Oleh Arina Ulfatul Jannah

Pendahuluan

Dalam teori ini dikenalkan klasifikasi dan label kontemporer yang bermula dari kemunculan negara-negara modern yang kuat menjajah sebagian besar mayoritas penduduk muslim pada akhir abad 19 yang kemudian mempengaruhi kebangkitan kembali pembaharuan (ijtihad) Islami. Para ulama dan mufti menyadari bahwa koleksi historis pendapat masing-masing madzhab fiqih tradisional ternyata tidak mencukupi untuk menghadapi problem yang dimunculkan oleh modernitas sehingga dibutuhkan fatwa baru ke dalam ideologi Islam yang secara khusus di sebut sebagai Islam politis.

Tujuan dari ideologi Islam ini dalam rangka mendefinisikan dan menentukan label tertentu dalam berbagai kelompok, politisi maupun pemikir Islam. Oleh H. Gib, W. Smith, A.Hourani, L Binder, H. Mintjes dan R. Humphery di bagi menjadi tiga yakni tradisionalisme/fundamentalisme, modernisme dan sekularisme. William Shepard kemudian menilai bahwa ideologi Islam dianggap sebagai respon terhadap pengaruh barat untuk merehabilitasi sejarah Islam dalam klasifikasi dua dimensi yakni totalisme Islam dan modernitas.

Dilanjutkan dengan laporan RAN corporation tahun 2003 yang membagi klasifikasi Islamisme sebagai upaya mencegah benturan antar peradaban dengan ringkasan berikut: Fundamentalisme skriptual dan radikal. Kaum fundamentalis skriptual percaya bahwa ekspansi dan agresi berdasarkan pada pemahaman teologi Islam dan memaksakan ketaatan masyarakat Islam dengan jalan paksa. Sumber hukum di dasarkan pada al-qur’an, sunnah, pemimpin kharismatik dan penulis radikal. Contoh kaum Wahabi. Sedangkan kaum fundamentalis radikal mengambil pemahaman Islam melalui versi mereka sendiri dengan mengambil jalan kekerasan dan teror. Sumber hukum mereka di dasarkan pada al-Qur’an, sunnah, pemimpin kharismatik dan filsafat Islam. contoh al-Qeda, Taliban dan Hisbut Tahrir.

Tradisionalisme konservatif dan reformis. Kaum tradisionalis konservatif mendukung pemahaman Islam yang harfiah dan kaku namun tidak mengambil jalan kekerasan, hidup dalam masyarakat tradisional, dan belum sepenuhnya membedakan adat lokal dan doktrin Islam. Sumber hukum mereka di dasarkan pada al-Qur’an, sunnah, adat istiadat dan pendapat tokoh agama lokal. Contoh Akbar Ahmad dan Abd al-Rahman Doi. Sedang tradisionalis reformis lebih siap membuat kelonggaran aplikasi harfiah ortodoksi (ketaatan) melalui reformasi dan reinterpretasi dengan tujuan mempertahankan spirit hukum Islam. Sumber hukum mereka di dasarkan pada al-Qur’an, sunnah, cendekiawan termasuk filsuf sekuler, hukum dan etika modern serta konsensus masyarakat. Contoh Yusuf al-Qaradhawi dan Ruqaiyyah Maqsood.

Modernisme. Kaum ini telah siap membuat perubahan dengan jangkauan luas dalam pemahaman Islam ortodoks. Mereka percaya pada historisitas Islam dan percaya bahwa Islam yang dipraktekkan pada zaman nabi sudah tidak lagi valid. Sumber hukum mereka di dasarkan pada al-Qur’an, sunnah, cendekiawan termasuk filsuf sekuler, hukum dan etika modern. Contoh. Khaled Abou el Fadl dan Muhammad Syahrur. Sekularisme mainstream dan radikal. Kaum sekularis mainstream ingin agar dunia Islam menerima pemisahan antar agama dan negara. Agama di batasi ke dalam wilayah pribadi. Adapun kaum sekularis radikal anti Amerika dan menyebutnya sebagai musuh utamanya.

Terlepas dari tipologi ideologi Islam berdasarkan klasifikasi Nas atau sumber primer (al-Qur’an dan sunnah). Para cendekiawan menyarankan untuk mengambil posisi sentris (wasatiyyah/ moderasi). Menghidupkan kembali, pembangkitan, pembaharuan dan reformasi (ihya’, nahdah, tajdid dan islah), serta tidak membatasi diri pada mazhab fiqh tradisional tertentu tapi memilih antar pendapat mereka demi meraih kemaslahatan dalam situasi apapun. Adapun pendapat ini dapat dilalui melalui tingkatan otoritas dalil seperti hujah yakni legitimasi dalil sebagai pijakan bagi hukum yang masuk akal dalam semua keadaan dan pantas diakui kebenarannya.

Isti’nas yakni penopang atau pendukung dalil yang digunakan sebagai justifikasi tambahan seperti penerapan batas minimum bersama (al-akhz bi-aqall ma qil), implikasi konteks (dilalat al-siyaq) dan bersikap hati-hati (ihtiyat). Mu’awal diartikan sebagai validitas interpretasi (ta’wil) terhadap al-qur’an dan sunnah oleh Imam al-Zamarkasyi diringkas dengan beberapa syarat seperti tidak bertentangan dengan kaidah bahasa arab yang benar dan normal serta tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam. Ta’wil biasanya memuat bentuk pembatasan makna (takhsis) seperti pengikut mazhab Syafi’i yang menginterpretasikan kata sadaqah lebih kepada perkara ‘sunnah’ dari pada sadaqah dalam arti wajib seperti zakat.

Fihi syai’ digunakan sebagian fakih untuk mengkritik dalil yang dianggap mengandung aib atau cacat dengan tidak sepenuhnya menolak menurut pandangan biner (hujah-batil) seperti melakukan reinterpretasi apologis dengan cara mengintroduksi penjelasan yang masuk akal terhadap hukum tradisional yang ada yang sebelumnya dinilai kontadiktif dengan akal melalui kebiasaan yang dapat diterima tanpa menuntut perubahan apapun terhadap hukum itu sendiri secara praktis seperti reinterpretasi poligami surah an-Nisa’: 4 sebagai solusi ketidakseimbangan natural antara jumlah wanita dan laki-laki. Atau melalui reinterpretasi garis kanan (radikal) dengan cara menuntut perubahan dengan cara memasukkan makna kata dalam bahasa Arab yang sebelumnya belum pernah digunakan dan terkesan ganjil namun oleh para fakih bisa di terima sebagai penafsiran seperti reinterpretasi surah an-Nisa’: 3 yang menegaskan bahwa poligami dalam hukum Islam terbatas pada menikahi para janda.[1]



Telaah Sumber-Sumber Hukum Islam

Para ahli studi keIslaman abad 20 telah mampu mengedit dan mempublikasikan sumber hukum Islam dalam bentuk manuskrip yang sudah di sahkan keasliannya (ditahkik) berupa tafsir al-qur’an, koleksi hadis dan berbagai sumber hukum Islam yang dikeluarkan mazhab fiqih oleh para fakih yang kemudian masuk menjadi penelitian kembali pada masa kini. Beberapa diantaranya seperti tafsir al-Qur’an ibnu Kasir, al-Tabari, al-Baidawi dan al-Zamakhsyari, hadis al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Tirmizi, Fikih dan usulnya seperti fikih mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, Ibadi, Ja’fari, Syaf’i, Zahiri, dan Mu’tazilah. Agenda reformasi yang telah banyak di sumbangkan oleh para ahli studi keIslaman kemudian memunculkan kecenderungan terkini dalam hukum Islam dari berbagai macam teori hukum Islam kontemporer seperti tradisionalisme, modernisme dan postmodernisme.[2]

Teori Hukum Islam Kontemporer.

Tradisionalisme Islam

Aliran ini mencakup beberapa cabang terkait pengesahan ataupun kritik sumber hukum Islam diantaranya tradisionalisme bermazhab (scholastic traditionalism) yang berpegang pada satu pendapat dari beberapa mazhab fikih klasik (Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali, Syi’ah atau Ibadi) guna menanggapi isu yang di hadapi (nass fi al-mas’alah) sebagai Nas. Ayat al-Qur’an maupun riwayat hadis yang sesuai dengan konklusi suatu mazhab akan digunakan dalam rangka mencari dalil pendukung (Isti’nas). Mereka jarang menggunakan dalil sendiri. jika ada ayat ataupun hadis yang bertentangan dengan konklusi suatu mazhab maka akan diinterpretasi (di ta’wil) atau dengan menilainya dalam arti di mansukh-kan agar selaras dengan konklusi mazhab yang dianutnya. Aliran ini memperkenalkan ijtihad jika tidak ada hukum terdahulu dalam mazhab yang dipilih mengenai kasus yang di hadapi. ijtihad di dasarkan pada kias dengan hukum terdahulu yang terkait.

Contoh interpretasi ibnu Taimiyyah terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa “sebuah kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita tidak akan pernah berhasil”. Oleh Jasser Auda mengutip pendapat Hafiz Anwar dengan tesisnya yang berjudul “kepemimpinan wanita dalam hukum Islam” yang diajukan pada Universitas Imam Sa’ud di Riyadh, Arab Saudi sangat keberatan dan menolak hadis tersebut didasarkan pada pertimbangan konteks politik hadis disamping integritas rawinya. Dikatakan pula bahwa tadisionalisme bermazhab (skolastik) di nilai gagal menyatakan keadilan dan kesetaraan karena mengambil riwayat dan pendapat tertentu tanpa memandang konteks historis maupun geografis dan langsung menerapkannya pada kehidupan masa kini.

Neo-tradisionalisme bermazhab (scholastic Neo-traditionalism) terbuka bagi lebih dari satu mazhab fikih klasik sebagai sumber referensi hukum yang sah. Kriteria pemilihan antar mazhab bervariasi. Pertama, autentitas dalil mazhab yang dinilai berdasarkan revisi ulang kontemporer jalur rawi (sanad). Kedua, suara mayoritas yang mendukung pendapat terpilih dengan menunjukkan mazhab populer saat itu yang mendukung pendapat itu. Ketiga, memilih satu pendapat tradisional dibanding yang lain seperti kemaslahatan masyarakat atau maqasid hukum Islam.

Adapun variasi keterbukaan paling tinggi aliran ini juga mencakup pendapat para sahabat dan ulama pra-mazhab serta keterbukaan paling rendahnya adalah hanya menerima pendapat hanya dalam empat lingkar mazhab sunni di samping Ibadi atau mazhab syi’ah. Para tokoh aliran ini menegaskan bahwa pendapat terpilih didukung setidaknya oleh satu mazhab akan tetapi bagi mazhab syi’ah dan ibadi, ijmak merupakan kesepakatan para fakih dalam mazhab mereka sendiri. Dalam lingkaran aliran ini, ijtihad terbatas pada area fatwa dan bukan pada sumber atau metodologi usul yang umumnya di nilai tetap (sawabit).

Berbekal pada literatur hukum Islam yang luas serta elemen rasionalitas/maslahat membuat pendekatan mazhab ini selalu dapat menemukan pendapat historis yang menjawab pernyataan kontemporer dengan berbagai bentuk perbedaan konteks maupun kondisi yang ada walaupun terkadang premis yang di jadikan landasan kadaluarsa (out date) karena pembatasan diri pada fatwa atau isu kontemporer. Contoh fatwa klasik mazhab Hanafi yang membolehkan umat muslim untuk berhubungan dengan riba di luar bumi Islam (dar al-Islam) yang kemudian ditanggapi dewan Eropa untuk fatwa dan penelitian (the european courcil for fatwa and researcah-ECFR) sebagai konsep yang kontra-produktif mengingat konstruk historis yang menunjukkan satu dunia yang terbagi dalam dua kubu yang berseteru.

Neo-literalisme berkaitan hubungan dengan mazhab Zahiri yang sudah punah dan dianggap tidak sekedar sebagai fenomena sunni namun juga fenomena syiah. Kelompok Akbari penganut paham syiah abad pertengahan menentang penalaran analogis (kias) serta seluruh ijtihad namun kemudian dipatahkan oleh gerakan reformasi imam Bahbahani pada akhir abad 18. Jika mazhab literalis kuno terbuka pada koleksi hadis yang luas berbeda dengan mazhab neo-literalis yang bergantung pada koleksi hadis satu mazhab fikih. Ditambah dengan mazhab literalis kuno mengesahkan istihsab sebagai sumber fundamental hukum yang memiliki maksud di dalamnya berbeda dengan neo-literalis menolak ide maqasid sebagai sumber hukum yang sah.

Faktanya, neo-literalis secara keras mengkritik teori maqasid sebagai ide sekular terselubung. Pemblokiran sarana yang dapat menimbulkan madharat (sadd al-zara’i) merupakan tema berulang yang ada dalam pendekatan neo-literalis yang di manfaatkan oleh rezim otoritarian sebagai tujuan mereka sendiri khususnya pada area hukum yang berhubungan dengan wanita seperti larangan bekerja di TV atau radio, larangan mengemudi mobil karena akan bebas dari pengawasan dan otoritas laki-laki serta jika wanita mengajukan lisensi SIM maka fotonya dianggap dapat menimbulkan fitnah, dan sejenisnya.[3]

Modernisme Islam

Istilah modernisme Islam digunakan oleh beberapa tokoh. Jasser Auda meminjam pendapat Ebrahim Musa untuk mengidentifikasi cita-cita kelompok cendekiawan muslim abad pertengahan yang secara fleksibel membantu perkembangan inovasi dan mampu beradaptasi terhadap perubahan selaras dengan zaman. Dilanjutkan dengan Charlez Kusman yang menggunakan istilah ini untuk mengidentifikasi gerakan dalam mencari jalan rokonsiliasi keyakinan Islam dengan nilai modern seperti konstitusionalisme, kebangkitan budaya, kebebasan penafsiran agama, investigasi ilmiah, nasionalisme, pendidikan modern, maupun hak wanita.

Terakhir, Zianuddin Sardar menggunakan istilah ini untuk mengkategorikan sejumlah reformis abad 20 yang secara serius membuat usaha dalam berijtihad kaitannya dengan cara berfikir barat dan organisasi sosialnya dengan menggunakan konsep maslahat secara khusus. Kontributor utama modernisme Islami ialah Muhammad ‘Abduh (1849-1905) dan Muhammad Iqbal (1877-1938). Reinterpretasi ‘Abduh tentang medernis Islami bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam koheren dengan sains modern dan rasionalitas yang kemudian mengantarkan ‘Abduh mencari interpretasi metaforis untuk seluruh masalah metafisik Islam dalam cita rasa abad 19 seperti reinterpretasi pohon yang dimakan oleh adam dan hawa sebagai metafora bagi kejahatan dan ketidakpatuhan mereka.

Pendekatan modernis Islam terbagi atas beberapa mazhab seperti Reinterpretasi reformis yang populer dikenal sebagai mazhab kontekstual (madrasah al-tafsir al maudu’i), mazhab tafsir tematik (madrasah al-tafsir al-mihwari) dan di kenal Fahzur Rahman sebagai interpretasi sistematik. Mazhab ini memberikan metode atau cara membaca al-Qur’an mencari tema umum secara keseluruhan baik surah maupun ayat dalam al-Qur’an. Jasser auda meminjam bahasa Ayatullah al-Sadr yang menginterpretasikan metode tematik/kontekstual al-Qur’an dalam menyajikan konsep sejarah dan masyarakat ideal.

Adapun Salwa al-awwa menginterpretasikan al-Quran melalui pendekatan linguistik modern dalam nuansa sistematis dengan mempertimbangkan konteks emosional, situasional, dan kultural sebagai alasan multi makna (al-wujuh atau al ta’ddud dilali) yang disarankan oleh para mufasir tradisional dalam beberapa ungkapan al-Qur’an. Dilanjutkan Abdul Karim Soroush yang melihat sisi manfaat interpretasi baru terhadap al-Qur’an yang dilakukan oleh al-Tabatha’i dengan menggunakan bahasa al-Qur’an itu sendiri melalui lingkaran hermeneutika yang tidak sekedar menfokuskan makna kalimat semata namun juga fungsinya.

Jika reinterpretasi reformis bertujuan membuat perubahan yang nyata dalam implementasi praktis hukum Islam berbeda dengan Reinterpretasi apologis yang digunakan sekedar untuk menjustifikasi status quo tertentu (Islam/non Islam). Jasser Auda meminjam pendapat Abdul Aziz Sachedina misalnya, mengeksplorasi akar pluralisme demokrasi Islam dalam al-Qur’an dan bukti masyarakat madani (civil society) pada awal komunitas muslim di Madinah untuk melegitimasi ide sekular terkait kewarganegaraan dalam kultur politik umat Islam.

Adapun Rasyid al-Gannusyi lebih berhati-hati dalam mendukung demokrasi yang secara prinsip tidak berdasarkan interpretasi langsung pada Nas akan tetapi lebi kepada fakta bahwa esensi hukum Tuhan merupakan kunci penegak keadilan bagi umat manusia. Dari reinterpretasi apologis ini di perlukan teori berbasis kemaslahatan untuk menghindari kelemahan apologis dengan membaca Nas dalam kaitannya dengan kemaslahatan yang dicapai oleh Muhammad Abduh dan al-Tahir ibn ‘Asyur diberikan perhatian khusus terhadap kemaslahatan dan maqasid dalam hukum Islam dan menilainya sebagai komponen dalam reformasi fundamental dalam hukum Islam.

Revisionisme Usul berusaha merevisi ilmu usul fikih. Sejumlah revisionis usul mengungkapkan bahwa signifikasi hukum Islam tidak bisa berkembang jika dilakukan tanpa mengembangkan metodologi usul fikih. Muhammad Abduh misalnya mempertanyakan ijmak dalam dua bentuk yakni ijmak terhadap hukum dan ijmak terhadap riwayat hadis. ‘Abduh menyeru pada studi rasionalnya bahwa dua bentuk ijmak tadi masih tergantung pada warisan literatur hukum Islam karena alasan banyaknya nama para rawi yang sekedar di duplikat oleh para ulama tanpa mengetahui perilaku, kapabilitas pemahaman dan cara menghafal hadis  dan pendengarnya hanya sekedar taklid tanpa memiliki kemampuan menginvestigasi sendiri.

Reinterpretasi berbasis sains merupakan pendekatan rasionalitas mazhab baru yang digunakan untuk menginterpretasi sains atas al-Qur’an maupun sunnah agar selaras dengan penemuan ilmiah terbaru serta mempertimbangkan hasil pengetahuan manusia masa kini. Jika pendekatan modernis terhadap hukum Islam dilakukan untuk mengatasi sejumlah kekurangan pendekatan tradisional serta menyajikan jawaban yang lebih realistis terhadap pertanyaan masa kini. Maka ketika modernisme barat di kritik, pendekatan modernis juga tak luput dari perhatian untuk mulai dikritik melalui pendekatan posmodernisme.[4]

Teori berbasis ideologi merupakan aliran tradisionalisme yang bertemu dengan posmodernisme dalam mengkritik rasionalitas modern dan nilai sentralitas Eropa yang dianggap bias dan penuh kontradiksi secara internal. Topik utama aliran ini adalah pemerintah, legislasi, dan kedaulatan (al-hakimiyyah wa al-tasyi’ wa al-siyadah) sebagai hak Allah SWT semata dan tidak diberikan kepada masyarakat berdasarkan perjanjian mapun hak apapun. Sejumlah argumen pendukung juga digunakan untuk konsumsi publik seperti kebebasan menjadi kafir di barat, seks bebas sampai sekularisme. Semangat atau Elan dasar aliran ini adalah anti barat.[5]

Pendekatan Posmodernisme

Posmodernisme diartikan sebagai kekuatan yang tertuju pada proses intelektual, politik era kultural yang bersifat kontemporer dan bertujuan untuk mendekonstruksi dan memformat ulang banyak tradisi artistik, kultural, dan intelektual konvensional. Hal ini terkait pada paruh pertama abad 20 dengan gagalnya nilai yang dianggap deterministik dan terlalu menggeneralisasi. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini ialah dekonstruksi yang di pahami sebagai satu ide/proses/agenda/siasat desentralisasi dalam rangka membongkar hierarki yang bersifat memaksa dan sesuka hati yang diajukan oleh Jacques Derrida pada 1960 sebagai pengembangan seruan Heidegger terhadap dekonstruksi tradisi metafisika barat. Misal, hirarkis diskriminasi seperti kebaikan, laki-laki putih, atau Eropa versus kejahatan, wanita, hitam atau Afrika.

Pendekatan posmodernisme terbagi atas pos-strukturalisme yang digunakan sebagai alat analisis yang menempatkan teks sebagai basis perkataan (speeech). Semua pengetahuan manusia dinilai bersifat teks/tekstual. Para cendekiawan muslim menggunakan dekonstruksi posmodernisme terhadap al-Qur’an sebagai nilai yang menempati pusat budaya Islam. Konsep syariah dalam Nas digeser dari posisi tradisional sebagai pesan ilahiah menuju pengertian penerimaan Nabi atas al-Qur’an sebagai pesan dalam kode khusus yang diurai dalam bentuk bahasa Arab sesuai dengan konteks kejadian dan kondisi yang berlaku saat itu.

Tujuan dekonstruksi posmodernisme ini adalah pembebasan manusia dari otoritas ilahiah atau kedaulatan Nas. Tokohnya seperti Muhammad Arkoun, Nasr Abu Zaid, Hasan Hanafi dan seterusnya. Oleh Hasan Hanafi misalnya, menyeru pergantian terma absolut dan esensial seperti Tuhan, surga, neraka, akhirat dengan konsep non ambigu seperti kebebasan, demokrasi, alam, dan nalar. Historisme digunakan oleh pendekatan posmodernis untuk menyatakan bahwa ide tentang teks, budaya, dan kejadian ditentukan oleh posisi dan fungsinya dalam konteks historis aslinya dan oleh perkembangan selanjutnya. Jasser Auda percaya bahwa kejadian historis dan hukum yuridis tertentu yang di jelaskan dalam al-Qur’an harusnya dipahami dalam konteks kultural, geografis, dan historisnya.

Oleh sebab itu, teks al-Qur’an yang berkaitan dengan konteks khusus bisa diterapkan secara universal di setiap situasi dan kondisi. Penerapan ini dapat terwujud melalui pencarian maqasid dan nilai moral dari kisah dan hukum selangkapnya al-Qur’an untuk menerangkan jalan ijtihad dalam mengaplikasikan teks al-Qur’an dalam kondisi yang serba berbeda dan cepat berubah sekalipun. Jasser Auda meminjam perspektif Ayatullah Syamsuddin yang merekomendasikan para fakih masa kini untuk menggunakan pendekatan dinamis terhadap Nas dan tidak melihat Nas sebagai legislasi absolut namun lebih kepada universal dan memungkinkan adanya legislasi relatif/fleksibel di setiap keadaan tertentu. Neo rasionalisme merupakan lanjutan dari pendekatan historis yang digunakan dalam hukum Islam dan mengacu pada mazhab muktazilah sebagai referensi tradisional oleh pandangan mereka. Mazhab mu’tazilah memberikan rasio/nalar sebagai sumber mandiri dan dalil hukum paling fundamental.

Muktazilah mengakui otoritas al-Qur’an sebagai sumber legislasi berdasarkan nalar untuk menasakh Nas. Studi legal kritis (Critical Legal Studies-CLS) dipahami sebagai gerakan awal Amerika Serikat yang bertujuan mendekonstruksi doktrin legal yang sudah di terima dalam rangka mendukung reformasi kebijakan fragmatis. Metode CLS ini digunakan oleh para cendekiawan Islam untuk menganalisis dan mendekonstruksi kekuatan dominan laki-laki hingga suku Arab pada sistem hukum Islam. Feminis muslim misalnya, menentang efek elitisme laki-laki tradisional pada formasi sistem hukum Islam tradisional ataupun koreksi hadis yang membahas relasi kaum laki-laki dengan perempuan.

Feminis muslim modernis maupun posmodernis secara bersama mengkritik dampak perebutan kekuasaan terhadap otoritas hukum tradisional yang memberikan pembatasan terhadap keputusan perempuan dalam menentukan nasibnya. Pos-kolonialisme merupakan pendekatan posmodernis pada studi keislaman dalam nuansa poskolonial yang dipergunakan oleh para cendekiawan muslim sebagai dukungan suara terhadap subyek marginal yang disebabkan oleh kolonisasi Barat, menggugat keunggulan budaya dan rasial Barat. Pendekatan ini bertujuan untuk mendekonstruksi kekuatan globalisasi dan hegemoni Barat sebagai pusat dunia, mengidentikkan westernisasi dengan kontemporerisasi, menuduh aktivitas politik dan sosial umat Islam atas dasar agama yang non-rasional.[6]



Referensi utama

Auda, Jasser, 2008. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Bandung: PT Mizan Pustaka.

[1] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, (Bandung:PT Mizan Pustaka, Anggota IKAPI, Cetakan 1, Agustus 2008), Hlm. 190-204.

[2] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm. 205-211.

[3] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm. 211-219.

[4] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm. 220-235.

[5] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm. 219-220.

[6] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah... hlm. 235-249.