sosial itu sendiri oleh Kiai Sahal dalam meningkatkan kualitas beragama dan taraf kesejahteraan ekonomi masyarakat.
“dengan demikian, dakwah bil hal Kiai Sahal yang terepresentasikan dalam fiqh sosial merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat berbasis Islam, bahkan lebih komprehensif dari konsep pemberdayaan masyarakat pada umumnya yang berbasis sosiologi, antropologi, dan ilmu sosial lainnya...”, papar Kunarti.
Tambahnya, “alasan mengapa fiqh sosial layak disebut pemberdayaan masyarakat yang lebih komprehensif karena, basis konsep pemberdayaan Kiai Sahal adalah keseimbangan dua tugas manusia dan tujuan akhir yang harus dicapai dari hidupnya, yang oleh Kiai Sahal disebut dengan istilah sa’adatut darain (kebahagiaan di dunia dan akhirat). Dalam nilai-nilai ajaran Islam, orang yang bahagia di dunia dan akhirat adalah yang memiliki kecukupan harta untuk kebutuhan hidup dan bersosial, serta banyak melakukan amal sholih baik yang individual seperti solat dan puasa, dan yang lebih penting ibadah sosial seperti sedekah, zakat, infak, dan wakaf..”
Dalam diskusi Forum Kamisan Mahasiswa Jumat (1/4) lalu itu, muncul kesadaran bahwa ibadah tidak hanya dilakukan secara individual, tapi juga secara sosial yang lebih penting karena memberikan dampak lebih luas terhadap kesempurnaan ibadah seseorang. Allah SWT telah mensyariatkan melalui fiqh tentang petunjuk pelaksanaan ibadah seperti sedekah, infak, zakat, dan wakaf yang bermakna pentingnya hubungan sosial bagi umat manusia, dan Agama Islam nyatanya telah memfasilitasi umatnya dalam berinteraksi sosial melalui ibadah.