Oleh:Tutik Nurul Janah

Keberagaman pada hakekatnya berkaitan dengan segala bentuk perbedaan yang hadir sebagai sunnatullah yang melekat pada umat manusia. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang beragam, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Pesan Allah kepada umat manusia untuk menghargai keberagaman sangat jelas tergambar dalam al Quran, sebagaimana firman Allah dalam surat al Hujarat, Ayat 13 yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Selain bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, bahasa merupakan ciri yang membedakan manusia. Mengenai bahasa atau dialek manusia yang sangat banyak jumlahnya, al Quran menggambarkan penghargaannya terhadap keragaman bahasa dan warna kulit (ras) manusia, sebagaimana yang termaktub dalam al Quran surat al Rum, ayat (22) yang berbunyi:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ           

Artinya:  ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

Manusia dengan segala keberagamannya sesungguhnya terlihat sama di hadapan Allah SWT. Satu-satunya yang membedakan manusia menurut ajaran agama adalah keimanan dan kesalihannya. Keimanan berkaitan erat dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya. Sedangkan kesalihan berkaitan dengan hubungan antara manusia dan sesama makhlukNya. Hubungan manusia dan sesama makhlukNya di sini merujuk pada hubungan antara manusia dan manusia, maupun hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.

 

Fiqh Sosial sebagai Konsep Dasar  

Fiqh sosial lahir dari keresahan Kiai Sahal melihat stagnasi hukum Islam. Padahal pada masa Rasulullah, hingga pada masa para imam Madzhab, hukum Islam berkembang sedemikian rupa seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri. Paradigma fiqh sosial dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia. Yakni kebutuhan dlaruriyyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder), dan kebutuhan tahsiniyyah (tersier). Fiqh sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih, sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim ditemukan. Tetapi fiqh sosial juga ingin menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial (Mahfudh, 2012).

Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok. Kelima ciri pokok ini yang kemudian lebih dikenal sebagai lima prinsip dasar fiqh sosial. Yakni (1) Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; (2) Perubahan pola bermadzhab dari tekstual (qauli) kepada bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); (3) Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’); (4) Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara; (5) Pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial (Mahfudh, 2012). Lima prinsip dasar fiqh sosial ini harus dipahami dengan menautkan satu prinsip kepada prinsip lainnya. Hal ini karena kelima prinsip tersebut memiliki saling keterhubungan.

Lima prinsip dasar fiqh sosial sebagaimana yang dijelaskan di atas, membawa para pengkaji fiqh sosial untuk memahami landasan pokok cara kerja fiqh sosial dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umat. Pertama adalah fiqh sosial melihat pentingnya kontekstualisasi hukum. Kedua; adanya pengakuan terhadap turats klasik sebagai pijakan utama dalam proses pengembangan hukum Islam. Ketiga; kebutuhan atas pembaharuan metodologi, guna reproduksi hukum sesuai dengan kebutuhan (El Baroroh & Janah, 2018).

Pemaknaan madzhab qauli sebagaimana dalam tradisi bahsul masail Nahdlatul Ulama dalam pandangan Kiai Sahal adalah salah satu bentuk dari model madzhab qauli (El Baroroh & Janah, 2018). Mengenai madzhab qauli ini, Kiai Sahal mengharapkan ada perubahan penyikapan dalam melihat kitab kuning sebagai teks yang berisi pendapat-pendapat ulama terdahulu. Selain melalui kontekstualisasi kitab kuning, pengembangan secara qauli bisa dilakukan dengan cara mengembangkan contoh-contoh kaidah fiqhiyyah dan kaidah ushuliyyah untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut kebijakan publik (Mahfudh, 2012).

Madzhab manhaji merupakan langkah kedua ketika madzhab qauli tidak lagi bisa menjawab permasalahan. Kiai Sahal menjelaskan madzhab manhaji dengan pengembangan masalik al illah. Hal ini karena secara manhaji pengembangan teori masalik al illlah agar fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahah al ammah(El Baroroh & Janah, 2018). Pengembangan masalik al illah sendiri sebenarnya merupakan jalan untuk menemukan alasan hukum (illah al hukm) yang digunakan dalam proses penetapan hukum.

Madzhab manhaji dibutuhkan karena teks fiqh yang ada seringkali bersifat kaku dan formalistik. Karena pandangan fiqh yang formalistik itulah, Kiai Sahal melihat suatu kebutuhan terhadap pergeseran paradigma fiqh. Yaitu dari fiqh yang formalistik menjadi fiqh yang bersifat etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan antara hikmah hukum ke dalam illat hukum. Atau dengan kata lain, sudah saatnya dilakukan upaya integrasi pola pemahaman qiyasi murni dengan pola-pola pemahaman yang berorientasi pada maqasid al syariah (Mahfudh, 2012).

Manusia hidup di dunia memiliki tujuan utama, yakni memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagian itu sendiri akan dicapai jika manusia menjalankan fungsi utamanya sebagai manusia. Al Quran menggariskan bahwa manusia dicipatakan untuk dua fungsi utamanya, yakni menjadi khalifah Allah di muka bumi. Fungsi pertama memberi manusia kuasa penuh untuk mengelola bumi (imarah al ardl). Sementara fungsi kedua membatasi segala kemampuan yang diberikan kepadanya supaya diarahkan hanya sebagai perwujudan ketundukan dan pengabdian kepada Sang Pencipta (Mahfudh, 2000). Untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat, manusia tidak boleh memisahkan kedua fungsi tersebut. Kedua fungsi tersebut harus terus diperankan secara bersama-sama, saling berkelindan dan tidak terpisahkan. Dalam kehidupan keberagamaan, Kiai Sahal, melalui pemikirannya membimbing para muridnya untuk bersikap wasathiyyah dalam menghadapi segala persoalan. Hal ini karena dua fungsi utama tersebut sesungguhnya memberi panduan bagi manusia dalam ikhtiar mencapai kemaslahatan bagi semesta.

Syariat Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqh sosial menjadi komponen ibadah. Baik sosial maupun individual, baik bersifat muqayyadah maupun yang bersifat muthlaqah. Syariat Islam juga mengatur hubungan antara manusia dalam bentuk mu’asyarah (pergaulan) maupun mu’amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Komponen-komponen di atas merupakan teknis operasional dari maqasid al syariah. Komponen-komponen tersebut saling berkelindan, menata bidang-bidang pokok dalam kehidupan manusia. Semuanya dalam rangka ikhtiar melaksanakan taklifat (kewajiban) manusia untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi. Yakni mencapai sa’adah al daraini sebagai tujuan hidupnya (Mahfudh, 2012).

Kiai Sahal memberikan penegasan mengenai pentingnya melihat keberagaman sebagai kondisi yang harus dikelola dengan baik. Bukan dihindari ataupun dinafikan. Ketegasan al Quran dan al Hadist dalam membicarakan dan mencontohkan sikap yang menghargai keberagamaan, membuat umat muslim dapat dengan mudah mencari rujukan hukum dengan menggunakan madzhab qauli. Tetapi, ketika persoalan keberagaman sudah masuk dalam ranah yang lebih detail, maka, panduan mengenai bagaimana melakukan penggalian hukum dengan menggunakan madzhab manhaji perlu untuk ditempuh.

 

Keberagaman dalam Kehidupan Kiai Sahal

Kiai Sahal selama hidupnya bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Banyak kaum santri yang datang bertamu ataupun menemui secara khusus pada saat beliau berkunjung ke suatu daerah. Selain banyak bergaul dengan sesama ulama dan masyarakat santri pada umumnya, Kiai Sahal juga berteman akrab dengan beberapa teman yang berbeda agama, etnis maupun profesi.

Salah satu teman berbeda agama yang cukup akrab dengan Kiai Sahal adalah bapak Sudhamek. Memiliki nama lengkap Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto, beliau dikenal sebagai pengusaha yang mengembangkan bisnis makanan berbahan dasar kacang. Sudhamek lahir di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 20 Maret 1956. Sudhamek adalah seorang wirausahawan sukses beretnis Tionghoa dan sekaligus tokoh agama Budha. Pertemuan pak Sudhamek dan Kiai Sahal berawal pada saat Kiai Sahal mulai aktif melakukan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat melalui pendampingan terhadap beberapa kelompok swadaya masyarakat (KSM) memalui BPPM (Badan Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat) Pesantren Maslakul Huda. Sementara di sisi lain, pak Sudhamek juga sedang mengembangkan perusahaan yang dipimpinnya yang bergerak di bidang pengolahan makanan berbahan dasar kacang. Salah satu kerja yang dilakukan oleh BPPM Maslakul Huda yang dipimpin oleh Kiai Sahal kala itu adalah melakukan pendampingan terhadap petani kacang agar memiliki kemampuan dalam meningkatkan kualitas produksi pertaniannya sekaligus memiliki nilai tawar dalam mendistribusikan hasil pertaniannya.

Hubungan yang bermula dari kerja-kerja ekonomi kemasyarakatan itu akhirnya tidak berhenti sampai di situ saja. Akan tetapi terus berlanjut dan menjadikan keduanya sebagai teman yang saling mendukung dalam perjuangan di ranah masing-masing. Hubungan baik ini tentu saja tidak dapat tercipta jika masing-masing pihak tidak memiliki pemikiran yang terbuka dalam persoalan relasi antar umat beragama. Kiai Sahal dan pak Sudhamek memiliki latar belakang agama, profesi, etnis, dan pendidikan yang berbeda. Namun keduanya tidak menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut sebagai penghalang dalam menjalin kerjasama dan pertemanan. Relasi positif ini hanya mungkin terjadi karena keduanya memiliki beberapa persamaan cara pandang. Pertama; Kiai Sahal dan Sudhamek adalah sosok yang memiliki pandangan wasathiyyah dalam konsep beragamanya masing-masing. Kedua; Kiai Sahal dan Sudhamek adalah sosok yang open minded dan tidak berburuk sangka dalam melihat perbedaan.

Kiai Sahal mempraktekkan sikap wasathiyyah dalam kehidupan keberagaman. Baik itu terkait dengan adat istiadat setempat maupun terkait dengan perbedaan agama dan keyakinan. Terutama dalam konteks mu’asyarah (pergaulan antara sesama manusia) dan dalam persoalan mu’amalah (pergaulan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi). Sikap Kiai Sahal dalam menghargai perbedaan dan keberagaman bukan berarti Kiai Sahal juga mengikuti ritual keagamaan umat agama lain. Dalam hal ini, Kiai Sahal terbilang teguh dalam memposisikan diri dan keyakinannya ketika bergaul dengan kalangan yang beragam.

Kajen, September 2020