Oleh : Zahrotun Nafisah*
Pada masa kontemporer saat ini, umat Islam sendiri masih belum bisa menghadapi dinamika tantangan zaman dengan cara melakukan ijtihad baru. Kenyataannya umat hanya membaca ulang literatur fikih klasik dan sedikit memperindah khasanah Islam kuno tanpa memberi sentuhan reformasi pemahaman dan mencari nilai fundamental dari dalam hukum Islam. Padahal yang sering bergumul dengan kehidupan sehari-hari manusia dan memiliki pengaruh besar adalah hukum Islam itu sendiri. Perlunya mengelaborasikan hukum islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern dan menggali perubahan konteks (sesuai ruang, waktu, budaya dan ilmu pengetahuan) yang terdapat dalam setiap hukum Islam akan memunculkan jawaban tentang apa dan untuk tujuan apa hukum Islam itu ada, tidak lain adalah hanya untuk kemashlahatan umat.
Seperti dalam tulisan Prof. DR. Amin Abdullah saat memberikan kata pengantar untuk buku karya Jasser Auda ini; “Upaya reformasi terhadap pemahaman hukum Islam dan penafsiran ajaran Islam seharusnya tidak ditujukan pada hukum Islam dan fikih, melainkan ditujukan langsung pada falsafah hukum Islam atau ushul fikih yang merupakan produsen-produsen hukum-hukum fikih. Bahkan ta’sil al-ushul (perumusan pondasi-pondasi fikih) jauh lebih fundamental dan mendesak untuk dilakukan pada era sekarang ini daripada hanya berhenti pada dataran usul fikih”.
Dewasa ini yang kita ketahui tentang hukum islam hanya tentang bagaimana kita patuh dan menjalankan apa yang diperintahkan dalam nash-nash yang sudah menjadi produk jadi fikih. Namun kita melupakan proses penggalian langsung hukum-hukum dari Nash dengan menggunakan ushul fikih. Yang pada intinya dari proses tersebut kita akan mendapatkan historitas keputusan fikih serta mampu merepresentasikan nilai dan prinsip umum dari Nash.
Apakah MAQASID itu?
Terma ‘Maqasid’ berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk jamak kata maqsad, yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.[1] Maqasid hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik hukum itu.[2] Bagi sejumlah teoretikus hukum Islam, Maqasid adalah pernyataan alternative untuk ______ (masalih) atau ‘kemaslahatan-kemaslahatan’. Misalnya, ‘Abd al-Malik al-Juwaini, salah seorang contributor paling awal terhadap teori Maqasid menggunakan istilah al-maqasid dan al-masalih al-ammah (kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian.[3]
Dimensi-dimensi Maqasid
Maqasid hukum Islam diklasifikasikan dengan berbagai cara, berdasarkan sejumlah dimensi. Berikut beberapa dimensi tersebut:
- Tingkatan-tingkatan keniscayaan, yang merupakan klasifikasi tradisional.
- Jangkauan tujuan hukum untuk menggapai Maqasid.
- Jangkauan orang yang tercakup dalam Maqasid.
- Tingkatan keumuman Maqasid, atau sejauh mana Maqasid itu mencerminkan keseluruhan Nash.
Klasifikasi tradisional membagi Maqasid menjadi tiga’ tingkatan keniscayaan’ (levels of necessity), yaitu keniscayaan atau daruriyyat, kebutuhan atau hajiyyat, dan kelengkapan atau tahsiniyyat.
Daruriyyat dinilai sebagai hal-hal esensial bagi kehidupan manusia. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan daruriyyat atau keniscayaan ini adalah ‘sasaran di balik hukum ilahi’. Daruriyyat terbagi menjadi ‘perlindungan agama’ atau hifdzuddin, ‘perlindungan jiwa-raga’ atau hifdzunafs, ‘perlindungan akal’ atau hifdzul-aqli, ‘perlindungan keturunan’ atau hifdzul-nasl, ‘perlindungan harta’ atau hifdzul-mal. Beberapa pakar usul fikih menambahkan ‘perlindungan kehormatan’ atau hifdzul-‘ird bersama lima keniscayaan di atas.[4]
Perbedaan Maqasid Klasik/Tradisional dan Maqasid Klasifikasi Kontemporer
Maqasid Klasik/Tradisional | Maqasid Klasifikasi Kontemporer |
a. Jangkauan Maqasid tradisional meliputi seluruh hukum Islam. Tetapi, para penggagas Maqasid tradisional itu tidak memasukkan maksud khusus dari suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topic fikih tertentu. | Maqasid klasifikasi kontemporer membagi Maqasid menjadi tiga tingkatan, antara lain: Ø Maqasid Umum (al-maqasid al-ammah): Maqasid ini dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti keniscayaan dan kebutuhan tersebut di atas, ditambah usulan Maqasid baru seperti ‘keadilan’ dan ‘kemudahan’. Ø Maqasid Khusus (al-maqasid al-khassah): Maqasid ini dapat diobservasi di seluruh isi ‘bab’ hukum Islam tertentu. Seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga; perlindungan dari kejahatan dalam hukum criminal; dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi. Ø Maqasid Parsial (al-maqasid al-juz’iyyah): Maqasid ini adalah ‘maksud-maksud’ di balik suatu nas atau hukum tertentu, seperti maksud mengungkapkan kebenaran, dalam mensyaratkan jumlah saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu; maksud meringankan kesulitan, dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa. |
b. Jangkauan orang Maqasid tradisional lebih berkaitan dengan individual. | Jangkauan orang Maqasid kontemporer lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia. |
c. Klasifikasi Maqasid tradisional tidak memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan. | Klasifikasi Maqasid kontemporer memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan. |
d. Maqasid tradisional dideduksi dari kajian ‘literatur fikih’ dalam mazhab-mazhab fikih, ketimbang sumber-sumber Syari’at (al-Qur’an dan Sunnah). | Maqasid kontemporer secara langsung digali dari Nas (al-Qur’an dan Sunnah). Pendekatan ini memungkinkan Maqasid untuk melampaui historisitas keputusan fikih serta merepresentasikan nilai dan prinsip umum dari Nash. |
Seluruh Maqasid yang dikemukakan di atas adalah bagaimana yang terdapat dalam pikiran dan konsepsi para fakih. Tidak ada satupun klasifikasi maupun struktur-struktur Maqasid, baik klasik maupun kontemporer, yang mengklaim kebenarannya ‘menurut maksud ilahiah yang asli’.[5]
Pada masa Para Sahabat telah muncul ijtihat dalam pencarian maksud dan tujuan tertentu yang mendasari al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu contoh popular adalah hadist bersilsilah rawi banyak (mutawatir) tentang “shalat ashar di Bani Quraizah”, di mana Nabi Saw. mengirim sekelompok sahabat ke Bani Quraizah dan memerintahkan mereka shalat ashar di sana. Namun, batas waktu shalat ashar hamper habis sebelum para Sahabat tiba di Bani Quraizah. Lalu para Sahabat terbagi menjadi pendukung dua pendapat yang berbeda: pendapat pertama bersikukuh shalat ashar di tempat itu apapun yang terjadi, sedangkan pendapat kedua bersikukuh shalat ashar di perjalanan (sebelum waktu Ashar habis).
Rasionalisasi di balik pendapat pertama adalah bahwa perintah Nabi Saw. itu secara tekstual meminta setiap orang untuk shalat di Bani Quraizah, sedangkan rasionalisasi pendapat kedua adalah ‘maksud/tujuan’ perintah Nabi adalah memintah para Sahabat bergegas ke Bani Quraizah, bukan ‘bermaksud’ menunda shalat ashar hingga habis waktu shalat. Menurut perawi, ketika para Sahabat melaporkan cerita tersebut kepada Nabi, Nabi meneguhkan kebenaran kedua opini para sahabat. Takrir Nabi, sebagaimana pendapat para fakih dan ulama’ menunjukkan kebolehan dan kebenaran kedua sudut pandang di atas.[6]
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab RA. Beliau juga menunjukkan penerapan pendekatan ‘berbasis-Maqasid’ terhadap perintah Nabi Saw. yang menjadikan pendapat-pendapatnya memiliki signifikansi khusus. Salah satu contoh fikih Umar RA. adalah ketika Para Sahabat meminta Umar RA mendistribusikan tanah-tanah yang ‘ditaklukkan’ kaum Muslimin di Mesir dan Irak kepada mereka di dasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang secara jelas membolehkan para tentara mujahit memperoleh ghanimah mereka. Umar RA menolak membagi seluruh kota dan daerah kepada para Sahabat dengan mengacu pada ayat lain yang memakai ungkapan lebih umum, yang menyatakan bahwa Allah Swt. memiliki ‘maksud' agar ‘tidak menjadikan orang kaya mendominasi harta kekayaan’. Oleh karena itu, Umar RA (dan para pendukung pendapatnya) memahami ayat khusus tentang ghanimah dalam konteks Maqasid hukum khusus dalam bab itu. Maqasid yang dimaksud adalah ‘mengurangi kesenjangan ekonomi’. Secara tradisional, signifikansi ijtihat Umar RA dapat dinilai sebagai ‘ijtihat kolektif’ yang dikemukakan oleh (sejumlah besar) Sahabat. Ijtihat Umar Ra itu tetap memiliki signifikansi, meski terdapat perbedaan pendapat dikalangan fakih mengenai otoritas pendapat seorang Sahabat Nabi. [7]
Pada abad ke-5 hingga abad ke-8 H, para imam madzhab tradisional mulai menggunakan metode penalaran ‘ide maksud/sebab (hikmah, ilat, munasabah atau makna) seperti penalaran melalui Qiyas, Istihsan dan pertimbangan kemaslahatan. Berikut adalah beberapa tokoh yang dilacak telah menerapkan konsepsi-konsepsi Maqasid pada abad ke-3 dan 5 H.
- Al-Tirmidzi al-Hakim (w. 296 H/ 908 M), memiliki karya terkenal dengan topic Maqasid, di mana terma Maqasid digunakan sebagai judul buku al-Shalah wa Maqasiduha (shalat dan Maqasidnya). Kemudian Al-Tirmidzi al-Hakim menulis buku serupa tentang Haji yang berjudul al-Hajj wa Asraruh (Haji dan Rahasia-rahasianya).
- Abu Zaid al-Balkhi (w. 322 H/ 933 M) mengemukakan karya terkenal pertama tentang Maqasid Muamalah, al-Ibadah ‘an ‘ilal al-Diyanah (Penjelasan Tujuan-tujuan di Balik Praktik-praktik Ibadah), di mana al-Balkhi menelaah Maqasid di balik hukum-hukum yuridis Islam. Dan juga karya lainnya ialah buku yang khusus tentang kemashlahatan berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (kemaslahatan-kemaslahatan Raga dan Jiwa), dalam buku ini dijelaskan tentang bagaimana praktik hukum Islam berkontribusi terhadap kesehatan, baik fisik maupun mental.
Kemudian Maqasid Syari’ah berkembang pada abad ke-5 hingga 8 H. diantara tokoh-tokoh yang terkenal ialah Abu al-Malli al-Juwaini (w. 478 H/ 1085 M) yang memperkenalkan ‘tingkatan keniscayaan’ yang familiar saat ini, al-Juwaini menyarankan lima tingkatan Maqasid, yaitu: Keniscayaan (darurat), Kebutuhan public (al-hajjah al-ammah), Perilaku moral (al-makrumat), Anjuran-anjuran (al-mandubat), ‘apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus’. al-Juwaini mengatakan bahwa Maqasid hukum Islam adalah kemaksuman (al-‘ismah) atau penjagaan keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.[8]
Kemudian murid al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/ 1111 M) mengembangkan teori gurunya lebih jauh dalam kitabnya, al-Mustasfa (sumber yang dijernihkan). Al-Ghazali mengurutkan ‘kebutuhan’ yang disarankan al-Juwaini sebagai berikut: 1) keimanan; 2) jiwa; 3) akal; 4) keturunan; 5) harta. Al-Ghazali juga mencetuskan istilah ‘perlindungan’ (al-hifz) terhadap kebutuhan-kebutuhan ini. Dan masih banyak tokoh-tokoh yang mengkaji tentang Maqasid dan Kemaslahatan umat, di aantaranya; al-Izz Ibn ‘Abd al-Salam, Syihab al-Din al-Qarani, Syams al-Din Ibn al-Qayyim, dan Abu Ishaq al-Syatibi.
Contoh-contoh di atas mengilustrasikan konsep-konsep Maqasid dalam aplikasi hukum Islam dan implikasi yang muncul akibat pemberian kedudukan fundamental pada Maqasid.
Kesimpulan:
- Pertemuan antara nash dan kebutuhan kontemporer akan reformasi hukum Islam akan memberikan signifikansi khusus terhadap maqasid.
- Maqasid merepresentasikan hubungan antara hukum Islam dengan ide-ide terkini tentang hak-hak asasi manusia, pembangunan dan keadaban.
- Maqasid merupakan salah satu media intelektual dan metodologi masa kini yang terpenting untuk reformasi Islami. Ia adalah metodologi dari ‘dalam’ keilmuan Islam yang menunjukkan nalar dan agenda Islam. Pendekatan ini berbeda secara radikal dengan agenda ‘reformasi’ dan ‘pembaruan’ Islam yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan terminology dan keilmuan Islam.
* Penulis adalah peneliti magang di Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial IPMAFA
[1] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah, terjemahan Muhammad el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006) h. 2
[2] Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah. Hlm. 183
[3] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 33.
[4] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 34.
[5] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 39.
[6] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 41.
[7] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 42.
[8] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 50