Oleh : Muhammad Labib*

Pendahuluan

Maqashid syari’ah telah lama diaplikasikan oleh umat muslim jauh sejak islam itu sendiri lahir, namun belum berupa sebuah teori yang sistematis. Al Maqashid telah mengalami berbagai perkembangan dan penyempurnaan dari para ulama’ seiring dengan berkembangnya waktu. Dahulu, diawal-awal masa kehidupan, para ilmuan mencetuskan berbagai ilmu pengetahuan lewat media olah pikir, olah rasa, kontemplasi disamping petunjuk dari Sang Guru masing masing. Begitu juga dengan apa yang dialami oleh para pemikir kajian Al Maqashid. Mulai dari pemetaan awal dari Al Juwainy, disusul oleh pengembangan dari Al Ghazali, dan disempurnakan lagi selanjutnya oleh beberapa ulama’ termasuk As Syatibhi dan Ibnu ‘Asyur. Semuanya saling melengkapi satu sama lain dalam pembentukan dan pengkodifikasian episteme dari Al Maqashid.

Sementara itu, perkembangan zaman juga pasti tidak terlepas dari perkembangan peradaban manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan teknologi, munculnya pelbagai disiplin ilmu, pelbagai teknologi, mengantarkan kita pada masa modern dan era globalisasi. Di masa ini, kita bisa dengan sangat mudah mengakses informasi, menyaksikan kebudayaan, dan peradaban dari seluruh penjuru dunia tanpa beranjak dari tempat duduk. Imbasnya, mengantarkan kita pula pada kondisi dimana manusia saling berbeda pendapat dalam memaknai islam dan kehidupan dalam hal perspektif, metodologi dan pendekatan. Muncul kelompok kanan yang konservatif, rigid, dan radikal. Muncul pula kelompok kiri yang inklusif, dan kadang agak liberal, ditengah – tengah ada kelompok yang netral bisa karena tidak paham atau tidak peduli atau memang menjadi penengah. Tak jarang dari berbagai kelompok mengalami konflik dan akhirnya pecah pertikaian, bisa jadi dikompori oleh konspirasi politik, perebutan kekuasaan atau karena masalah pribadi.

Dahulu para ulama’ muslimin tidak akan melepaskan kajian-kajian keilmuannya dari pendekatan dan perspketif tashawuf, termasuk para pemikir dan pengembang Al Maqashid. Namun, fakta peradaban umat muslim semakin lama semakin merosot, bisa jadi diakibatkan oleh pemahaman yang keliru terhadap tashawuf. Ilmu pengetahuan schience modern yang sangat kaya di masa sekarang menggeser eksistensi tashawuf. Sebagian golongan – dari internal muslim sendiri – berbalik menentang tashawuf dikarenakan kemerosotan tersebut, dan beralih kepada corak berfikir realistis, dan positivistik. Akidah yang diibaratkan seperti otak dari islam, juga semakin lama semakin mengalami kerancuan. Pertikaian soal akidah tidak dapat dihitung lagi dalam lingkup umat islam. Fiqih yang merupakan raga fisik dari islam yang menjadi tonggak penegak islam, belum pula mampu diamalkan dengan cara-cara yang benar. Semuanya terjadi, karena tidak ada keserasaian dari ketiganya. Akidah adalah otak, fiqh adalah raga fisik, dan tashawuf adalah jiwa dari islam. Maka ketiganya tidak bisa dipisahkan. Apabila salah satu dikesampingkan, maka islam tidak akan tampak. Atau tampak tapi terlihat cacat. Sedangkan Al Maqashid adalah tujuan dari kesemuanya, tujuan dari islam yang mencirikan dirinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dibutuhkan sesuatu yang mampu mewujudkan keserasian hubungan simultan semua unsur tersebut. Sesuatu tersebut harus mampu membuat semuanya sistematis, saling terintegrasi, dan mengarahkan kepada tujuan atau ruh islam tersebut. Filsafatlah yang dirasa mampu untuk mewujudkan tujuan ini. Seperti kata Abu Nashr Al Farabi,” Tak ada entitas apapun di alam semesta ini, kecuali filsafat mempunyai pintu masuk kedalamnya”.[1] Mafhum mukholafahnya, berarti filsafat mampu untuk mewujudkan keserasian di berbagai hal.

Namun, ketika berbicara filasafat, juga merupakan bingkai disiplin keilmuan yang sangat luas karena dia bergesekan dengan segala entitas. Terdapat berbagai madzhab pula di dalamnya. Idealisme, realisme, positivisme, nihilisme, empirisme, dan lain sebagainya. Jasser auda hadir sebagai ilmuan muslim yang mencoba menawarkan pendekatan filsafat sistem dalam kajian pengembangan Al Maqashid. Fitur-fitur sistemik yang ditawarkan dirasa mampu untuk mengintegrasikan ketiga elemen diatas dan maqashid syari’ah dengan problematika kehidupan yang kompleks tidak hanya dalam ranah individu namun lebih luas pada kemaslahatan bersama. Tidak lagi menjadi orientasi ditetapkannya hukum islam yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi agama, nyawa, akal, keturunan, harta, yang melihat sasaran personal, tapi lebih kepada objek sosial yang lebih luas.

Apa dan Bagaimana Filsafat Sistem ?

Budaya literasi yang diterapkan oleh ulama’ kita, terutama fuqoha’ dalam karya-karya monumentalnya adalah memulai pembahasan suatu kajian dengan memberikan pengertian secara bahasa (etimologi:penj) dan istilah (terminologi;penj). Begitu pula dalam kajian filsafat ilmu, sebelum lebih jauh mengupas objek kajian, terlebih dahulu kita harus selesai dalam kajian ontologi (being) dari objek yang dikaji. Maka, penulis mencoba meneladani tuntunan para ulama’ tersebut. Disini terdapat dua kata yaitu filsafat dan sistem. Maka kita akan mengupas definisi dasar dari keduanya secara bergantian.

Filsafat

Secara etimologi, filsafat dalam bahasa arab berasal dari kata falsafah. Dan dalam bahasa inggris dikenal dengan philosophy, bermula dari bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari kata philein artinya cinta (love) dan sophia artinya kebijaksanaan (wisdom). Maka, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan.

Kemudian, secara terminologi pengertian filsafat bermacam-macam dari berbagai tokoh. Namun secara garis besar, kesimpulan definisi yang paparkan oleh Drs. Surajiyo adalah :

“Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena”.[2]

Sistem

Secara etimologi, sistem berasal dari bahasa Latin (systema) dan bahasa Yunani (Sustema) [3] artinya perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.[4]

Sedangkan definisi umum sistem yang dikutip oleh Jasser Auda adalah ;

“......Sistem adalah ‘serangkaian interaksi unit-unit atau elemen-elemen yang membentuk sebuah keseluruhan terintegrasi yang dirancang untuk melaksanakan beberapa fungsi.”[5]

Filsafat Sistem Jasser Auda

Ketika berbicara tentang filsafat yang akan digunakan sebagai alat dalam mengkaji maqashid syari’ah, kita terlebih dahulu harus tahu bahwa filsafat itu merupakan disiplin ilmu yang luas. Filsafat bisa masuk kedalam segala pembahasan, filsafat memiliki banyak cabang dan banyak madzhab pemikiran. Maka, dalam kajian ini kita harus paham betul apa itu filsafat sistem yang akan digunakan sebagai pendekatan dalam mengembangkan Al Maqashid.

Teori filsafat sistem muncul pada paruh kedua abad ke-20 M sebagai anti – tesis bagi filsafat modernis maupun postmodernis. Para teoritikus dan filsuf sistem menolak pandangan ‘reduksionis’ modernis bahwa seluruh pengalaman manusia dapat dianalisis menjadi sebab-akibat. Di sisi lain, filsafat sistem juga menolak irasionalitas dan dekonstruksi postmodernis, yang dianggap sebagai ‘meta-narasi’ postmodernis.

Secara umum, zaman filsafat modern dimulai pada abad 17 – 19 M, tokoh filsuf yang dikenal sebagai bapak filsafat modern adalah Rene Descartes. Basis perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu berpusat di Eropa. Periode modern ini, muncul setelah masa renaissance yang membebaskan ilmu pengetahuan dari belenggu gereja.[6] Maka, bagaikan burung yang telah lama dikurung dalam sangkar, ketika pintu dibuka, terbanglah bebas berbagai pemikiran, inovasi, termasuk madzhab-madzhab pemikiran di periode ini. Jasser Auda menyimpulkan bahwa corak pemikiran secara umum dari periode modern ini adalah model pemikiran kausalitas.

Sedangkan periode postmodern filsafat mulai diperkenalkan pada tahun 1970-an oleh Jeans – Francois Lyotard dalam sebuah seminar diantara para ahli filsafat. Tokoh familiar yang menjadi pengembang dalam periode ini salah satunya adalah Derrida. Postmodern hadir untuk mengkritik beberapa pandangan di masa modern dimana manusia telah dikendalikan secara teknis untuk berfikir rasional dengan menggunakan prinsip, sistem pembuktian, model logika, serta cara-cara tertentu lain, sehingga manusia menjadi objek sistem, bukan menjadi dirinya sendiri. Hadir untuk mengkritik itu, wujud manusia di masa postmodern bukan untuk membuktikan kebenaran, tapi mencari kebenaran.

Salah satu produk pemikiran Derrida adalah konsep Dekonstruksi yang juga tergabung dalam pandangan logosentrisme. Sebuah teori yang mengkritik pandangan-pandangan di masa modern.[7] Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan yang absolut. Padahal setiap anggapan selalu kontekstual; selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan tersebut bukan merupakan final.[8] Derrida berpendapat bahwa ‘’yang ada’’ bukanlah realitas langsung. Melainkan hanya  tanda-tanda kebenaran. Dia menganalogikan pendapatnya ini dengan fenomena luar angkasa yang ditangkap oleh mega teleskop pada Desember tahun 1999, yaitu proses pembentukan galaksi baru dari awan menjadi bintang-bintang baru yang jaraknya beribu juta tahun cahaya dari bumi. Padahal galaksi tersebut telah terbentuk berjuta tahun lalu, yang ditangkap mega teleskop hanyalah tanda-tandanya.[9]

Selanjutnya, Filsafat sistem Jasser Auda disini yang mengkritik pandangan-pandangan filsafat sebelumnya, bukanlah filsafat sistem pada umumnya yang berkiblat pada Eropa. Namun, dia mandiri berdiri dalam naungan bendera islam. Filsafat sistem yang dijadikan pendekatan baru ini, adalah sebuah pendekatan yang holistik, dimana entitas apapun dipandang sebagai satu kesatuan sistem terdiri dari sejumlah subsistem. Adapula fitur sistem akan mempengaruhi analisis sistem terhadap komponen susbsitemnya, dan menetapkan bagaimana interaksinya di dalam dan diluar sistem.

Menurut filsafat sistem Jasser Auda, alam semesta ini bukanlah sebuah mesin yang serba pasti, (pandangan kaum modernis :penj.), maupun makhluk yang tidak diketahui sama sekali (pandangan kaum postmodernis : penj.). Menurutnya, kompleksitas alam semesta ini tidak bisa dijelaskan dengan hanya hukum sebab-akibat yang pasti tanpa pengecualian, ataupun oleh klaim ‘irasionalitas non-logosentris’. Problem dunia tidak dapat diselesaikan baik oleh perkembangan teknologi yang terus maju maupun beberapa bentuk nihilisme. Oleh karen itu, berkat filsafat sistem, konsep kebermaksudan (maqasid) dengan seluruh bayang-bayang teleologisnya [10] telah kembali masuk ke diskursus filsafat dan sains.

Selanjutnya, Bapak teori sistem, Bertalanffy, mengidentifikasi beberapa fitur (kemampuan khusus;pen) atau karakteristik sistem. Berikut ringkasannya :

  1. Holisme atau kemenyeluruhan

  2. Memiliki tujuan ; mengarah pada keadaan akhir atau mencapai equibilirium.

  3. Saling mempengaruhi dan saling bergantung anatar elemen.

  4. Masukan dan Keluaran (input dan output).

  5. Transformasi (input menuju output).

  6. Regulasi (pengaturan agar dapat mencapai tujuan yang dicapai).

  7. Hierarki

  8. Diferensiasi

  9. Ekuifinalitas yaitu cara-cara berbeda yang sah yang memungkinkan tercapainya tujuan yang sama dan Multifinalitas yaitu cara-cara alternatif yang sama, tetapi memungkinkan tercapainya tujuan yang berbeda dan saling bertentangan.

  10. Entropi

Kadar kekacauan atau keacakan yang ada dalam sistem apapun. seluruh sistem tidak hidup cenderung menuju kekacauan. Jika sistem itu dibiarkan tanpa pengaturan,, maka ia akan kehilangan seluruh daya gerak dan mengalami kemerosotan menjadi benda mati. [11]

Jadi, apa yang dapat penulis simpulkan, filsafat sistem adalah satu kajian filsafat yang menggunakan sistem sebagai pendekatan untuk mencapai kebenaran hakiki. Yang muncul sebagai anti tesis pandangan filsafat modern dan postmodern. Dengan di-mudhof-kannya Jasser Auda sebagai pencetus gagasan ini untuk mengintegrasikan filsafat sistem dalam pengembangan maqashid syari’ah, maka filsafat sistem yang digunakan memiliki fitur-fitur tersendiri nantinya yang lebih spesifik.

Jasser Auda dalam karyanya telah menguraikan tentang konsep-konsep episteme dasar filsafat sistem. Penulis mencoba membahasakan ulang apa yang dimasksud filsafat sistem Jasser Auda dalam uraian diatas. Menurutnya, sebuah sistem memiliki subsistem yang selanjutnya diurai lagi kedalam teori fitur, hierarki dan analisis sistem sehingga terbentuklah sintesa filsafat sistem utuh Jasser Auda sebagai pendekatan baru. Kemudian, Auda telah mengidentifikasi 6 fitur sistem yang lebih spesifik yang akan digunakan sebagai alat analisis pendekatan filsafat sistem untuk mengambangkan Al Maqashid. Berikut rinciannya yang telah dibahasakan ulang oleh Prof. Amin Abdullah:

Watak Kognitif Sistem Hukum Islam.

Yaitu mengusulkan sistem hukum islam yang memisahkan ‘wahyu’ dan ‘kognisi’-nya. Itu artinya fikih digeser dari klaim sebagai bidang ‘pengetahuan ilahiyah’.

Fitur ini sangat berkaitan dengan salah satu 5 prinsip dasar Fiqh Sosial Kyai Sahal Mahfudh, tepatnya adalah prinsip yang ketiga yaitu verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’) dalam fiqh.[12]

Fitur Kemenyeluruhan (Wholeness).

Fitur ini membenahi kelemahan kajian ushul fiqh klasik yang sering menggunakan pendekatan reduksionis dan atomistik (mengandalkan satu nash untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi, tanpa memandang nash-nash lain yang terkait). Solusi yang ditawarkan adalah menerapkan prinsip holisme, walaupun kasusnya tematik, namun pemecahannya tidak terbatas pada ayat hukum, melainkan dengan mengikut sertakan seluruh ayat Al Qur’an sebagai perrtimbangan.

Fitur keterbukaan (openness).

Yaitu memperluas jangkaun ‘urf  (adat kebiasaan). Jika sebelumnya ‘urf dimaksudkan untuk mengakomodasi adat kebiasaan yang berbeda dengan adat kebiasaan Arab (titik tekannya hanya pada tempat, waktu, dan wilayah), maka ‘urf dalam konteks saat ini harus bertitik tekan pada ‘pandangan dunia’ dan ‘wawasan keilmuan’ seorang faqih selain ruang, waktu, dan wilayah.

Fitur ini sangat berkaitan dengan prinsip dasar fiqh sosial Kyai Sahal Mahfudh, tepatnya adalah prinsip ke lima yaitu Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah budaya dan sosial.[13] Maksud lain dari fitur ini, adalah keterbukaan kajian fiqh untuk mengintegrasikan antara dirinya dengan seluruh bidang diskursus ilmu schience, humaniora, dan ilmu praktis yang terkait.

Fitur Hierarki-Saling berkaitan (Interrelated-hierarchy),

Fitur ini memberikan perbaikan pada dua dimensi Al Maqashid. Pertama, perbaikan jangkauan Al Maqashid. Jika sebelumnya, kajian Al Maqashid bersifat partikular atau spesifik saja, maka fitur ini mengklasifikasikan Al Maqashid secara hierarkis yang meliputi ; Maqashid umum (telaah dari seluruh bagian hukum islam), Maqashid khusus ( telaah observasi dari seluruh isi ‘bab’ hukum islam tertentu, dan Maqashid Partikular (derivasi dari suatu nash atau hukum tertentu). Kedua, Perbaikan jangkauan orang yang diliputi Al Maqashid. Jika dulu Al Maqashid hanya menjangkau objek individual, maka fitur ini menjadikan jangkauan Al Maqashid meluas pada dimensi sosial dan publik.

Fitur Multi Dimensionalitas

Yaitu mengkombinasikan atau mempertemukan sisi kesamaan dilema dalil-dalil yang bertentangan dengan pendekatan Al Maqashid. Contohnya, dalil dalil perang-damai, perintah-larangan, kelaki-lakian dan kewanitaan, dan seterusnya. Jika dipahami secara parsial, maka yang terlihat adalah adanya pertentangan antar dalil. Dimensi Al Maqashid dipandang mampu untuk mempertemukan dan mendamaikan sudut padang pertentangan yang ada. Maka, hukum islam akan terlihat fleksibel dalam menghadapi problematika kontemporer.[14]

Fitur Kebermaksudan (Purposefull)

Terarah oleh tujuan ( goal-oriented ) dan kebermaksudan (purposefulness) merupakan fitur-fitur umum dalam teori sistem yang hampir serupa. Namun, Gharajedaghi mengikuti Ackoff, membedakan antara Tujuan dan kebermaksudan. Dalam konteks ini, maksud dari sistem yang memiliki kebermaksudan adalah jika, 1) sistem itu mencapai hasil (outcome) yang sama dengan cara-cara yang berbeda pada lingkungan yang sama. Dan 2) mencapai hasil yang berbeda pada lingkungan yang sama atau pada lingkungan yang berbeda.

Selanjutnya Jasser Auda memaparkan penjelasan panjang ;

“Sistem pencari tujuan (goal-seeking systems), secara mekanis, mencapai tujuan akhirnya dengan mengikuti cara-cara yang sama pada lingkungan yang sama dan tidak memiliki kesempatan atau pilihan untuk mengubah cara – caranya untuk meraih tujuan sama. Di pihak lain, Sistem pencari tujuan (goal-seeking systems) dapat mengikuti berbagai cara untuk meraih tujuan akhir atau maksud yang sama. Lebih dari itu, sistem tidak dapat memproduksi hasil yang berbeda untuk lingkungan yang sama, karena hasil yang dituju relatif telah ‘terprogram sebelumnya’. Namun, sistem bisa memproduksi hasil yang berbeda untuk lingkungan yang sama sepenjang hasil-hasil yang berbeda itu meraih maksud-maksud yang diinginkan. ‘Maqasid’ dalam cita rasa diatas, akan ditetapkan dalam buku ini sebagai salah satu fitur yang diaplikasikan dalam ushul fiqh secara keseluruhan, sebagaimana diaplikasikan dalam semua elemen hukum islam.”[15]

Dapat kita pahami bersama bahwa gagasan fresh Jasser Auda yang menawarkan filsafat sistem sebagai suatu pendekatan dalam pengembangan kajian Al Maqashid ini, secara tidak langsung mendorong agar kaum muslim melek dengan bangunan episteme kajian maqashid sebelumnya yang sudah ‘out of date’, perlu adanya fresh ijtihad yang kontekstual agar sistem hukum islam bisa diaplikasikan sesuai tuntutan zaman dan mampu mengakomodir serta memunculkan solusi yang tepat sasaran atas segala problematikia umat manusia yang semakin lama semakin kompleks. Dalam gagasan ini, Jasser Auda menegaskan bahwa Maqashid hukum islam (maqashid syari’ah ; pen) merupakan tujuan inti dari seluruh metodologi ijtihad usul linguistik maupun rasional. Proses ijtihad adalah suatu proses ikhtiar untuk merealisasikan maqashid dalam hukum islam. Kesimpulan inilah yang dikatakan oleh Prof. Amin Abdullah sebagai upaya Jasser Auda untuk mencerminkan aktualisasi prinsip / adagium populer :

" المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح "

"Melestarikan khazanah masa lalu (yang masih relevan ; pen) dan mengakomodasi khazanah masa kini yang dinilai efektif-fungsional bagi reformasi hukum islam kontemporer.”[16]

REFERENSI :

Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syari’ah : Pendekatan Sistem, (Bandung, Mizan, 2015)

Mahfudh, MA. Sahal, Nuansa Fiqih Sosial (halaman pendahuluan), (Yogyakarta, LkiS, 2007)

Isma’il, Fu’ad  & Mutawalli,  Abdul Hamid, Cara Mudah Belajar Filsafat, (Jogjakarta, IRCiSoD,2012)

Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta, Bumi Aksara, 2015)

Mustansyi, Rizal dan Munir, Misnal, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2008)

Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu ; Ontologi, Epistemologi, Axiologi,(Yogyakarta, Penerbit Rake Sarasin, 2011)

 http://kbbi.web.id/sistem

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi,

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teleolologi

http://kisaranku.blogspot.com/2010/pengertian-sistem-lengkap.html?m=1,



* Penulis adalah salah satu peneliti magang di Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial (PUSAT FISI) IPMAFA.

[1] Dr. Fu’ad Isma’il & Dr. Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat, (Jogjakarta, IRCiSoD,2012) cet. II, hlm. 51

[2] Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta, Bumi Aksara, 2015) cet. 8, hlm. 3-6

[3] http://kisaranku.blogspot.com/2010/pengertian-sistem-lengkap.html?m=1

[4] http://kbbi.web.id/sistem

[5]Lihat . . . . Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syari’ah : Pendekatan Sistem, (Bandung, Mizan, 2015) cet. 1, hlm. 70

[6] Drs. Rizal Mustansyir, M.Hum, Drs. Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2008) cet. 1, hlm. 71

[7] Lihat......Prof.Dr.Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu ; Ontologi, Epistemologi, Axiologi,(Yogyakarta, Penerbit Rake Sarasin, 2011) cet.1 , hlm. 333-341 

[8] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diakses pada hari Kamis, 24 Nopember 2016, pukul 12.06 WIB

[9] Lihat......Prof.Dr.Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu ; Ontologi, Epistemologi, Axiologi,(Yogyakarta, Penerbit Rake Sarasin, 2011) cet.1 , hlm. 340

[10] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teleolologi,  Sebuah studi tentang gejala yang memperlihatkan keterraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, arah, sasaran, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam proses pengembangan. Atau bisa juga dikatakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan kbijaksanaan objktif diluar manusia.

[11] Ibid, hlm. 64-73

[12] Lihat . . . . MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (halaman pendahuluan), (Yogyakarta, LkiS, 2007) cet.VI, hlm. XXXV

[13] Ibid, halaman pendahuluan, XXXV

[14] Lihat . . . . Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syari’ah : Pendekatan Sistem, (Bandung, Mizan, 2015) cet. 1, hlm. 12-14

[15] Ibid, hlm. 94

[16] Ibid, hlm. 15