Terdapat beberapa versi sejarah tentang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di antara beberapa organisasi keagamaan Islam seperti Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Fikri, dan Nahdlatut Tujjar. Beberapa versi sejarah dimaksud berkaitan dengan kronik pendirian organisasi-organisasi keagamaan tersebut yang mana saling melatar belakangi berdirinya satu sama lain. Terlepas dari hal itu, poin pentingnya adalah bahwa semua organisasi keagamaan yang melatar belakangi berdirinya NU, tentu memiliki pola gerakan yang saling menunjang satu sama lain dalam rangka menghadirkan perubahan sosio ekonomi dan keagamaan umat Islam di masing-masing masanya. Bagaimanapun juga, gerakan keilmuan dan keagamaan tidak dapat berjalan baik tanpa adanya dukungan dari gerakan ekonomi. Sehingga tentu saja, semua gerakan tersebut berjalan beriringan dalam merespon realita yang terjadi dan berkembang di masanya masing-masing.

Pembahasan tentang sejarah berdirinya NU, menjadi pengantar diskusi Forum Kamisan Mahasiswa di Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial (PUSAT FISI) IPMAFA kemarin, 30/04. Berkenaan dengan tema yang dibahas—Kembalinya NU pada Khittah 26—materi disampaikan oleh Farikhatun Ni’mah, peneliti magang di PUSAT FISI sekaligus ketua IPPNU Kecamatan Margoyoso. Pentingnya memahami sejarah pendirian NU, posisinya dalam politik sebagai organisasi keagamaan, serta Khittah 26 NU itu sendiri, menjadi elaborasi pembahasan dalam diskusi rutin 2 mingguan tersebut. Diskusipun berjalan dengan antusias dan hangat dengan dihadiri peserta mahasiswa lebih banyak dari biasanya.

NU kembali pada Khittah 26 untuk menegaskan posisinya terhadap partai politik. Sebagaimana yang diungkapkan Tutik Nurul Janah, MH—Peneliti PUSAT FISI—ketika menanggapi pertanyaan tentang sejarah kembalinya NU kembali pada Khittah 26 “Sejarah kembalinya NU pada Khittah 26 dimulai ketika politik NU telah mencapai titik kulminasi, yaitu ketika NU harus bergabung dengan PPP dan tidak diberi wewenang signifikan oleh PPP, sementara anggota dan massa partai sebagian besar dari NU”. Melanjutkan tanggapan tersebut, Umdatul Baroroh—Direktur PUSAT FISI—turut menanggapi bahwa kembalinya NU pada Khittah 26 juga untuk merumuskan kembali aswaja dan prinsip NU terhadap politik. Masih menurut Umdah, sikap politik NU adalah tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, namun begitu tidak berarti tidak berpolitik sama sekali, NU mengedepankan prinsip-prinsip tawasuth, tawazun, tasamukh, dan amar ma’ruf nahi mungkar.