Oleh: Kunarti

Fiqh sosial hadir di tengah-tengah situasi fiqh ulama di Kajen yang saat itu masih berkutat pada implementasi fiqh ubudiyah, yang bersifat asosial karena tidak berhubungan langsung dalam peningkatan taraf hidup umat secara ekonomi agar kualitas keimanannya juga meningkat. Sekalipun zakat, hanya dilaksanakan semata-mata bagian dari ibadah individu dalam rukun Islam. Zakat umumnya disalurkan untuk kebutuhan konsumsi mustahiq dalam bentuk bahan makanan pokok, belum berorientasi pada pembangunan ekonomi dan sosial.

Mengapa kondisi di atas bisa terjadi? Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh rezim orba yang mengkondisikan dan membatasi ruang gerak Kiai secara sedemikian rupa, sehingga dakwah Islam yang disampaikan hanya pada ranah ubudiyah. Struktur kemungkinan untuk mengembangkan fiqh sosial di masa itu, hampir sama sekali tidak ada. Perlahan namun pasti, Kiai Sahal mencoba menembus batas itu dengan bergerilya melalui kunjungan ke rumah-rumah penduduk dalam rangka menyampaikan dakwah Islam, sekaligus mengetahui secara langsung kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekeliling rumahnya. Dari situ kemudian, Kiai Sahal berpikir tentang formulasi fiqh yang responsif terhadap masalah sosio-ekonomi masyarakat. Semangatnya adalah mendorong tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat umat, melalui peningkatan taraf hidup yang berpengaruh pada peningkatan kualitas keIslaman.

Indikator kesejahteraan yang pertama adalah terpenuhinya basic need. Inilah hal pertama yang dibidik Kiai Sahal dalam formulasi fiqh sosial. Kiai Sahal tidak menghadap-hadapkan antara kaidah-kaidah fiqh dengan masalah masyarakat. Khususnya masalah yang terkait dengan basic need. Keduanya justru dikaitkan satu sama lain secara kontekstual, sehingga fiqh sama sekali tidak mengalami kekakuan dalam menyelesaikan masalah masyarakat dengan segala dinamikanya. Setelah kebutuhan dasar manusia terpenuhi dan memiliki ketenangan, harapannya kualitas ibadah dan sikap keIslaman mereka dapat meningkat.

Tantangan Baru

Fiqh sosial Kiai Sahal, setelah dilengkapi dengan epistemologi dan metodologinya dari hasil penelitian Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial (PUSAT FISI), menghadapi tantangan baru. Hal ini disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) dalam bedah buku yang berjudul “Fiqh Sosial: Masa Depan Fiqh Indonesia”, yang terlaksana atas kerjasama DEMA UIN Syarif Hidayatullah dan PUSAT FISI di Jakarta beberapa waktu lalu. Dalam presentasinya sebagai salah satu narasumber, Gus Ulil menyampaikan tantangan fiqh sosial: “What next? Apa setelah fiqh sosial, buah pemikiran dari ulama’ yang lahir, berkembang, dan wafat di pesantren ini, menjadi tawaran bagi fiqh Indonesia? Fiqh sosial harus menyelesaikan prospek selanjutnya. Ini adalah sebuah tantangan yang harus matang diselesaikan untuk menentukan masa depan fiqh sosial itu sendiri.” Papar Gus Ulil.

Komentar Gus Ulil menyikapi perkembangan fiqh sosial sebagai hasil pemikiran Kiai Sahal tersebut sangat menarik. Betapa tidak. Menurut Gus Ulil, Kiai Sahal merupakan seorang ulama’ yang murni dari pesantren, namun memiliki visi yang luas berskala global. Pemikiran besar berupa fiqh sosial ini, tidak bisa dibiarkan berhenti jika sudah menjadi fiqh pilihan di Indonesia. Harus ada visi dalam menyikapi perkembangan titik pencapaian fiqh sosial paska wafatnya Kiai Sahal.

Prospek Fiqh Sosial

Gus Ulil sendiri dalam kesempatan yang sama menawarkan beberapa opsi visi terkait prospek fiqh sosial. Pertama, prospek konvensional atau mengikuti tradisi yang ada. Prospek ini dapat dijalankan dengan mengembangkan pencapaian fiqh sosial ini agar dapat dikenal dan terimplementasi dalam pengaruh lebih luas. Misalnya dengan mendialogkan fiqh sosial dengan perundang-undangan, termasuk konvensi-konvensi internasional. Kedua, prospek yang tidak konvensional. Berbeda dengan prospek konvensional, dalam sudut pandang prospek ini fiqh sosial tidak hanya perlu dikembangkan, tapi juga dikenalkan dengan ushulnya, epistemologi, metodologi, dan aksiologi yang benar-benar baru sebagai diskursus baru. PUSAT FISI memiliki tanggungjawab untuk menentukan prospek fiqh sosial, baik dengan memilih di antara keduanya, atau memunculkan prospek baru dengan visi yang berbeda. Wallahu a’lam.