Oleh: Ahmad Khoirun Niam*

Pendahuluan

Apakah pelaksanaan syariat hanyalah merupakan bukti ketaan seorang hamba kepada Tuhannya tanpa ada keterkaitan dengan manusia sama sekali dalam kehidupan di dunia ini? Ataukah sebenarnya setiap gagasan syariat juga dimaksudkan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia bukan hanya di akhirat tetapi juga di dunia?

Pertanyaan ini kiranya tak akan habis dibahas jika kita tidak memahami maqasid dan mengikuti informasi pekembangan ilmu, khususnya kajian ushul fiqh, qawaid, tafsir hadits dan keilmuan keislaman lain. Fikih dalam Agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihad (intellectual exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihad . Ada aliran Fikih yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk terlibat dalam proses ijtihad , ada aliran yang cenderung literal karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihad, sehingga muncul aliran penengah yang berusaha memberikan porsi yang sama antara teks dan wahyu.

Mengutip dari buku Nuansa Fiqh Sosial, salah satunya ialah pandangan yang menempatkan fiqh sebagai sebagai kodifikasi hukum yang sama derajatnya dengan Al-qur’an dan Hadits. Pandangan ini dianggap tidak proporsionaal karena akan menimbulkan corak yang statis, tekstual dan tidak dapat mengikuti perkembangn zaman.[1]

Disini kita akan membahas maqasid syariah perspektif Ibnu Asyur, ulama kontemporer yang berjasa besar mengembangkan maqasidus syariah, tidak hanya dari sudut pandang bagaimana hukum Islam itu menjadi sarana individu untuk bisa lebih dekat kepada Tuhan, tapi bagaimana manusia itu benar-benar berfungsi sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk yang berketuhanan. Pemahaman dan pengembangan pengetahuan Maqasidus syariah menjadi tenting kiranya untuk kita dapat merasakan spirit tasyri’ agar keimanan kita menjadi bertambah.

Profil singkat Ibnu Asyur dan pengertian Maqasidus Syariah

Nama lengkapnya adalah Muhammad at-Thahir Ibnu Muhammad bin Muhammad at-Thahir bin Muhammad bin Syekh Muhammad as-Syadzili bin al-‘Alim Abdul Qadir bin al-‘Alim az-Zahid al-Wali as-Shalih Syekh Mahmad bin ‘Asyur . Muhammad at-Tahir ibnu ‘Asyur Dilahirkan di dekat ibu kota tunisia pada tahun 1296 H. / 1879 M. Beliau adalah keturunan keluarga ulama besar yang dirunut akan sampai hingga ulama maliki andalusi.

Pendidikan awal beliau dapatkan dari kedua orang tuanya dan dari segenap keluarganya baik langsung maupun tidak langsung. Khususnya kakeknya, beliau belajar Al-Quran dan menghafalnya. Setelah itu menghafal beberapa kitab matan seperti matan Ibnu Asyir al-Jurumiyah dan juga kitab syarah al-Syeikh Khalid al-Azhari Ala Al-Jurumiyah . Setelah itu, beliau belajar di Zaitunah. Az-Zaitunah itu sederajat denngan Al-Azhar di Kairo. Az-Zaitunah merupakan model pendidikan yang berpusat pada mesjid, beliau belajar Al-Quran, baik hafalan, tajwid, qira’at dan lain sebagainya. Beliau belajar di Az-Zaitunah sampai beliau ahli beberapa disiplin Ilmu. Beliau mempelajari beberapa ilmu diantaranya Ilmu Nahwu, Ilmu Balaghah, Ilmu lughah, Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Hadits, Mantiq, Ilmu Kalam, Ilmu Faraid, Ilmu tarikh dan lain sebagainya.

Selain dari orang tua dan kakeknya, beliau juga belajar dengan ulama-ulama lainnya. Diantaranya: Syeikh Muhammad Ad-Dari’iy, Syaikh Muhammad Al-Shalib al-Suarif, Syeikh Muhammad Al-Khaliy, Syeikh Umar Ibnu Asyar, dan lain sebagainya.Beliau hidup zaman dengan ulama ternama di Mesir yaitu Muhammad Al-Khaddar Husein at-Tunisy. Mereka adalah teman perjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Pada akhirnya Muhammad Al-Khadar Husein At-Tunisy menjadi Mufti di Mesir dan Muhammad Thahir Ibnu Asyur menjadi Mufti di Tunisia.Dan murid-murid beliau sangat banyak sekali karena beliau merupakan Syeikh besar pada Universitas tersebut. Diantara murid-murid Ibnu ‘Asyur yang terkenal adalah Syeikh Muhammad Al-Fadl Ibnu Asyur, Syeikh Abd al-Humaid ba Idris, Syeikh al-Fadl Muhammad Asy-Syazili An-Naisaburi, dan lain sebagainya.

Maqasid hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik hukum itu.[2]Fiqh sosial gencar melakukan sosialisasi dan mengajak kita untuk lebih memahami maqashid asy-syari’ah yang menjadi inspirasi upaya mengembagkan madzhab qauli dan manhaji. Rumusan dari pada maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) telah diditetapkan pada zaman Rasulallah saw. terdiri dari lima bagian. Menjaga agama, melindungi jiwa, melindungi keturunan, melindungi akal, dan melindungi harta benda. Rumusan ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek penyembahan Allah[3] tetapi kepentingan lima hal fundamental inilah yang menjaid indikator kemaslahatan umum, baik yang bersifat dharuriyyat (primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (komplementer)[4]. Dari rumusan inilah pengembangan madzhab qauli dan manhaji diupayakan.

Peran Ibnu Asyur Dalam Pengembangan Maqasyidus Syari’ah

Ibnu Asyur dalam pengembangan maqasyidus syariah dilatarbelakangi oleh Kebangkitan maqashid modern ini ditandai dengan dicetaknya kitab al-Muwâfaqât untuk pertama kali di Tunisia tahun 1884 M. serta perkenalan Muhammad Abduh denganya ketika beliau ke Tunisia tepat pada tahun ia dicetak (1884 M.). Pada tahun 1909 M. kembali dicetak di Kazan, salah satu kota terbesar di Rusia, kemudian di Mesir pada tahun 1922 M. dengan ta’lîq (komentar) juz 1 dan 2 oleh Syekh Khudlari Husain Ali dan juz 3 dan 4 oleh Syekh Hasanain Makhluf. Dari Mesir kitab kemudian menyebar ke penjuru Jazirah Arabia. Kemudian, sederhananya, terjadilah dialektika intens antara ulama modern di berbagai penjuru dunia dengan al-Syathibi melalui al-Muwâfaqt- nya.

Selanjutnya kitab fenomenal karya Ibnu Asyur yang mengantarkan maqasidus syariah dari metode hukum Islam yang konfensional keranah modern yangg kontekstual, yaitu kitab Maqasidusy Syariah Al-Islamiyah,Upaya membumikan maqashid syariah dalam hukum Islam kembali di tegaskan Thahir ibn Asyur dalam maqashid al-syariah al Islamiyyah. Meski tidak terlalu tebal namun buku ini sangat penting. Al-Asyur membahas sisi-sisi Maqashid Al-syariah Islam yang harus di perhatikan dalam setiap upaya tasyri’ hukum, khususnya dalam persoalan keseharian atau di kenal dengan istilah fiqh muamalat.

Asyur menegaskan bahwa tasyri hukum islam yang sesuai dengan Maqhasid Islam bertujuan menujukan keagungan syariah Islam itu sendiri; bahwa islam sejatinya turut menjaga tegaknya maslahat dan mencegah kemudharatan. Lebih dari itu, yang lebih penting tasyri hukum Islam berperan dalam menciptakan keteraturan dan perbaikan di masyarakat.Karena fokus buku ini menjelaskan nilai maqashid dalam hukum islam, Asyur tidak banyak mengulang penjelasan atau definisi maqashid syariah. Baginya, maqashid syariah itu sangat jelas dan dapat di retas melalui al-Quran dan hadist sahih. Menurutnya, hukum-hukum tasyri Islam memiliki alasan dan kebajikan yang kembali kepada kemaslahatan secara umum.

Asyur membagi pembahasan bukunya dalam tiga bab: pertama, mengenai ketentuan Maqashid Islam; kedua, Maqashid tasyri umum atau Maqashid tasyri am; ketiga, maqashid khusus dalam fiqh muamalat. Dalam pembahasan mengenai ketentuan Maqashid al-syariah, Asyur menjelaskan bahwa syariah selalu mengandung maqashid di balik ketentuan dan penerapanya.

Peran Ibn ‘Asyur dalam Maqasid syaria’h sangat besar. Ia memisahkan maqasid syari’ah dari ushul fiqh dan mengganti skrup maqasid syari’ah dari lokal menjadi global. Maqashid al syariah harulsah bersifat universal yang dapat dijadikan pijakan dalam skala lintas teritorial geografi, menurut ibn asyur al-kulliyah al khamsah yakni hifd al adin, nafs, aqal, nasl, dan mal, mau tidak mau harus diperluas lagi, tidak terbatas pada lima pokok saja, artinya, meskipun kulliyah khamsah sangat penting, namun secara substansial sudah tidak memadai untuk mengawal perkembangan dinamika ijitihad kontemporer.

Oleh karena itu, Ibn Asyur menambahkan beberapa nilai universal yang harus memprioritaskan kemaslahatan individual dan sosial. Di antaranya adalah fitrah (naturalis), samahah (toleran), musawah (egalitarism), taisir (kemurahan), dan hurriyah (nilai kebebasan). sehingga, al-quran mampu menggali kembali dan melektakkan kebutuhan-kebutuhan primer kekinian sebagai maqashid al-syariah, inilah yang disebut maqasih al syariah aliyah.Upaya-upaya untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia ini terekam dan diabadikan dalam al-Nahl; 89, tujuan utamanya (qasdu al-‘alâ) yakni untuk mempertahankan dan memperjuangkan perbaikan secara individu (shalah al ahwal al fardiyyah) yang bersandar pada perilaku/tabiat dan upaya menjaga kesucian diri (tahdzib al-nafs wa tazkiyatuha). Targetnya perbaikan keyakinan (shalah al-i’tiqad), karena i’tiqad sebagai sumber perbaikan tumpuan dasar etika dan berfikir

Selanjutnya kesalehan individu tersebut diupayakan semaksimal mungkin untuk memperbaiki perilaku diri (al sarirah al-khashah) dengan ibadah yang (al-dahirah) seperti salat, dna tidak nampak (al-batinah) seperti; meninggalkan hasud, dengki, dan sombong.Perbaikan secara kelompok (al-jamâiyyah) memperioritaskan kemaslahatan individu karena ia (fardiyyah) merupakan bagian dari kelompok.Penyikapan atas kehendak tuhan (muradullah)  secara sempurna adalah mustahil karena keterbatasan manusia, namun baginya tujuan dari penelitiannya bersifat mungkin terjadinya, dengan segala kemampuan dan kompetensi pengetahuan dan bukan atas dasar rasio walaupun pada akhirnya penelitian tafsir tidak dapat maksimal/sempurna dalam menyingkap kehendak Tuhan.

Penutup

Pembahasan maqasidus syariah tidak akan berhenti selagi roda khasanah keislaman masih berputar, dan kebutuhan masyarakt yang semakin kompleks mendorong kita sebagai mukallifin yang tidak hanya memikirkan bagaimana berbadah dan bertahan hidup sebagai individu, namun juga sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan membantu satu sama lain. Nilai-nilai keadilan dan kesetaraan akan selalu menjadi wajib untuk diperjuangkan. Penggalian masalikul illat untuk mengembangkan maqasidus Syariah menjadi penting upayanya penjaga manusia dari kerusakan fungsinya.

Pengembangan maqasidus syariat, mulai dari era imam Ghazali, Ibnu Asyur sampai kepada Kiai Sahal sangatlah kompleks, namun tidak banyak perbedaan pada sisi upayanya menjaga manusia dari kejumudan berfikir dan bernalar mengenai hukum-hukum agama. sebagaimana Al-Ghazali menerangkan pentingnya menjaga harta, dengan pengembangan menjaga kemerdekaan oleh Ibnu Asyur sebagai pengembangan dari cakupan individu menjadi cakupan sosial kemasyarakatan.

* Penulis adalah peneliti magang di PUSAT FISI IPMAFA

[1] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm: xxix

[2]Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah. Hlm. 183

[3]Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LkiS, edisi khusus komunitas, cet II, 2012, hlm: xlvi

[4]Jamal Ma’mur Asmani, Mengembngkan Fikih Sosial KH.MA. Sahal Mahfudh, Elaborasi Lima Ciri Utama, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2015, hlm: 27