Oleh: Amilatul Millah*

PENDAHULUAN

Dalam bahasa jawa, “guru” katanya adalah jarwo dosok atau kerata basa, singkatan dari digugu lan ditiru, diikuti dan dicontoh. Sosok guru mempunyai posisi yang sangat tinggi dan dihormati karena segala tindak tanduknya harus dicontoh oleh murid muridnya. Karena itu, dalam budaya kita, menjadi guru bukan semata-mata urusan pekerjaan. Menjadi guru adalah panggilan menjadi panutan.[1]

Seperti halnya dalam dunia pesantren, sebutan guru lebih umum didengar dengan kata ustadz atau ustadzah. Apabila tingkatanya lebih tinggi maka dipanggil dengan sebutan kiai. Namun bukan menjadi kebanggan mendapat gelar tanpa hitam diatas putih tersebut melainkan suatu kehormatan atas kewibawaan serta pembawaan ilmu yang sangat mendalam. Tanpa meminta dipanggil ustadz atau kiai pun para santri, sebutan untuk murid di pesantren sudah menjadi tradisi ta’dzim untuk memanggil beliau.

Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdian. Pesantren mempunyai segala kelebihan dan kekurangan yang ternyata mempunyai konstribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar, dipandang sebagian kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas. Pesantren pertama kali digagas oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik awal abad ke 17 tahun 1619.[2]

Namun, tak semua masyarakat khususnya Indonesia dapat berfikir bahwa pendidikan pesantren juga penting terutama bekal menghadapi masa depan. Potret bangsa yang kian lama kian sulit terjamin generasi bangsanya dapat menjadi penerus pahlawan serta ulama terdahulu. Masyarakat hanya bisa mengadah tangan akan hukum serta fatwa ulama sebagai petunjuk taqorrub ilallah dalam konteks akhir zaman ini. Bukan sebagai hukum negara melainkan etika kehidupan sosial yang beragama.

Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz yang memiliki nasab dengan KH. Ahmad Mutamakkin ini salah satu dari segelintir ulama yang sangat ahli dalam bidang agama khususnya ilmu fiqh. Kiai Sahal sangat berpengaruh dan disegani masyarakat. Beliau merupakan tipe ulama yang sejak awal kehidupanya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren hingga segala subkultur dan kekhasannya telah membentuk pribadi dan karakter Kiai Sahal.

Beliau bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya. Seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tetapi juga kiai yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil disekelilingnya. Beliau juga bukan tipe kiai yang terus berada di “singgasana” dan acuh akan dinamika kehidupan sosial masyarakat.

Disamping itu semua, literatur pemikiran yang paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang Fikih Sosial-Kontekstual. Point utamanya adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya menggali fikih sosial dari kehidupan nyata antara “kaidah agama” dengan realitas sosial yang senantiasa tidak seimbang.

PEMBAHASAN
Menelisik Kajian Fiqh Sosial ala Kiai Sahal

Negara kita, telah lama masuk dalam cakupan zaman globalisasi. Zaman dimana teknologi semakin canggih karena apapun dapat diakses secara instan. Baik segi perekonomian, transportasi, komunikasi serta pendidikan. Semua itu dapat dilihat dalam potret kehidupan masyarakat. Mereka berlomba-lomba menciptakan imajinasi kreatif agar dapat dikonsumsi oleh yang lain. Hal itu menyebabkan kedudukan agama sedikit tergeser juga hanya berada dibawah bayang-bayang control Negara. Padahal, Negara seharusnya berada dibawah bayang-bayang control agama, agar menjadi terarah serta terdidik terutama dalam hal moral serta etika.

Realitanya, masyarakat cenderung memandang sebelah mata terhadap agama. Mereka terlalu terjerumus dalam euphoria duniawi seperti tanpa ada pembatas. Padahal, tujuan dari hidup tak lain adalah sa’adatuddaraini yakni bahagia di dunia serta akhirat. Rumusan syariat islam tersebut jelas karena kehidupan akhirat bersifat permanen berbalik 360° dengan kehidupan dunia yang hanya menjadi tempat singgah.

Disamping itu, masalah-masalah nyata terus menerus muncul seiring perkembangan sistem nilai dan budaya. Untuk itu, perlu bagi masyarakat untuk mengetahui akan fungsi serta pentingnya ilmu fiqh. Terlebih pengamalan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Fiqh adalah al ilmu bi al ahkam as syar’iyyah al amaliyyah al muktasab min adillatiha at tafshiliyyah yang berarti mengetahui hukum syariat amaliah yang digali dari petunjuk-petunjuk yang tidak bersifat global.[3]

Fiqh dalam misinya sebagai pedoman kehidupan harus mengikat masyarakat dalam segala aspek yang bertujuan tercapainya potensi kepribadian manusia yang kaffah (utuh). Dalam hal ini juga berkaitan dengan makna pendidikan Islam dalam rumusan yang ditetapkan dalam kongres sedunia,[4] yakni :

Education should aim at the balanced growth of total personality of man trough the training of man’s spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginatice, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to allah on the level of individual, the community and humanity at large.

yang memiliki arti :

Pendidikan bertujuan pada keseimbangan pertumbuhan manusia yang utuh melalui kolom pelatihan kejiwaan, kecerdasan yang ada dalam kebijaksanaan diri, perasaan dan indera. Pendidikan harus menyelenggarakan pertumbuhan manusia melalui aspek spiritual, intelektual, imajinasi, alam, ilmiah, bahasa, dalam individu maupun kelompok dan seluruh motivasi tersebut mengarah pada keutamaan serta pencapaian yang sempurna. Tujuan akhir dari pendidikan tertuju dalam realisasi penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah baik tingkat individu, kelompok dan ummat dalam keseluruhannya.

Selain itu, Allah berfirman tentang hal yang sama dengan uraian diatas, yang termaktub dalam surah al Baqarah ayat 208 :

ياأيهاالذين امنواادخلوافى السلم كافةصلىولاتتبعوااخطوات الشيطانقلىانه لكم عدومبي

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam kedamaian Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.

Dalam kitab Tafsir Mishbah karya KH. M. Quraisy Shihab menerangkan bahwa tafsir ijmal tentang ayat diatas menerangkan kata السلم diartikan dengan islam atau kedamaian. Dengan maksud orang yang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya kedalam wadah itu secara menyeluruh sehingga semua kegiatannya berada dalam koridor kedamaian. Meliputi manusia, tumbuhan, hewan dll. Semua itu terlampau secara كافة atau menyeluruh.

Ayat ini menuntut setiap yang beriman agar melaksanakan seluruh ajaran islam, jangan hanya percaya dan mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian yang lain. Ia dapat juga bermakna masuklah kamu semua kaffah tanpa kecuali, jangan seorang pun diantara kamu yang tidak masuk kedalam kedamaian atau islam.

            Karena itu, konteks terakhir dari ayat ini adalah خطوات الشيطان yang mengandung isyarat bahwa setan dalam menjerumuskan manusia menempuh jalan bertahan, langkah demi langkah, menyebabkan yang dirayu tidak sadar bahwa dirinya telah terjerumus ke jurang kebinasaan. Maka dari itu, janganlah kamu ikut langkah setan.Sesungguhnya setan itu musuh yang permusuhannya nyata bagimu atau tidak menyembunyikannya permusuhannya kepadamu.

Syari’at adalah hal yang mengatur tata kehidupan manusia muslim dalam keseharian. Jadi syari’at islam ialah hal yang mengatur hablun minallah dalam komponen ibadah serta hablun minan nas baik sosial maupun individual. Unsur kesejahteraan duniawi dan ukhrowi tentu saling mempengaruhi. Maka, tentu jelas sasaran daripada syari’at islam yakni kesejahteraan lahir batin bagi manusia.

Fiqh adalah penuntun kehidupan paling praktis dalam islam yang didalamnya terdapat 4 aspek. Yaitu ubudiyah (hubungan manusia dengan tuhannya), muamalah (hubungan professional dan perdata), munakahah (pernikahan), dan jinayat (pidana).[5] Namun, hal sukar yang dilakukan adalah menumbuhkan wawasan masyarakat tentang fiqh secara utuh dan menyeluruh. Sasarannya, bukan hanya masyarakat awam, namun juga masyarakat yang merasa telah mampu memahami fiqh secara benar.

Klasifikasi kebutuhan diatas merupakan kerangka dimana fiqh sosial seharusnya dikembangkan seiring berkembangnya zaman. Pemecahan masalah sosial berarti upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menunjang kesejahteraan dhahir batin.

Namun, segala pemecahan problem fiqh sosial tersebut harus berdasarkan pada dalil-dalil, kaidah-kaidah ataupun tabir kitab. Bukan dengan final mauquf, yakni diberhentikan tanpa ada jawaban yang jelas dan memastikan.

Fiqh sosial memiliki 5 ciri pokok yang menonjol sebagai hasil yang telah dirumuskan dari berbagai rangkaian halaqah NU selama periode 1988-1990 yang bekerjasama dengan RMI (Rabitah Maahid Islamiah) serta P3M (Perhimpunan Pengambangan Pesantren dan Masyarakat) juga ulama NU. Pertama, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua, makna bermadzhab berubah dari bermadzhab tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji). Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana ajaran yang cabang (furu’). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[6]

Sa’adatuddaraini mewajibkan ummat islam yakni ibadatullah yang tak lepas dari ikhtiar bahkan ijtihad. Dalam kitab Ar Risalah karya Imam Syafi’i. Beliau menuturkan :

Seseorang tidak boleh mengatakan ini halal atau haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari Al Quran, hadits, ijma’ atau qiyas.

Pedoman tersebut dipetik dari firman Allah SWT dalam surah an Nisa’ ayat 59 :

ياايهاالذين امنوااطيعواالله واطيعواالرسول واولى الامرمنكم ج وان تنازعتم فى شئ فرد وه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون با الله واليوم الاخرقلى ذلك خيرواحسن تاويلا

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulil-Amri diantara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Ayat tersebut memerintahkan kepada kita untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Kata Ulil-Amri diartikan bahwa kita diharuskan untuk makmum pada hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh mereka, para mujtahid. Yang dalam hal ini disebut Ulil-Amri bagi kaum muslimin. Jika terjadi perselisihan, kembalikan lagi pada Allah dan rasul-Nya. Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa pengambilan hukum tidak hanya dari Al Qur’an dan hadits tetapi, mengambil keputusan hukum itu berdasarkan hirarki Al Qur’an, hadits, ijma’ serta qiyas dan tidak boleh menghilangkan walah satu tahap saja. Qiyas sendiri selalu berpedoman kepada Al Qur’an, hadits juga ijma’.

Ijtihad sendiri merupakan perbuatan mencurahkan segala upaya daya pikir secara maksimal untuk menemukan hukum islam tentang sesuatu yang belum jelas ada dalam Al Qur’an dan hadits dengan dikaitkan dengan dalil AlQur’an, hadits, ijma’ serta qiyas.

Proses ijtihad harus terus dilakukan karena problematika zaman terus berkembang. Hal ini diutarakan oleh Imam al-Hafizh Taqiyuddin Ibnu Daqiq al-‘Id al-Qusyairi dalam kitab Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, yaitu:

لايخلوالعصر عن مجتهدالااذاتداعى الزمان وقربت الساعة

Artinya : Setiap masa tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau kiamat telah dekat.

Dan adapun syarat-syarat Ijtihad[7] :

  1. Mahir dalam hal menggali hukum dari Al Qur’an. Yaitu memahami Al Qur’an yang berkesinambungan dengan hukum. Juga harus memahami asbab an nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh-mansukh (ayat yang mengganti atau diganti), mujmal-mubayyan (kalimat inti dan uraian), al-‘am-al-khash (kalimat umum dan khusus), dan lain sebagainya.

  2. Memiliki ilmu yang luas tentang hadits. Mencakup asbab al wurud (sebab-sebab turunnya hadits), juga meliputi sejarah sanad dan perawi hadits.

  3. Menguasai ijma’ atau persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama.

  4. Memahami qiyas serta dapat mentasarrufkannya dalam memutuskan hukum.

  5. Menguasai Bahasa Arab, serta ilmu yang ada di dalamnya seperti nahwu, shorof, balaghah serta kaidah-kaidah ushul fiqh.

  6. Memahami bahwa tujuan hukum islam yakni Rahmatal Lil ‘Alamin yang mengandung toleransi penuh bagi siapapun.

  7. Memiliki pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan hukum.

  8. Mempunyai niat serta akidah yang benar. Maksudnya, bukan semata mencari kedudukan duniawi. Namun, murni lillahi ta’ala serta kemashlahatan ummat.

Segala uraian diatas telah bersemayam dalam pemikiran kiai sederhana serta kharismatik , beliau KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh[8] yang lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah pada tanggal 17 Desember 1937. Beliau memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1931-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) yang mana keduanya masih dalam naungan Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Selepasnya, Sahal muda melanjutkan nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur dibawah asuhan Kiai Muhajir hingga tahun 1957. Saat itu, Sahal muda sering berkirim surat dengan sahabatnya yang tengah menuntut ilmu di Krapyak, Yogyakarta yang bernama KH. A. Aziz Yasin. Surat tersebut ditulis dalam bahasa arab serta dilengkapi syiir-syiir.

Setelah itu, Kiai Sahal melanjutkan di pesantren Sarang, Rembang selama 3 tahun yang diasuh oleh Kiai Zubair, ayah dari Kiai Maimun Zubair atau biasa dipanggil Mbah Maimun. Pada pertengahan tahun 1960, Kiai Sahal melanjutkan belajarnya ke Mekkah dibawah bimbingan langsung oleh Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umum hanya diperoleh di Kajen.

Hampir seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961 Kiai Sahal sudah menjadi guru di Sarang, Rembang. Tahun 1966-1970 beliau menjadi dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen. Tahun 1974-1976, beliau menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah Universitas Cokroaminoto (UNCOK) Pati. Tahun 1982-1985, beliau menjadi dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo (INISNU) Semarang. Dan sejak tahun 1989 hingga akhir hayatnya beliau menjadi Rektor Institut Islam Nadhlatul Ulama (INISNU) Jepara.

Tahun 2003 beliau memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UINSYARIF) Jakarta, karena kealiman beliau dalam ilmu fiqh. Maka dari itu, beliau dikenal sebagai Fuqaha Abad Modern.

Dari rangkaian pendidikan serta pengabdian beliau, dapat dipastikan bahwa Kiai Sahal mempunyai banyak ilmu yang matang serta dilengkapi dengan pemikiran yang luas. Oleh karena itu, pada tahun 2000-2005 beliau dipercaya sebagai Ketua MUI Jawa Tengah. Hingga kemudian beliau juga dipercaya sebagai Ketua MUI Pusat pada tahun yang sama.

Pengalaman yang lain, beliau banyak mendapat kepercayaan melakukan studi banding ke luar negeri. Diantaranya Philipina dan Korea Selatan (1983), Tokyo-Jepang (1983), Srilanka dan Malaysia (1984), Arab Saudi (1987), Kairo-Mesir (1992), Malaysia, Thailand, dan Beijing (1997). Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Mergoyoso, Pati, Jawa Tengah ini juga telah menghasilkan 107 macam tulisan dalam bentuk buku dan makalah sejak 1959-1993. Beberapa diantaranya Nuansa Fiqh Sosial (LKIS, 1994), Telaah Fiqh Sosial: Dialog dengan KHMA Sahal Mahfudh (Suara Merdeka, 1997), Pesantren Mencari Makna (Pustaka Ciganjur, 1999), Thariqat al Hushul ila Ghayah al Ushul (Diantama, 2000), kitab al Faroidu al Ajibah (1959), Intifakhu al Wajdaini fi Munadharat Ulama al Hajain (1959), al Tsamarah al Hajaniyyah (1960), Faidhu al Hijai (19662), Ensiklopedi Ijma’ (1985), dan sejumlah kitab lain.

  1. Musthafa Bisri menuturkan[9], Kiai Sahal adalah “kiai terakhir” yang dimiliki Indonesia dalam hal penguasaan ilmu fiqh sekaligus ushul fiqh serta yang sekaligus mampu melakukan kontekstualisasi untuk menjawab tantangan sosial kekinian. Ushul fiqh sendiri adalah kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam istimbath. Pertama kali ditulis oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan namun, hingga sekarang kitab tersebut tak diketahui keberadaannya. Adapun yang sampai kepada kita ialah kitab ar Risalah karangan Muhammad Idris asy Syafi’I seorang imam mekkah kemudian imam mesir.

Kiai Sahal cakap dalam fiqh juga ushul fiqh. Tidak hanya itu, orang tua kiai sahal pun juga ahli dalam ilmu tersebut. Jadi, dapat dipastikan kiai sahal tidak hanya suka tetapi juga menguasai dengan kunci utama. “Bagaimana cara mengaplikasikan fiqh yang diterapkan di masa lalu tetapi juga sesuai dengan konteks kekinian”.

Menurut beliau pula, salah satu tantangan mendasar yakni bagaimana mengakulturasikan tradisionalisasi dengan modernisasi. Kiai Sahal ingin maju tanpa memusnahkan tradisi. Karena itulah beliau mengembangkan pola madzhab qauli menuju pola madzhab manhaji.[10] Madzhab qauli adalah mencari hukum suatu masalah dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang telah dibukukan didalam beberapa kitab madzhab. Madzhab manhaji adalah memecahkan masalah hukum dengan berpedoman kepada metode istiqra’ (penelitian hukum).

Dari kedua madzhab tersebut dapat digabungkan menjadi dalil al mukhafadzah ala al qadim as shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah. Memelihara hal-hal lama yang masih baik serta mengambil hal-hal baru yang lebih baik.

Fiqh sebagai etika sosial bukan sebagai hukum Negara. Bukan ketetapan seperti pancasila, UUD maupun yang lain. Namun, sebagai penciptaan dan revisi moralitas kemanusiaan. Imam Abu Hanifah, pendiri madzhab fiqh awal mendefisinikan fiqh sebagai ma’rifah al nafs ma laha wa ma alaiha yang mempunyai pengertian pengetahuan diri tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Juga apa yang membawa manfaat dan apa yang membawa madlarat.

Dari Imam Abu Hanifah, dapat dilihat bahwa fiqh mempunyai kandungan yang luas serta memiliki fungsi yang penting. Dengan begitu,fiqh tidak boleh musnah akan watak yang tertanam didalamnya. Kiai Sahal mengatakan “Teks Al Quran maupun hadits sudah berhenti. Sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai masalahnya”. Dengan demikian, wajib bagi santri, sebagai kader ahli fiqh memiliki delegasi untuk mengoptimalkan ijtihad dalam mengembangkan fiqh sosial. Dar al mafasid wa jalb al mashalih menghindarkan kerusakan dan membawa kebaikan. Ini sebagai landasan fiqh sosial.

Demikian itu karena manusia memiliki 5 hak dasar atas dhawuh Imam al Ghazali dalam kitab al Mustashfa min ilm al ushul, yakni :

  1. Hifzh al din perlindungan atas keyakinan

  2. Hifzh al nafs perlindungan atas hak hidup

  3. Hifzh al aql perlindungan atas akal hak berfikir dan berekspresi

  4. Hifzh al nasl perlindungan atas hak reproduksi

  5. Hifzh al maal perlindungan atas hak milik

Kiai Sahal mencontohkan suatu problematika masyarakat yang terjawab dengan alasan yang jelas dan terukur.[11] Shalat yang diringkas atau Shalat Qashr diperbolehkan ketika berbergian atau safar jauh sekitar 85 km. Ini menimbulkan pertentangan serta ketidakadilan. Orang yang mampu berpergian dengan menggunakan pesawat udara dari Jakarta ke Surabaya boleh meringkas jumlah rakaat shalat dhuhur menjadi dua rakaat saja dan juga diperbolehkan berbuka puasa. Sementara orang miskin yang berpergian menggunakan sepeda onthel dari Menteng ke Ciputat berjarak sekitar 30 km yang melelahkan serta tidak diperbolehkan qashr dan tidak diperbolehkan berbuka puasa. Kesulitan, kepayahan atau Masyaqqah tidak bisa dijadikan alasan hukum, karena sangat beragam dan tidak bisa diukur. Masyaqqah ini hanyalah hikmah atau manfaat yang diperoleh saja. Beliau mungkin gelisah dengan cara pandang masyarakat legal formal dan procedural, meski sungguh-sungguh memahaminya. Beliau berharap, agar factor kemashlahatan menjadi pertimbangan pemikiran para pengkaji fiqh. Kiai Sahal mengatakan “Dari uraian diatas, kita melihat suatu kebutuhan akan pergeseran paradigm fiqh; yaitu pergeseran dari fiqh yang formalistik menjadi fiqh yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukukan dengan mengintegrasikan hikmah kedalam illat (titik siklus hukum) hukum”.

Contoh lain, Imam Ibnu taimiyah dan Ibnu al Qayyim al Jauziyah dalam kitabnya menyatakan haram tawasul, ziarah kubur, dan lain sebagainya. Padahal hal tersebut merupakan secuil amaliah NU. Kiai Sahal menegaskan “Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaedah atau pepatah arab : Ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh”. Dengan ini dapat kita simpulkan, sesuatu apapun jika menghasilkan nbanyak manfaat maka tak ada salahnya pula kita amalkan.

Filsof Arab, al Kindi pernah berkata[12] :

ينبغى لنا ان لا نستحيى من استحسان الحق واتناءاحق من اين اتى وان اتى من الاجناس القاصية عنا والامم المتباينة لنا

Artinya : Seyogyanya kita tidak merasa malu untuk menerima suatu kebenaran dan menjaganya, dari manapun berasal, meskipun dari bangsa-bangsa yang jauh dan yang berbeda dari kita.

Dengan ini, pembelajaran yang paling berarti dari beliau adalah Kiai Sahal Mahfudh memiliki pemikiran fleksibel dan relevan. Bukan tekstual, ketat dan kaku. Dan pemikiran tersebut perlu kita transfer sebagai generasi penerus kiai Sahal Mahfudh.

PENUTUP

Sebagai penutup dari paper ini, seyogyanya kami paparkan contoh dialog kiai Sahal dengan masyarakat. Sebagaimana yang tertera dalam buku Dialog Denga Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problemaatika Umat) halaman 486,

Islam dan kepemimpinan perempuan

Tanya : Sekarang ini sudah berkembang luas wacana kepemimpinan perempuan, Bagaimanakah pandanyan islam terhadap hal ini dan perempuan macam apakah yang dibenarkan menjadi pemimpin? (Jamaluddin, JL Patemon Surabaya)

Jawab : Untuk masa-masa sekarang ini, kita sudah terbiasa bahkan terasa usang dan basi mendengar kata-kata emansipasi dan kepemimpinan perempuan. Hampir diseluruh bagian dunia gaungnya berkumandang memasuki segala bidang kehidupan. Kalau pada masa awalnya gerakan ini lebih ditujukan kepada penghapusan kesewenang-wenangan laki-laki atas perempuan, maka sekarang gerakan ini telah memasuki wilayah yang lebih luas, yaitu persamaan hak dak kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Termasuk diantaranya kesamaan hak untuk menjadi pemimpin, sesuatu yang tadinya sangat ditabukan (sebagai wilayah profan) untuk dibicarakan oleh perempuan.

Sekarang timbul pertanyaan dari banyak orang tentang pandangan islam terhadap masalah ini. Apakah agama islam memperkenankan perempuan untuk menjadi pemimpin ssuatu organisasi atau bahkan Negara?

Sebagian orang mengatakan bahwa perempuan sama sekali tidak boleh atau tidak pantas untuk menjadi pemimpin bagi laki-laki. Penolakan ini bahkan disandarkan dengan firman Allah dalam al Quran surah an Nisa’ ayat 34 berikut :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهمم

Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan sebaliknya. Apabila dilihat secara sepintas, memang pendapat tersebut dapat dibenarkan, tetapi perlu peninjauan lebih lanjut.

Dalam tafsir al Maraghi dan Ahkan al Quran ketika menafsirkan ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki berhak menjadi pemimpin bagi perempuan, karena ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh laki-laki. Keunggulan yang mengemuka adalah dalam segi fisik dalam berusaha atau bekerja (kasbi) dan keunggulan dalam bidang intelektualitas (nazhari). Sebagai konsekuensi logis dari kedua keunggulan itu, maka laki-laki memiliki hak dan sekaligus kewajiban yang lebih besar disbanding perempuan.

Yang perlu diperhatikan sekarang adalah bagaimana apabila kemampuan antara laki-laki dan perempuan sama sebagaimana telah diketahui bahwa perempuan sekarang cukup banyak yang terpelajar. Disegala bidang mereka telah tampil aktif, peran mereka begitu besar sebagai pengambil keputusan penting.

Apabila memang benar bahwa kepemimpinan laki-laki itu dikaitkan dengan kemampuan mereka dalam intelektualitas dan aktifitas, sebagaimana illat yang terdapat dalam ayat tersebut (wa bima anfaqu dan bima fadhdholallah) maka sama sekali tidak ada keberatan apabila perempuan juga menjadi pemimpin jika telah memeniuhi criteria kepemimpinan. Dengan kata lain, perempuan telah memiliki cukup kemampuan intelektualitas dan kemampuan aktivitas. Karena didalam agama islam sama sekali tidak ada aturan baku bahwa hanya laki-laki yang berhak menjadi pemimpin.

KESIMPULAN

Gagasan Fiqh sosial kiai sahal harus tetap dilestarikan sebagai bentuk pedoman serta pemikiran penduduk Indonesia yang mana sedang dilanda tren baik ekspor maupun import, baik faktok internal maupun eksternal, baik segi kebudayaan maupun kesenian. Selain itu, dapat pula dijadikan untuk menjaga keutuhan pancasila dan NKRI. Tak lepas dari pancasila dan NKRI, juga mempertahankan perjuangan NU dan MUI agar tidak terkotori oleh kepentingan yang keji. Disamping itu, ijtihad memperbarui pemikiran keislaman agar kontras dengan ke-modern-an juga kekinian tetap harus dilakukan sebagai generasi penerus fuqaha abad modern, KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.

* Juara III Call for Paper PUSAT FISI, Februari 2016.

[1] Susanto, Hadi, Tuhan Pasti Ahli Matematika! (Yogyakarta, Bentang, 2015), hlm 89

[2] Mahfudz, MA Sahal KH, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta, LKiS Group, 2012), hlm 281

[3] Mahfudz, MA Sahal KH, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta, LKiS, 2012), hlm xxix

[4] Achmadi ZE, Moch Ishom Drs, Kaifa Nurabbi Abnaa’ana (Yogyakarta, SJ Press, 2011), hlm 29

[5] Mahfudz, MA Sahal KH, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta, LKiS Group, 2012), hlm xxvii

[6] Mahfudz, MA Sahal KH, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta, LKiS Group, 2012), hlm viii

[7] Abdusshomad, Muhyiddin KH, Hujjah NU (Surabaya, Khalista, 2012), hlm 41

[8] Fadeli, Soeleiman H, Subhan, Mohammad SSOS, Antologi NU (Surabaya, Khalista, 2012), hlm 268

[9] Pengurus Pusat Keluarga Mathali’ul Falah, Belajar Dari Kiai Sahal (Pati, Pengurus Pusat Keluarga Mathali’ul Falah, 2014 ), hlm vi

[10] Abdusshomad, Muhyiddin KH, Hujjah NU (Surabaya, Khalista, 2012), hlm 49

[11] Pengurus Pusat Keluarga Mathali’ul Falah, Belajar Dari Kiai Sahal (Pati, Pengurus Pusat Keluarga Mathali’ul Falah, 2014 ), hlm 192

[12] Pengurus Pusat Keluarga Mathali’ul Falah, Belajar Dari Kiai Sahal (Pati, Pengurus Pusat Keluarga Mathali’ul Falah, 2014 ), hlm 197