Oleh : Farikhatun Ni’mah[1]

PENDAHULUAN

Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan) wadah bagi para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa setiap manusia hanya dapat memenuhi kebutuhannya, bila hidup bermasyarakat.

NU didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab: Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah Ulama dan pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkatdan martabat manusia.

Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang bertujuan ikut membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang di dasari oleh dasar dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut sebagai khittah Nahdlatul Ulama.

PEMBAHASAN

Sejarah Nahdlatul Ulama’

        Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan terus menyebar setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).

Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.[2]

Setelah beberapa komite, para kyai membentuk Komite Hijaz yang memiliki misi untuk mengirimkan salah satu delegasinya (Wahab Hasbullah) untuk menemui raja Arab Saudi (orang Wahabi). Pada saat itu, Raja Arab ingin menghapus madzhab dan menggusur makam Nabi dan para sahabatnya. Setelah berhasil menemui Raja Arab Saudi dan berhasil melakukan negosiasi, utusan dari Komite Hijaz kembali ke Indonesia. Setelah berhasil melakukan misinya mbah Wahab Hasbullah ingin membubarkan Komite Hijaz namun, dicegah oleh mbah Hasyim Asy’ari. Kemudian para kyai melakukan pertemuan di Surabaya kemudian lahirlah Nahdlatul Ulama’ (kebangkitan Ulama’) pada tanggal 31 Januari 1926 M (16 Radjab 1344 H).

Ada pendapat lain yang mengatakan, dalam rapat tersebut memutuskan dua hal: pertama, mengirim komite ke Makkah, untuk memperjuangkan hukum-hukum madzhab empat (kepada pemerintah baru Arab Saudi yang dipegang oleh kelompok Wahabi); dan kedua, mendirikan jama’ah bernama NO (Nahdlatoel Oelama), dengan komitmen awal menjadi gerakan sosial keagamaan. [3]

Peran NU dalam politik

        Politik (as-siyasah) dalam fiqh Islam menurut ulama’ Hanbali adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, meskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, politik harus sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya, sikap, dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari’at. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa politik tidak hanya diartikan sebagai bentuk dalam pemerintahan yang formal dan struktural. Lebih dari itu, politik meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani dan ruhani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.[4]

Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqh yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin yang harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat).

Perhatian yang tinggi terhadap masalah-masalah keagamaan pembelaan yang gigih terhadap prinsip-prinsip Islam dan syari’ah meningkatkan kedekatan NU dengan kaum nasionalis dan kesediaan untuk berkompromi demi kesatuan nasional serta penilaian yang realistik terhadap kekuatan Islam, menandai pemikiran politik NU sepanjang periode sebelum tahun 1965 M.[5]

Pada 1937, NU menyatu dengan para modernis dalam MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) untuk melindungi kepentingan-kepentingan umum.

Pada bulan Juni 1940, dalam suatu pertemuan rahasia di muktamar NU yang ke 15, sebelas orang ulama terkemuka menyetujui organisasi tersebut memilih pemimpin nasionalis, Soekarno sebagai presiden Negara Indonesia yang akan datang.

Dalam Piagam Jakarta (disepakati pada 22 Juni), yang menunjuk kewajiban bagi semua umat Islam untuk melaksanakan syari’ah. Sementara kekuatan-kekuatan sekuler menentang konsep tersebut, para pemimpin NU mendukung Piagam Jakarta dengan gigih dan juga mengusulkan bahwa presiden dan wakil presiden harus Islam. Wahid Hasyim mengajukan argumen bahwa pelaksanaan tidak boleh digunakan terhadap rakyat agar melaksanakan syari’at dan prinsip musyawarah harus memperhatikan itu. Wahid Hasyim menunjukkan fleksibilitas, namun ketika suatu hari setelah kemerdekaan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dia menerima untuk menggugurkan Piagam Jakarta.

Ketika Jepang datang ke Indonesia, MIAMI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada November 1943. Kemudian pada 1945 Masyumi resmi menjadi partai politik.[6]

Dua tahun setelah Kiai Wahab Hasbullah menjadi Rais Aam, lebih tepatnya pada tahun1952 NU mengambil langkah tegas untuk meninggalkan Masyumi, berpisah dengan para modernis yang dirasa terlalu mendominasi dan merencanakan mendirikan partai NU.

Tidak berhenti sampai disitu, NU juga masih melanjutkan keaktifannya dalam politik. NU kemudian bergabung dengan PPP, karena pada masa tersebut hanya boleh ada dua partai politik yaitu PPP dan Golkar. Pada pemilu 1971 Golkar mendapatkan kemenangannya dengan memperoleh 231 kursi sementara NU memperoleh 58 kursi di DPR.[7]

Sementara dalam politik, NU agak berhasil mempertahankan persoalan yang berkaitan dengan agama, namun hal tersebut berbalik dengan kemunduran di bidang politik. Selam pemilu 1977 sekalipun PPP memenangkan 2% suara lebih banyak dari yang diperoleh partai Islam secara bersama-sama pada tahun 1971, NU kehilangan dua kursi dibandingkan kelompok lain dalam partai tersebut. Satu tahun kemudian kemunculan John Naro dikursi kepemimpinan PPP menggantikan Mintaredja yang lebih luwes. Pada tahun 1983/1984 NU keluar dari PPP (tidak dari politik) atau dalam rumusan yang resmi kembali kepada khittah 26.Hal ini akibat bertemunya dua kekuatan: usaha Naro dalam mendominasi PPP dan juga kegelisahan para ulama dengan peran politik yang membuat organisasi semakin sulit untuk dikontrol. [8]

Munas Situbondo akhirnya memutuskan NU keluar dari PPP pada 1983 dan dipertegas pada muktamar 1984: NU membebaskan para simpatisannya dari ikatan-ikatan tradisional mereka pada partai Islam dan kemudian mengeluarkan peraturan yang melarang para eksekutif NU memegang jabatan eksekutif di PPP. [9]

Kembali pada Khittah 26

        Setelah begitu lama perannya dalam politik, NU kembali pada khittah 26. Berarti kembali pada tujuan pertama NU berdiri: menjadi organisasi sosial keagamaan bukan lagi menjadi organisasi politik. Hal ini bukan berarti simpatisan NU tidak boleh aktif dalam politik.

Kembalinya NU ke khittah 26 berarti NU harus mengalami masa transisi menuju masa depan yang sesuai dengan cita-cita para ulama. Masa transisi bukanlah hal yang mudah. Akan banyak tantangan kedepannya, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi maupun dalam budaya.

Di semua jajaran, dengan berorientasi pada khittah 26 harus mampu melihat kenyataan yang berkembang dan melihat jauh kedepan dengan analisis antisipati. Lebih penting lagi, ia harus mampu mengonsolidasi diri sebagai organisasi dan mengidentifikasi potensi yang dimiliki.[10]

Kemampuan memaksimalkan potensi diri itu disebut dengan istilah “aktualisasi diri”. Aktualisasi diri bagi NU berarti “aktualisasi khittah 26” secara utuh dan terpadu.[11] Untuk mengaktualisasikan NU harus dimulai dari kesadaran diri untuk menggali potensi dan ikut partisipasi aktif dalam hal-hal yang mendukung kemajuan NU. Barulah bersatu dari semua kalangan untuk mencapai khittah 26.

Masa depan NU berada ditangan anak muda hari ini. Dalam rangka membangun anak muda NU masa depan yang siap menjawab berbagai tantangan peradaban dan kebudayaan, Kiai Mahfudz berpesan, bahwa yang semestinya dilakukan adalah membentuk paradigma baru terhadap kehidupan ke depan. Yang hal tersebut sudah barang tentu dengan bekal keilmuan yang kuat, serta pendidikan dan persatuan. “Saya menaruh harapan pada generasi muda saat ini untuk bergerak. Kenapa harapan itu pada pemuda, karena generasi diatasnya saat ini sudah teracuni oleh kepentingan-kepentingan yang belum tentu atas nama rakyat atau umat. Sehingga kedepan kepentingan untuk bangsa inilah yang harus dikedepankan.”ungkap Kiai Mahfudz.[12]

DAFTAR PUSTAKA

Bangkit, edisi 08/TH.IV/Agustus 2015

Mahfudz, Sahal,2012,Nuansa Fiqh Sosial,Yogyakarta,LKiS.

Ridwan N Khalik,2012,NU dan Neoliberalisme,Yogyakarta,LKiS.

Wahid A,2010, NU dan Masyarakat Sipil,Yogyakarta,LKiS.

[1] Peneliti magang di PUSAT FISI IPMAFA, Ketua IPPNU Kecamatan Margoyoso Pati.

[2]https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_'Ulama . diakses pada tgl.27 April 2016. Pukul.06:47 AM

[3]Nur Khalik Ridwan,NU dan Neoliberalisme,(Yogyakarta:LKiS,cet.III.2012),hlm. 1

[4]Sahal Mahfudz,Nuansa Fiqh Sosial,(Yogyakarta:LKiS,2012),hlm.215-216

[5]Abdurrahman Wahid, NU dan Masyarakat Sipil,(Yogyakarta:LKiS,cet.III,2010),hlm.4

[6] Bangkit, edisi 08/TH.IV/Agustus 2015, hlm.19

[7] Abdurrahman Wahid, NU dan Masyarakat Sipi,...,hlm.3-20

[8] Abdurrahman Wahid, NU dan Masyarakat Sipi,..l.,hlm.21

[9]Ibid.,hlm.24

[10] Sahal Mahfudz,Nuansa Fiqh Sosial,…,hlm.208

[11]Ibid.,hlm.210

[12] Bangkit, edisi 08/TH.IV/Agustus 2015, hlm.21