Selama ini KH Sahal Mahfudh dikenal masyarakat luas sebagai Kiai yang ahli dalam bidang fikih dan usul fikih. Hal tersebut tidak lah berlebihan mengingat peran Kiai Sahal Mahfudh dalam mengembangkan konsep-konsep dasar fikih sosial sehingga mampu memberikan nuansa fikih yang tidak bertumpu pada oposisi biner halal dan haram, sebagaimana yang berkembang. Atas kepakarannya tersebut, Kiai Sahal diganjar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan gelar doktor honoris causa dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 23 Juni 2003.
Namun demikian, Ulin Nuha menilai apa yang telah ditulis Kiai Sahal dalam kitab al-Bayaan al-Mulamma’ ‘an alfadz al-Luma menunjukkan bahwa Kiai Sahal juga memiliki perhatian yang besar dalam kajian hadis.
“Dan ini (meneliti Kiai Sahal dari sisi keahliannya dalam bidang hadis) yang jarang orang bahas dari Kiai Sahal,” kata Ulin Nuha saat menjadi pemateri Diskusi Malam Jumat dengan tema Mendedah Cakrawala Hadis Kiai Sahal di Basecamp KMF Jakarta, Kamis (19/5) malam.
Ada tiga pandangan, lanjut Ulin, mengapa Kiai Sahal dihadirkan dan ditempatkan sebagai orang yang ahli dalam hadis. Pertama, Kiai Sahal adalah murid dari Syekh Yasin al-Fadani, seorang ulama yang banyak memiliki sanad hadis.
“Sebagaimana yang dikatakan oleh neng Tutik (menantu Kiai Sahal), ada beberapa kitab hadis yang diriwayatkan Syekh Yasin al-Fadani kepada Mbah Sahal, yaitu Waroqot fi Majmuu’ah al-Musalsalat, al-Aqd al-Farid min Jawahir al-Asanid, al-Musalik al-Jali, Ittihaf al-Mustafid, dan Ijazah al-Ilmiyah al-Ammah,” papar Ulin.
Kedua, Kiai Sahal adalah seorang yang ahli fikih dan usul fikih. Mengutip Kiai Said Aqil Munawwar, Ulin mengatakan bahwa seorang yang yang ahli fikih dan usul fikih itu sudah bisa dikatakan sebagai muhaddits.
Ketiga, lanjut Ulin, dari karya-karya Mbah Sahal seperti al-Bayaan al-Mulamma’ ‘an alfadz al-Luma.
“Namun demikian, itu (tiga pandangan tersebut) sangat terburu-buru untuk menilai Mbah Sahal sebagai muhaddist,” terang mahasiswa Dirasat Islamiyah UIN Jakarta tersebut.
Maka dari itu, ia melakukan penelitian terhadap kitab Kiai Sahal tersebut untuk menelisik kepakaran Kiai Sahal dalam bidang hadis. Menurutnya, kitab al-Luma tersebut memuat 91 hadis, namun ada 20 hadis yang berulang sehingga jumlah hadis dalam kitab ini adalah 71 hadis.
Dari hasil penelitiannya tersebut, ia menemukan fakta bahwa kitab tersebut terdiri dari 66 hadis yang memiliki kualitas sahih, 4 hadis yang berkualitas dhaif atau lemah, dan 1 hadis tidak diberikan penilaian karena tidak ditemukan di dalam kitab-kitab hadis.
“Satu hadis yang tidak ditemukan tersebut tentang tarjih waktu salat asar. Di dalam kitab al-Luma’ disebutkan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh ibnu Umar, namun setelah mencari sumber riwayat hadis tersebut secara maudu’i dan juga mencarinya di kitab-kitab musnad, saya tidak menemukannya,” jelas Santri Pesantren Darus Sunnah tersebut.
Namun, ia menemukan hadis tersebut diriwayatkan oleh ibnu Amr, bukan ibnu Umar. Ada dugaan di sana telah terjadi salah pengetikan. Namun demikian ia mengatakan apa adanya, yakni memberikan penilaian sebagaimana yang ada dalam teks.
Sementara itu, ia menganggap 4 hadis lemah yang digunakan Kiai Sahal dalam kitab al-Luma tersebut memiliki kualitas sahih secara matan.
“Meski lemah secara sanad, tapi itu (4 hadis tersebut) sahih secara matan karena beberapa hal seperti ijma ulama dan ada penguatan dari hadis lain (karena memiliki sisi konteks yang sama),” tandasnya.
Data-data yang disampaikan Ulin Nuha tersebut merupakan hasil penelitian skripsinya di pesantren Darus Sunnah Ciputat. Adapun judul skripsinya tersebut adalah al-Ittila’ ‘ala Ahadist al-Bayan al-Mulamma’ ‘an Alfadz al-Luma. (Ahmad)