Rencana pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Indonesia beberapa waktu lalu, menuai kontroversi dari berbagai kelompok--dengan sikap dan argumentasi masing-masing. Kontroversi yang lebih kuat menunjuk pada sikap penolakan. Pangkal dari kontroversi ini disinyalir terkait logika berpikir tentang konsep dan sanksi hukum akibat tindakan pemerkosaan dalam perkawinan.
Sikap dan tindakan penolakan secara masif sendiri disebabkan oleh pengetahuan yang bias, ketidak tahuan, dan sikap abai tentang hakikat pemerkosaan dalam perkawinan. Bahkan, beberapa kelompok menolak dengan membenturkan konsep pemerkosaan dalam perkawinan dengan pemahaman ajaran Islam yang misoginis dan bias terhadap kedudukan isteri dan perempuan secara umum.
Menanggapi fenomena tersebut di atas, Pusat Studi Pesantren dan Fiqh Sosial (PUSAT FISI) IPMAFA bekerjasama dengan Dewan Mahasiswa (DEMA) IPMAFA, menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Islam and Marital Rape in South East Asia” kemarin (25/10). Acara inipun disambut antusias oleh peserta dari kalangan mahasiwa lintas prodi hingga peserta yang hadir melebihi kuota. Demikian halnya dengan para dosen baik dari IPMAFA sendiri maupun yang berasal dari kampus luar.
Menghadirkan Rozana Isa—Sisters in Islam (SIS) Malaysia dan Umdah El Baroroh—PUSAT FISI IPMAFA sebagai narasumber, fenomena pemerkosaan dalam perkawinan sebagai tindakan kekerasan yang dianggap tabu, dikupas secara mendalam sebagai fakta dan fenomena yang terjadi luas khususnya di kawasan Asia Tenggara. Harapannya, wawasan sivitas akademika IPMAFA terbuka untuk memahami tentang Islam dan keadilan gender, serta menumbuhkan kesadaran mereka, bahwa fenomena pemerkosaan dalam perkawinan sebagai tindakan kekerasan dan kriminal adalah sebuah kenyataan.
Umdah El Baroroh di antaranya menyampaikan, dalam pandangan terkait relasi suami istri, bahwa istri wajib melayani suami telah menjadi relasi yang timpang tanpa disadari secara turun-temurun bahkan oleh perempuan sendiri. “........Ini menjadi bagian dari sejarah yang mengurat dan mengakar sebagai budaya patriarkhi dan terjadi blunder”, paparnya. Menurutnya, dalam Islam, pernikahan mestinya menjadi perwujudan dari konsep mitsaqon ghalidzan. Perkawinan adalah hubungan dalam ikatan pernikahan yang sangat sakral dan mulia, dan berprinsip mencapai tujuan sakinah (tentram dalam batin), mawadah (cinta), warahmah (sayang). Ini berbeda dengan konsep hakkut tamliq, di mana perkawinan dipahami sebagai akad untuk memiliki alat kelamin perempuan yang disebut mahar. Bias dalam memahami dua konsep yang sangat berbeda ini yang akan mengakibatkan ada atau tidaknya tindakan kekerasan dalam perkawinan. Di mana, dalil agama Islam menjadi salah kaprah pemahamannya karena digunakan atas pemahaman yang bias dan salah kaprah.
Rozana Isa mengemukakan sikap--yang berangkat dari pengetahuan-- rata-rata masyarakat Asia Tenggara yang masih timpang dalam menyikapi kesetaraan sistem perlindungan hukum hingga fasilitas layanan kesehatan bagi perempuan dan laki-laki. Pun demikian halnya dengan bangunan hukum di beberapa negara Asia Tenggara. Beberapa negara yang telah bersikap tegas melalui hukum melindungi kaum perempuan dari  tindakan kekerasan seksual seperti Filipina, Singapura, dan Thailand, pun masih belum didukung penuh oleh masyarakatnya dari berbagai elemen untuk dapat mengimplementasikan amanat undang-undang dimaksud dengan baik dan semestinya.
Berkaitan dengan amanat dari ajaran agama-agama yang dianut masyarakat kawasan Asia Tenggara, kedua narasumber menyatakan, mestinya tidak ada lagi alasan untuk tidak mendukung apalagi menolak larangan tindakan kekerasan seksual apapun bentuknya. Pun yang telah menjadi affirmative action pemerintah dengan menjadikannya undang-undang. Semestinya seluruh elemen masyarakat dengan segala kapasitasnya dapat bersatu atas nama kemanusiaan untuk menghapuskan kekerasan.AK